Oleh: Bambang Edy P (Yayasan Sarana Wana Jaya)
Perubahan Undang-Undang 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem (KSDAHE) telah disahkan oleh DPR RI pada tanggal 9 Juli 2024 dalam rapat paripurna ke 21 pada masa persidangan V tahun sidang 2024. Proses pembahasan yang cukup panjang dengan diawali dengan pengusulan RUU tersebut pada 2 Februari 2015 oleh Komisi IV DPR RI selanjutnya masuk dalam Prolegnas tahun 2015 – 2019, akhirnya dapat diselesaikan dan disahkan menjadi UU. Selama lebih dari 30 tahun UU 5 tahun 1990 menjadi dasar dan acuan utama dalam pengelolaan sumber daya alam hayati di Indonesia, dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat, kondisi kawasan konservasi, perubahan pengaturan dalam penyelenggaraan otonomi, serta sinkronisasi dengan peraturan perundangan yang terkait maka diperlukan perubahan pada undang-undang tersebut. Esensi perubahan atau kebaharuan dari undang-undang tersebut yaitu, pengaturan konservasi pada kawasan suaka alam (KSA) dan kawasan pelestarian alam (KPA), kawasan konservasi di perairan, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan areal preservasi. Areal preservasi adalah areal diluar KSA, KPA, dan kawasan konservasi perairan, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang dipertahankan kondisi ekologisnya, dapat berupa daerah penyangga kawasan konservasi, koridor ekologis atau ekosistem penghubung, areal dengan nilai konservasi tinggi, areal konservasi kelola masyarakat dan daerah perlindungan kearifan lokal. Oleh karena itu areal preservasi dapat berasal dari kawasan hutan lindung (HL), kawasan hutan produksi (HP) dan areal penggunaan lainnya (APL).
Selain hal tersebut, penguatan terhadap larangan, sanksi dan pidana tercantum dalam rumusan undang-undang. Sedangkan aspek pendanaan, sumber daya genetik, peran pemerintah daerah dan penguatan peran serta masyarakat serta masyarakat adat diatur dalam perubahan undang-undang tersebut. Dalam rangka menindak lanjuti perubahan UU No. 5 Tahun 1990 KSDAHE, pemerintah dimandatkan untuk menyusun peraturan pemerintah serta peraturan lainnya dalam rangka implementasinya.
Dengan disahkan undang-undang tersebut, diharapkan keberhasilan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem di Indonesia dapat terwujud dengan tercapainya sasaran konservasi, yaitu: terwujudnya perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Pengesahan perubahan UU tersebut diharapkan tidak dianggap selesai permasalahannya, tetapi seharusnya dimaknai sebagai awal dari penyelesaian masalah konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang terjadi saat ini.
Sumber daya alam hayati Indonesia berlimpah, baik didaratan, di perairan, maupun di pesisir dan pulau-pulau kecil sehingga dikenal sebagai salah satu negara mega bio-diversitas di dunia, tetapi sumber daya tersebut tidak tak terbatas dan selain itu mempunyai sifat yang tidak dapat kembali seperti asalnya (irreversible) apabila dimanfaatkan secara berlebihan dan tidak terkendali. Pemanfaatan secara berlebihan akan mengancam keberadaan sumber daya alam itu sendiri, dan sampai pada tahap tertentu dapat menyebabkan kepunahan. Selain hal tersebut kekayaan sumber daya alam hayati tersebut merupakan sumber daya yang strategis karena menyangkut ketahanan nasional, yang seharusnya dikuasi oleh negara dan dikelola dengan penuh kehati-hatian.
Pelibatan Peran Pemerintah Daerah
Dalam rumusan perubahan UU tersebut konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah serta masyarakat yang sebelumnya hanya menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat. Pelibatan Pemerintah Daerah terutama dalam kaitannya dengan kegiatan konservasi di areal preservasi sudah waktunya dilaksanakan secara intens tidak sekedar hanya menjadi pelengkap penderita.
Permasalahnya areal preservasi apabila dimandatkan pada Pemerintah Daerah diperlukan penguatan kewenangan, sumber daya manusia, pendanaan dan kelembagaan. Pembagian kewenangan saat ini mengikuti UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang implementasinya tidak cukup kuat dalam konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya pada areal Preservasi. Dengan adanya permasalahan tersebut dikhawatirkan implementasinya dilapangan akan menjadi policy trap bagi Pemerintah Daerah, sementara itu kerusakan sumber daya alam saat ini banyak terjadi di luar kawasan konservasi.
Oleh karena itu kegiatan konservasi pada areal preservasi seharusnya dimaknai sebagai peningkatan status perlindungannya yang merupakan tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Namun pelibatan Pemerintah Daerah dalam kegiatan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya terutama pada areal preservasi belum jelas kewenangannya dalam perubahan UU tersebut. Pada kawasan suaka alam dan pelestarian alam menjadi kewenangan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang kehutanan, sedangkan kawasan konservasi di perairan, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi kewenangan menteri yang menyelenggaran urusan pemerintah di bidang kelautan dan perikanan.
Kegiatan konservasi pada areal preservasi terutama pada areal penggunaan lainya (APL) sebaiknya diserahkan menjadi kewenangan, tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah Daerah. Dan tentu saja untuk menjalankan kewenang tersebut Pemerintah Daerah diberikan penguatan kelembagaannya, sumber daya manusia, pendanaan dan infrastruktur untuk kegiatan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di wilayah masing-masing. Dengan diberikan tanggung jawab dan kewajiban yang lebih besar pada areal preservasi termasuk wilayah masyarakat adat dalam kegiatan konservasi pada Pemerintah Daerah akan memperjelas peran dan kewenangannya. Sehingga tidak hanya sekedar mengarahkan dan menggerakkan peran serta masyarakat dalam konservasi melalui kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna, tetapi juga dalam pengawasan dan penegakan hukum pada tingkat tapak.
Pencegahan Biopiracy dari SDAH
Upaya menjaga relevansi prinsip-prinsip konservasi, perubahan UU tersebut diperkuat implementasinya yang disesuaikan dengan kondisi saat ini, dengan memperberat larangan, sanksi dan pidana dari tindak pidana di bidang KSDAHE termasuk kejahatan yang mempergunakan media sosial dan elektronik. Demikian pula mempertegas dan memperberat sanksi pindana untuk korporasi dengan memberikan sanksi tambahan antara lain pembayaran ganti rugi, biaya pemulihan ekosistem; serta biaya rehabilitasi, translokasi dan pelepasliaran satwa. Dengan mempertegas penegakan hukum dari tindak pidana bidang KSDAHE diharapkan dapat mengurangi kerusakan sumber daya alam hayati dan ekosistem, namun dengan kemajuan bioteknologi masih banyak kejadian biopiracy di Indonesia belum banyak ditangani secara hukum yang mengakibatkan kerugian yang cukup besar.
Biopiracy adalah pengambilan secara tidak sah (illegal) atau pencurian sumber daya genetik dan pengetahunan tradisional masyarakat adat serta lokal, oleh individu atau lembaga yang mencari kendali eksklusif berupa hak paten atau hak kekayaan intelektual atas sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional. Bentuk biopiracy bermacam-macam, dari mulai pengambilan illegal keanekaragaman hayati secara langsung, hingga pangambilan sampel sumber daya genetik yang dimanfaatkan untuk aktivitas komersial atau bioprospection dengan hasil aktual maupun potensial memiliki nilai cukup tinggi.
Jumlah kasus biopiracy di Indonesia semakin meningkat, banyak yang tidak terungkap karena para peneliti di perguruan tinggi maupun lembaga riset, masyarakat lokal bahkan aparat pemerintah tidak menyadari yang terjadi dihadapannya adalah biopiracy. Beberapa contoh kasus biopiracy di Indonesia, antara lain pada tahun 1995 Shiseido perusahaan kosmetik asal Jepang telah mengajukan 51 permohonan paten tumbuhan obat dan rempah asli Indonesia di kantor paten Jepang, Inggris, Jerman, Perancis dan Italia tanpa izin dari Indonesia, sehingga berakibat Indonesia tidak mendapat benefit sharing dari keuntungan yang peroleh perusahaan tersebut. Shiseido telah mematenkan pengetahuan tradisional terkait tumbuhan rempah dan obat, yang diantaranya kayu rapet (Parameria laevigata), kemukus (Piper cubeba), beluntas (Pluchea indica) dan lainnya, seluruhnya masuk dalam katagori bahan anti penuaan (anti-aging).
Kasus lain yang terjadi pada tahun 2003, dengan merebaknya wabah flu burung akibat virus influenza (H2N1) di Asia Tenggara termasuk Indonesia sehingga timbul kekhawatiran akan terjadi penyebar virus tersebut, Indonesia bekerja sama dengan WHO memberikan sampel darah pasien yang terserang virus untuk kepentingan penelitian agar dapat ditemukan cara penanganan yang efektif. Namun pada kenyataannya sampel darah tersebut dan squence DNA nya yang disimpan di Alamos National Laboratory Amerika Serikat tidak dapat diakses oleh semua ilmuwan di dunia. Menteri Kesehatan RI saat itu Siti Fadilah Supari mendapat laporan bahwa sampel darah yang dimaksud digunakan untuk memproduksi vaksin, tanpa sepengetahuan Indonesia, akhirnya Menteri Kesehatan menghentikan pengiriman sample darah tersebut.
Pada tahun 2012, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melaporkan kasus pencurian sumber daya alam hayati untuk kepentingan riset oleh peneliti asing yang berkedok turis, hasil pencurian sample tawon Megalara garuda dari Sulawesi Tenggara dipublikasikan di jurnal ilmiah internasional dengan tidak melibatkan peneliti Indonesia dan harga tawon hasil penelitian tersebut di pasaran dihargai sampai Rp500 juta per ekor.
Kasus-kasus pencurian sumber daya alam hayati yang berasal dari ekosistem Indonesia, sekalipun untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan apalagi Indonesia telah meratifikasi Protokol Nagoya melalui UU Nomor 11 Tahun 2013 tentang akses pada sumber daya genetik dan pembagian keuntungan yang adil dan seimbangan dalam pemanfaatannya, seharusnya kasus pencurian tersebut tidak lagi dianggap remeh. Sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang dimiliki Indonesia sering dimanfaatkan pihak-pihak luar terutama negara maju karena terbatasnya pengetahuan, teknologi dan kapasitas negara untuk mengelola sumber daya tersebut secara lestari. Oleh karena itu dengan perubahan UU KSDAHE diharapkan memperkuat upaya pencegahan biopiracy terhadap sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di Indonesia yang menyebabkan kerugian yang cukup besar dari segi ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi serta kerusakan ekosistemnya.
Pengembangan Bioprospecting
Perubahan UU KSDAHE menyantumkan tentang pemanfaatan sumber daya genetik tumbuhan dan satwa liar, diharapkan dapat mendorong pengembangan bioprospecting di Indonesia guna meningkat nilai ekonomi sumber daya alam hayati untuk kesejahteraan masyarakat serta mutu kehidupan manusia.
Bioprospecting dalam pengertian luas adalah pencarian produk biologi yang bermanfaat bagi manusia dari alam. Praktik pencarian ini telah dilakukan oleh nenek moyang kita sejak awal peradaban manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, misalnya masyarakat di Kalimantan atau daerah lainnya di Indonesia memanfaatkan berbagai jenis tumbuhan untuk pengobatan tradisional, obat pangawet, pewarna dan pelengkap masakan. Pengetahuan dan sumber daya alam hayati eksotik dari Indonesia tersebut pada abad 14 mulai dikenal oleh para penjelajah barat yang disebut rempah-rempah dengan nilai ekonomi cukup tinggi, hal tersebut menjadi pendorong penjajahan di Indonesia untuk menguasai sumber daya alam hayati termasuk rempah-rempah.
Dalam perkembangannya tiga dasawarsa terakhir timbul fenomena baru bahwa perusahaan-perusahaan farmasi di negara maju untuk memenuhi kebutuhan sumber obat atau senyawa kimia baru dari alam mengeluarkan investasi yang cukup besar, karena sebelumnya sumber obat-obatan dari senyawa kimia organik sintetik tidak mencukupi untuk kebutuhan manusia. Akibatnya, industri farmasi meningkatkan usahanya untuk memperoleh species tumbuhan atau hewan yang menunjukkan aktivitas biologis untuk kepentingan obat. Species tumbuhan dan hewan yang masih asli banyak terdapat di hutan tropis yang berada di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Hal ini yang menyebabkan berbagai kejadian bioprospecting yang dilakukan negara-negara maju menyebabkan klaim biopiracy. Perusahaan obat-obatan dari negara maju mematenkan dan menjual obatnya dengan keuntungan yang besar tanpa memberikan kompensasi atau royalty kepada negara asal dari sumber obat tersebut, dan ironisnya menjual obat dengan harga tinggi ke negara asal.
Tidak semua aktivitas pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan bioprospecting, aktivitas bioprospecting merujuk pada kelompok kecil yang melakukan penelusuran manfaat sumber daya alam hayati secara sistematik. Kegiatan tersebut meliputi riset lapangan untuk mengumpulkan sampel dan informasi nilai manfaat melalui studi etnobotani, koleksi spesimen guna penelusuran potensi materi genetik, senyawa biokimia aktif dan pengujian, serta memperbanyak senyawa aktif tersebut untuk tujuan komersial. Pembeda bioprospecting dengan aktivitas pemanfaatan sumber daya alam hayati secara umum adalah jumlah pengambilan materi atau samplenya kecil, tetapi biayanya relatif besar. Karena memerlukan teknologi dan biaya yang besar dalam pengembangan bioprospecting sehingga seringkali melibatkan investasi dalam sekala besar bahkan internasional sehingga cenderung terjadi monopoli dalam produksi dan penjualan melalui kendali hak paten. Hal ini terjadi seperti dalam sektor kesehatan, farmasi, kosmestik dan pencarian sifat unggul untuk produk pertanian.
Untuk memangkas waktu dan biaya penelitian senyawa bioaktif dalam bioprospecting dilakukan dengan pendekatan etnobiologi yang melibatkan masyarakat adat. Masyarakat adat telah melakukan penelusuran manfaat sumber daya alam hayati dilingkungannya selama ratusan hingga ribuan tahun yang dihimpun sebagai pengetahuan tradisional, sehingga kemungkinan ditemukan senyawa bioaktif lebih besar. Pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemya yang melibatkan pengetahuan tradisional dalam bioprospecting seharusnya masyarakat adat yang milikinya mendapat benefit sharing, apalagi Indonesia telah meratifikasi Protokol Nagoya dan pengetahuan tradisional di Indonesia telah diakui sebagai hak kekayaan intelektual dalam UU Paten.
Dalam pengembangan bioprospecting yang berhubungan dengan masuknya era bioeconomy dimana proses produksi dengan menerapkan bioteknologi dalam memanfaatkan sumber daya alam hayati menjadi sangat penting bagi pembangunan ekonomi berkelanjutan. Karena itu, perlu diperkuat kelembagaan atau kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang kehutanan, karena sebagian besar sumber daya alam hayati dan ekosistemnya termasuk didalamnya sumber daya genetik dan pengetahunan tradisional yang dimiliki masyarakat adat berada di hutan. Sejatinya Indonesia dapat berperan cukup besar dalam memasuki era tersebut karena memiliki potensi dan peluang, hanya permasalahnya tinggal komitmen dan kemauan yang kuat dari semua pihak untuk mewujudkannya. ***