Ekspor Produk Kayu ke Eropa Masih Bisa Digenjot, Sertifikat Kelestarian Kayu Indonesia Harus Dipromosikan

Audiensi Forum Komunikasi Masyarakat Perhutanan Indonesia (FKMPI) dengan Duta Besar Indonesia untuk Belgia merangkap Luxemburg dan Uni Eropa Andri Hadi dan Duta Besar Indonesia untuk Finlandia dan Estonia Ratu Silvy Gayatri, Jumat, 25 Februari 2022.

Produk kayu Indonesia masih punya peluang besar untuk meningkatkan pangsa pasar di Uni Eropa di tengah rencana penerapan kebijakan rantai pasok bebas deforestasi atau Deforestation-free Supply Chain (DFSC).

Adanya sertifikat legalitas kayu yang kini bertransformasi menjadi sertifikat kelestarian kayu (S-LK) dan promosi yang lebih gencar diyakini menjadi keunggulan bagi produk Indonesia menembus pasar Uni Eropa (UE).

Hal ini terungkap saat audiensi Forum Komunikasi Masyarakat Perhutanan Indonesia (FKMPI) dengan Duta Besar Indonesia untuk Belgia merangkap Luxemburg dan Uni Eropa Andri Hadi, Duta Besar Indonesia untuk Finlandia dan Estonia Ratu Silvy Gayatri, Jumat, 25 Februari 2022.

Duta Besar (Dubes) Andri Hadi mengungkapkan saat ini Uni Eropa (UE) sudah mengajukan proposal DFSC. Apabila kebijakan itu diterapkan akan mempengaruhi sejumlah komoditas Indonesia, termasuk produk kayu.

Berdasarkan proposal itu produk yang masuk ke UE harus diproduksi bebas dari deforestasi dengan batas waktu (cut-off date) 31 Desember 2020.

Nantinya akan ada proses due diligence yang memperhitungkan geolokasi, penilaian kepatuhan, dan langkah mitigasi yang dilakukan. Proses due diligence akan memperhatikan peringkat risiko negara asal komoditas yaitu rendah, standar, atau tinggi.

Kebijakan ini akan diperkirakan mulai diterapkan pada akhir awal tahun 2024 atau paling cepat akhir tahun 2023. Sebelum diterapkan, proposal tersebut akan melewati proses konsultasi yang melibatkan 1,2 juta responden, yang merupakan jumlah terbesar kedua dalam sejarah UE.

Menurut Dubes Andri, kebijakan itu nantinya akan diterapkan pada operator di UE namun secara tidak langsung akan membebani eksportir dan negara produsen.

Dubes Andri menyatakan, sikap Indonesia terhadap proposal itu cukup tegas. “Proposal DFSC diskriminatif dan proteksionis dengan sejumlah produk UE tidak masuk dalam daftar komoditi yang terkena kebijakan itu,” katanya.

Proposal kebijakan itu juga dinilai tidak sejalan dengan kebijakan WTO. Jika diterapkan, proposal itu akan berdampak adanya peningkatan biaya yang bisa memukul usaha kecil.

Dubes Andri menyatakan untuk merespons proposal tersebut, pihaknya melakukan komunikasi intensif dengan pihak UE. “Kami juga melakukan penjajakan dengan importir produk komoditas asal Indonesia,” katanya.

Dubes Andri menuturkan pihaknya menyampaikan kekecewaan Indonesia karena 6 komoditas yang dimasukkan dalam proposal DFSC akan berpengaruh terhadap paling tidak 4 produk unggulan ekspor Indonesia diantaranya kayu, kelapa sawit, kopi dan kakao.

Khusus untuk produk kayu, UE telah memiliki skema FLEGT dan juga sudah menjalin kemitraan sukarela dengan Indonesia (VPA). Indonesia bahkan menjadi satu-satunya negara yang sertifikat produk kayunya (SLK) sudah disetarakan sebagai FLEGT License.

Menurut Dubes Andri, FLEGT VPA seharusnya menjadi standar untuk memastikan produk kayu yang masuk ke UE berasal dari sumber yang lestari sehingga due diligence harusnya ditiadakan bagi produk yang telah memenuhi sertifikasi SVLK.

“Kalau ada yang kurang seharusnya yang dilakukan adalah penguatan FLEGT VPA,” kata dia.

Apalagi, masih banyak tanggung jawab UE yang belum sepenuhnya dilakukan terkait FLEGT VPA.

Misalnya saja soal pemberian market incentive pada produk kayu dengan FLEGT License. Hal itu berdampak pada tetap leluasanya produk dari negara pesaing Indonesia untuk masuk ke pasar UE. Hal ini terlihat dari besarnya pasar yang dikuasai.

Sampai saat ini pasar UE yang totalnya mencapai 120 miliar dolar AS masih dikuasai oleh China. Vietnam yang belum punya FLEGT License pun masih ada di peringkat yang lebih baik dari Indonesia yaitu menempati peringkat ke-10

Potensi Produk Kehutanan

Dubes Andri menyatakan meski masih kalah dalam penguasaan pasar UE namun kinerja ekspor produk kayu Indonesia terus menunjukkan peningkatan sejak terjalin FLEGT VPA dengan UE.

Tahun 2016 ketika FLEGT VPA pertama kali terjalin, ekspor produk kayu Indonesia tercatat 813,5 juta euro. Nilainya kemudian konsisten naik dan mencapai 1,07 miliar euro di tahun 2021.

“Produk seperti parket kayu, furnitur, kertas, kayu lapis menunjukan kenaikan lebih dari 20% di tahun 2021 dibandingkan tahun 2022,” katanya.

Menurut Dubes Andri masih banyak produk kayu yang ekspornya potensial untuk dioptimalkan. “Dari 44 kode HS produk kayu yang masuk FLEGT VPA, masih ada 19 kode HS yang masih bisa ditingkatkan ekspornya,” katanya.

Dia menyebutkan salah satunya adalah produk kayu untuk kebutuhan bahan bakar (dalam bentuk kayu serpih, pelet atau bentuk lainnya). Hal ini dikarenakan banyak negara UE yang masih memanfaatkan bahan bakar biomassa untuk menggantikan batubara.

Dubes Andri juga menyatakan konflik Rusia-Ukraina juga bisa berdampak pada ekspor produk kayu Indonesia. Pasalnya, konflik telah menaikkan harga gas yang berarti banyak negara butuh bahan bakar alternatif.

Di sisi lain, Rusia juga telah mengumumkan untuk menghentikan ekspor kayu gelondongan yang akan membuat banyak industri pengolahan kayu di UE kesulitan bahan baku.

“Berkurangnya pasokan kayu dari Rusia menjadi peluang untuk diisi produk kayu Indonesia,” katanya.

Dubes Andri juga menyatakan pandemi Covid-19 tetap bisa diintip sebagai peluang untuk mendapat profit. Pasalnya, kebutuhan produk furnitur, home office, dapur justru meningkat saat kebijakan work from home diberlakukan.

Peluang Kerja Sama

Untuk memperluas pasar di UE, Dubes Ratu Silvy Gayatri mengungkapkan masih banyak potensi yang bisa digarap di pasar Finlandia.

“Pasar produk kayu kehutanan di Indonesia masih luas untuk digarap. Kita bisa lakukan berbagai upaya inovatif untuk menggali potensi produk dan kemudian dipromosikan dalam berbagai ajang di Finlandia,” papar Dubes Ratu Silvy.

Finlandia sebagai salah satu negara industri kehutanan paling maju di dunia bisa menjadi pasar yang potensial bagi Indonesia. Ia juga menginformasikan perusahaan Finlandia yang berminat mengimpor produk industri kehutanan dari Indonesia. Dubes Ratu Silvy juga mengundang para pelaku usaha industri perkayuan Indonesia untuk berpartisipasi pada peluang kemitraan bisnis melalui Matchmaking Service

Sementara itu Ketua FKMPI Indroyono Soesilo mengungkapkan kinerja sektor kehutanan positif di awal tahun 2022. Total ekspor produk kayu pada Januari 2022 sebesar 1,23 miliar dolar AS naik 28,2% dibandingkan Januari 2021.

Untuk wilayah Uni Eropa dan Inggris, Ekspor pada Januari 2022 juga tercatat mengalami kenaikan sebesar 29,69% dengan nilai 104,1 juta dolar AS dibandingkan dengan catatan pada tahun 2021 sebesar 80,2 juta dolar AS.

“FKMPI siap bekerja sama untuk terus meningkatkan ekspor produk kayu ke UE di tengah situasi yang penuh tantangan saat ini,” kata Indroyono yang juga merupakan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI).

AI