Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mendorong Pemerintah Daerah (Pemda) untuk menyiapkan lumbung pangan di daerahnya masing-masing guna mengantisipasi dampak El Nino.
“Dampak El Nino bisa sangat berbahaya jika tidak diantisipasi secara tepat dan cepat,” katanya, ketika memberikan arahan pada kegiatan Forum Diskusi “Meskipun El Nino, Bisa Panen” di Kantor Pusat Standardisasi Instrumen Perkebunan, Bogor, Selasa (4/7/2023).
Syahrul meminta Pemda untuk serius dalam menghadapi El Nino, mengingat cuaca ekstrem ini bisa sangat berdampak terhadap pasokan pangan masyarakat.
Menurut dia, jika kondisi pangan tidak baik, maka dengan segala fasiltas yang ada, usaha pemerintah menjadi nol. “Lumbung dibutuhkan bagi kita dalam menghadapi El Nino. Setiap daerah harus memiliki stok yang banyak. Bila buffer stock tidak kuat, El Nino bisa sangat berbahaya,” tegas Mentan.
Selain mempersiapkan lumbung pangan, Syahrul juga meminta setiap daerah untuk menyiapkan lahan percontohan seluas 1.000 hektare (ha). Nantinya, lahan percontohan ini akan menjadi lokomotif bagi peningkatan kapasitas produksi daerah tersebut.
“Biar petani dan warga bisa melihatnya sebagai contoh, seperti pengelolaan air atau pemanfaatan pupuk organik. Dengan lahan tersebut, masyarakat bisa meningkatkan hasil produksi berbagai komoditi pangan,” ujarnya.
Disebutkan, hasil analisis dinamika atmosfer Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) per Dasarian III Juni 2023, El Nino akan terjadi pada semester II-2023 dengan kategori lemah hingga moderat.
Selain itu, Indian Ocean Dipole (IOD) diprediksi berada pada indeks positif hingga Oktober 2023. Kedua fenomena itu cenderung mengurangi intensitas hujan di wilayah Indonesia dan bisa memicu kekeringan.
Syahrul mengatakan, potensi kekeringan dan penurunan intensitas hujan yang ditimbulkan El Nino berdampak pada 78%-82% lahan pertanian di Indonesia. Berbagai langkah perlu disusun untuk mengantisipasi bahaya pola cuaca tersebut.
”El Nino ini mengancam ketahanan pangan bangsa. Pola pikir atau mindset untuk menghadapi El Nino perlu dibangun. Agenda intelektual perlu didorong untuk meningkatkan SDM pertanian,” ujarnya.
Kepala Badan Standardisasi Instrumen Pertanian (BSIP), yang sekaligus Ketua Umum Perhimpunan Meteorologi Pertanian Indonesia (Perhimpi), Fadjry Djufry mengatakan, forum diskusi ini diselenggarakan untuk menyusun rekomendasi yang strategis dan aplikatif, untuk membantu pemerintah dalam merespon dampak El Nino pada semua komoditas pertanian.
“Diharapkan ada rekomendasi yang implementatif, sehingga tanam bisa terus dilakukan meski El Nino sedang melanda,” ucapnya.
Menurut Fadjry, kerja sama antara Kementerian Pertanian dan Perhimpi telah berlangsung sejak Perhimpi berdiri 44 tahun yang lalu. Khususnya dalam hal pemanfaatan sumberdaya iklim.
“Sumber daya iklim seperti cuaca, air, dan lingkungan harus bisa menjadi faktor produksi pertanian yang terstandar dalam setiap prosesnya,” kata Fadjry.
Masih Bisa Panen
Wakil Ketua Dewan Penasehat Perhimpi, Yonny Koesmaryono menyebutkan, pada masa lalu, Indonesia sudah membuktikan diri bisa beradaptasi dengan El Nino. Untuk menghadapi El Nino kali ini, Yonny mengharapkan pemerintah bisa menjadi fasilitator dengan meningkatkan kapasitas sumber daya manusia (SDM).
“Perlu ada sinergi antar-komponen. Misalnya penyuluh dalam diseminasi dan pengawalan program, lalu juga dinas terkait dana penyediaan sarana dan prasarana,” ucapnya.
Sebagai bagian dari upaya memberdayakan petani, sambung dia, kapasitas sistem informasi digital perlu ditingkatkan. Misalnya, memberdayakan para petani dengan telepon genggamnya seperti yang sudah dilakukan oleh IPB University.
“IPB sudah memiliki program untuk itu. Begitu juga Kementan. Lewat teleponnya, petani bisa terinformasikan tentang varietas yang tepat untuk kondisi iklim dan lahannya,” papar Yonny.
Menurut dia, peningkatan kapasitas dan pemberdayaan sumber daya manusia pertanian harus menjadi fokus dan penting dilakukan dalam mengadaptasi dan memitigasi perubahan iklim.
Yonny lebih lanjut mengungkapkan bahwa Kementan — termasuk Pemerintah Daerah — berperan sebagai fasilitator sebagai bentuk hadirnya sebuah negara.
“Apa yang sudah kita lakukan itu sudah banyak, apa yang sudah kita alami juga banyak. Jadi, tidak usah parno menghadapi El Nino. Kita masih bisa panen. Bahkan, di tempat-tempat tertentu mungkin produktivitasnya lebih tinggi,” kata Yonny, Selasa (4/7/2023).
Yonny mengatakan, sebagian besar petani Indonesia memiliki latar belakang pendidikan hanya sampai sekolah dasar. Meskipun begitu, kata Yonny, bukan berarti mereka bodoh.
“Mereka bukan orang bodoh, mereka punya punya intuisi, punya pengalaman, gitu ya. Dan itulah yang harus kita berikan materi. Kita beri stimulan agar mereka menyadari bahwa lingkungannya itu harus dikelola dengan baik, dan melalui sekolah lapang iklim luar biasa. Pengalaman saya di Indramayu, misalnya. Bersama dengan BMKG dan Perhimpi pada tahun 2015 itu kan El Nino. Petani bisa menggambarkan sesuatu, yang katakan yang simpel saja, bagaimana siklus hidrologi,” ujarnya.
Berdampak Pada Produksi
Deputi Bidang Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan, Badan Pangan Nasional (Bapanas), Andriko Noto Susanto menyebutkan, cadangan beras pemerintah yang tersimpan di Bulog berada dalam kondisi minim sejak akhir tahun lalu hingga pertengahan 2023.
Di sisi lain, situasi perberasan nasional dihantui ancaman kemarau ekstrem akibat adanya El Nino yang diproyeksi mencapai puncaknya pada semester kedua tahun ini.
Data Badan Pangan Nasional mencatat, total cadangan beras di Bulog hingga awal Juli 2023 hanya 627.000 ton. Jumlah itu jauh dari batas aman yang diinginkan pemerintah di atas 1 juta ton.
Beras yang tersisa itu terdiri atas 561,5 ribu ton cadangan beras pemerintah (CBP) serta 65,7 ribu ton stok komersial. “Ini kalau dihitung berdasarkan kebutuhan sebulan, hanya mencukupi 24%. Jumlah yang sangat riskan sebenarnya untuk Indonesia dengan 257 juta penduduk,” katanya dalam Focus Group Discussion Perhimpunan Agronomi Indonesia di Bogor, Kamis (6/7/2023).
Namun, pada saat yang bersamaan, beras yang digelontorkan juga cukup besar, termasuk untuk kebutuhan bantuan sosial sebanyak 640.000 ton yang diberikan pada Maret-Mei 2023 bagi keluarga kurang mampu.
“Kumulatif sudah 1 juta ton sekian dan sekarang keseimbangan tinggal 600.000-an ton. Itu yang harus terus dijaga. Artinya, kita memang butuh tambahan dari luar (impor), tapi tetap harus terukur,” ujar dia.
Dia mengatakan, Bapanas juga terus mendorong Bulog untuk tetap melakukan penyerapan. Namun, pasokan beras yang dapat diserap Bulog tidak akan bisa maksimal karena puncak panen raya telah berlalu pada April-Mei lalu.
Di sisi lain, Bulog juga tak bisa memaksakan diri untuk menyerap beras dengan level harga tinggi karena dapat memicu kenaikan harga imbas persaingan harga dengan produsen swasta. “Nanti yang terjadi harga bisa naik di tingkat konsumen, makanya ini juga harus dijaga,” katanya.
Andriko menegaskan, pemerintah terus berupaya keras untuk mengamankan ketersediaan beras di dalam negeri melalui Perum Bulog. Pemerintah juga telah membuka keran impor melalui Bulog agar ketersediaan beras tetap aman.
Andriko menyampaikan, produksi beras periode Januari-Agustus 2023 bakal mencapai 23,06 juta ton atau lebih rendah 2,54% dari produksi periode sama tahun lalu sebanyak 23,66 juta ton.
Di tengah produksi yang mengalami penurunan, Bapanas mencatat konsumsi beras pada 2023 kemungkinan akan lebih tinggi 1,14% terhadap tahun 2022.
“Konsumsi beras naik. Neraca produksi-konsumsi bulan Januari-Agustus 2023 tetap surplus 2,72 juta ton, tapi lebih rendah 839.000 ton atau 23,38% terhadap periode yang sama tahun 2022,” kata Andriko.
Sejak awal tahun ini, Bulog setidaknya telah menyerap 701.197 ton beras dalam negeri dan mendatangkan 871.465 ton beras impor. Dari pengadaan tersebut, telah disalurkan sebanyak 612.369 ton beras untuk kebutuhan operasi pasar demi menjaga stabilisasi harga.
Kemarau ekstrem yang akan memasuki puncak pada semester kedua diyakini bakal mempengaruhi tingkat produksi gabah hingga beras dalam negeri. Perhimpunan Agronomi Indonesia (Peragi) meminta pemerintah untuk menyiapkan mitigasi secara tepat demi meminimalisasi dampak yang dapat ditimbulkan.
“El Nino yang berat dan sedang pasti berdampak ke produksi. Hanya sejauh mana dampaknya? Ini yang perlu kita lihat. Anomali iklim ini juga sudah sering terjadi di Indonesia. Musim kemarau (biasa) saja berpengaruh,” kata Syakir.
BMKG sendiri telah menyampaikan puncak El Nino kemungkinan akan terjadi pada bulan Agustus mendatang dengan level lemah hingga sedang. Meski demikian, intensitas anomali iklim kering di setiap daerah bakal memiliki level berbeda. Oleh karena itu, Syakir menegaskan, tanggung jawab terhadap mitigasi El Nino harus dipahami oleh pemerintah pusat hingga lokal.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, produksi gabah kering panen (GKP) dalam tiga tahun terakhir memang surplus dengan level fluktuatif. Pada 2020, produksi GKP mencapai 54,6 juta ton, lalu 2021 turun menjadi 54,4 juta ton dan kembali naik menjadi 54,7 juta ton tahun 2022.
Meski demikian, kata Syakir, pencapaian surplus produksi dengan iklim yang relatif baik nyatanya belum memperlihatkan peningkatan signifikan. “Dengan mitigasi adaptasi yang tepat, pemerintah paling tidak harus mampu mempertahankan produksi nasional karena jumlah penduduk yang terus meningkat,” ujarnya.
Tantangan peningkatan konsumsi pun harus dipikirkan pemerintah. Meski dia meyakini laju pertambahan konsumsi beras tidak akan signifikan. Karenanya, kampanye diversifikasi pangan yang dijalankan Bapanas perlu terus dilakukan untuk mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap beras sebagai pangan pokok. YR/SW