Bisnis perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri, dua primadona penghasil devisa, terus mendapat tantangan berat. Setelah rongrongan kampanye negatif pihak asing, kini giliran aturan baru pemerintah bisa jadi hambatan. Atas nama perbaikan pengelolaan lingkungan hidup, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menggelar aturan baru Proper Gambut. Tumpang tindih?
Upaya pemerintah meredam dan menghentikan kebakaran hutan dan lahan, terutama di kawasan gambut, ternyata tak cukup sekadar melakukan moratorium izin baru serta rencana moratorium pelepasan perkebunan sawit yang diklaim bakal menyelamatkan 3,5 juta hektare. Kini, setelah lama diberlakukan di hilir, yakni industri pengolahan, pemerintah menerapkan Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan alias Proper untuk perkebunan sawit dan hutan tanaman di kawasan gambut.
“Saat ini proses penilaian Proper sudah berjalan. Kami sedang melakukan sosialisasi dengan calon peserta,” kata Direktur Pengendalian Kerusakan Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Wahyu Indraningsih, yang dihubungi Sabtu (6/8/2016). Landasan hukum Proper Gambut adalah Surat Keputusan Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan No SK.23/PPKL/Set/WAS.3/2016.
Tujuan Proper gambut ini tak lain mendorong perbaikan pengelolaan lingkungan bagi perusahaan-perusahaan yang menjalankan bisnisnya di lahan gambut. Yang jadi masalah, bisnis kebun sawit maupun hutan tanaman industri selama ini sudah punya penilaian soal kelestarian pengelolaan. Di hutan tanaman, ada sertifikat Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL). Sementara di perkebunan sawit ada sertifikat Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Dengan dua sertifikat itu, berarti pemegangnya sudah membuktikan mengelola kebun dan hutan secara berkelanjutan.
Itu sebabnya, penerapan Proper mendapat resistensi. Pasalnya, penilaian kinerja pengelolaan lingkungan sudah ada di dalam program wajib PHPL maupun ISPO. Akan jadi aneh jika perusahaan punya sertifikat PHPL atau ISPO, tapi dapat kriteria “merah” di Proper.
Namun, Indraningsih punya jawaban. Menurut dia, kriteria penilaian Proper berbeda dengan PHPL dan ISPO. Jadi, pengusaha tinggal jelaskan ke publik. “Karena kriteria dan indikatornya berbeda, ya jelaskan saja jika ada yang bertanya soal hasil penilaian yang bertolak belakang,” katanya.
Semudah itu? Tak heran, Sekjen Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Togar Sitanggang jengkel. Apalagi, Gapki sudah beri masukan terkait kebijakan tata kelola gambut lewat surat tertanggal 28 Juli 2016. Itu sebabnya, Togar pun apatis. “Mau bikin kebijakan apapun terserah saja. Tumbangkan saja kelapa sawitnya sekalian,” sergahnya. Duh. AI