Gagal Cuan dari Perang Dagang

Perang dagang China dengan Amerika Serikat (AS) ternyata tak bisa dimanfaatkan Indonesia. Di antara negara Asean, Indonesia tidak masuk dalam daftar penerima manfaat. Bahkan untuk produk kayu, terutama furnitur, Vietnam malah jauh berkibar. Sementara defisit neraca perdagangan juga terus mengkhawatirkan.

Itulah kabar pahit yang terungkap dari hasil riset bank investasi Jepang, Nomura. Vietnam disebut sebagai pemenang dan penerima manfaat terbesar ketika importir di China dan AS berupaya menghindari tarif akibat perang dagang antara kedua raksasa ekonomi dunia tersebut. Selain Vietnam, negara Asean lainnya yang menerima manfaat dari perang dagang AS-China adalah Malaysia, Singapura, Thailand dan Filipina. Indonesia? Tidak masuk, ternyata.

Yang menyesakkan, produk furnitur Vietnam mampu meraup cuan. Padahal, dari skala luas hutan, Vietnam tidak ada apa-apanya. Menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Purwadi Soeprihanto, Vietnam mengandalkan sepenuhnya bahan baku produk kayunya dari hutan tanaman dan impor. Namun, tahun lalu saja mereka mampu meraup devisa ekspor produk kayu 9 miliar dolar AS.

Sejauh ini, tidak ada kabar dari sektor kehutanan negeri ini bagaimana memanfaatkan pertikaian dagang AS-China untuk menarik investasi. Sementara Malaysia, dua perusahaan furnitur di Johor dikabarkan sedang mengeksplorasi peluang menarik investor China. Menurut Tropical Timber Market Report, laporan informasi pasar milik ITTO, satu perusahaan China berminat menggunakan fasilitas pabrik di Malaysia untuk bisnis mereka di masa datang.

Perusahaan-perusahaan Malaysia melihat makin banyak permintaan dari pembeli AS yang mencari produk kayu dari Asia Tenggara. Alasannya,  harga lebih kompetitif dibandingkan produk China.

Ketidakgesitan Indonesia menangkap peluang perang dagang ini patut disayangkan. Apalagi, defisit neraca perdagangan tahun 2019 terus membesar. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, periode Januari-April 2019, neraca perdagangan defisit 2,56 miliar dolar AS atau sekitar Rp36 triliun. Untuk menutup defisit itu tak ada jalan lain kecuali menggenjot ekspor, seraya mengurangi impor.

Untuk produk kehutanan, Ketua Asosiasi Industri Kayu Gergajian dan Kayu Pertukangan (ISWA), Soewarni menilai Indonesia masih punya peluang menaikkan ekspor. “Apalagi, produk kayu kita sudah punya Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang diakui secara global,” katanya di Jakarta, Selasa (18/6/2019). Hanya saja, meski menilai masih punya banyak peluang, industri kehutanan tetap butuh insentif. Maklum, banyak kebijakan pemerintah yang malah mengurangi daya saing industri kehutanan. AI