Upaya stabilisasi harga komoditas pangan terus dilakukan pemerintah. Seiring pergantian menteri, pola atau strategi yang digunakan dalam menstabilkan harga komoditas pangan juga berubah.
Kini, pola yang digulirkan untuk menstabilkan harga itu adalah dengan menerapkan harga acuan. Empat komoditas pangan, yakni beras, gula, bawang merah, dan daging sapi akan menjadi komoditas yang akan dikenakan harga acuan dalam peredarannya di dalam negeri.
Untuk menerapkan harga acuan itu, pemerintah tengah merumuskan formulasi harga di tingkat petani (floor price), dan harga di tingkat konsumen (ceiling price) untuk keempat komoditas pangan itu.
Sebagai pilot project, pemerintah pusat akan bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk memotong mata rantai perdagangan daging sapi melalui kerja sama dengan badan usaha milik daerah (BUMD) Jakarta. Jika ini berhasil, pola serupa akan dikembangkan di daerah-daerah lain yang bukan merupakan sentra produksi daging sapi.
Penetapan harga acuan sebenarnya bukanlah hal baru. Pola ini telah diusulkan pada era Menteri Perdagangan masih dijabat oleh Muhamad Lutfi. Rencananya, akan ada daftar harga perkiraan yang bisa menjadi acuan petani dan pedagang dalam menentukan harga pada satu tahun ke depan.
Dengan adanya perkiraan harga ini, maka para petani bisa menghitung berapa harga suatu komoditas pada tahun depan. Rencana acuan harga ini awalnya didorong adanya masalah yang selalu terjadi pada harga daging unggas atau daging ayam yang terjadi setiap lima tahun dan mendorong peternak unggas untuk gulung tikar dalam kurun waktu tersebut.
Namun karena adanya pergantian pemerintahan, usulan penatapan harga acuan ini pun tidak terdengar lagi. Kini, setelah Menteri Perdagangan dipegang oleh Enggartiasto Lukita, usulan harga acuan dihidupkan lagi.
Penetapan harga acuan merupakan suatu hal yang baik dimana hal ini menunjukkan adanya keterlibatan pemerintah lebih dalam lagi dalam menstabilkan harga komoditas pangan.
Namun, penerapan pola itu juga memerlukan payung hukum yang jelas, baik berupa Perpres maupun peraturan menteri. Dalam aturan itu harus jelas apakah dalam keadaan tertentu pelaku usaha tidak boleh menyimpan barang dalam batas ukuran tertentu atau masih diperbolehkan?
Selain itu, diperlukan lembaga aatau badan yang akan menjadi eksekutor dalam penerapan aturan itu. Apakah lembaga atau badan yang jadi eksekutor itu akan mampu membeli produk petani jika jauh dari harga acuan? Sejauhmana juga kesiapan lembaga atau badan eksekutor itu untuk menampung produk petani yang dibelinya.
Sampai saat ini, hanya sedikit lembaga atau badan yang memiliki infrastruktur memadai seperti ketersediaan gudang, alat pendingin , jaringan distribusi dan logistik.
Dan yang lebih penting lagi adalah kesediaan anggaran. Tanpa adanya anggaran yang besar, pemerintah akan mengalami kesulitan untuk menstabilkan harga komoditas pangan yang telah ditetapkan terkena aturan harga acuan itu.