Harmoni Hutan, Listrik, dan Kopi di Gunung Lompu Battang

Bangunan pembangkit PLTMH Kayubiranga

Roda mobil kabin ganda yang ditumpangi Kepala Badan Litbang dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BLI KLHK) Agus Justianto selip. Jalan menanjak dengan kemiringan lebih dari 45 derajad dan hanya dilapis batu rupanya membuat mobil terengah-engah meski sudah berpenggerak 4 roda (4WD). Setidaknya 2 kali insiden ban selip terjadi dan butuh dorongan tenaga manusia sebelum akhirnya tiba di tujuan, Desa Kayubiranga, Kelurahan Borongrappoa, Kecamatan Kindang, Bulukumba, Sulawesi Selatan, Kamis (19/4/2018).

Itulah gambaran sulitnya menuju desa terpencil yang terletak di kaki gunung Lompu Battang. Penggila swafoto yang gemar mengungah hasilnya di sosial media pasti geregetan berada di desa ini. Maklum, jangankan koneksi internet berkecepatan 4G, satu batang sinyal pun tak akan muncul di layar ponsel karena operator telekomunikasi belum menjangkau desa ini.

Desa Kayubiranga sejatinya juga belum terjangkau jaringan PLN. Namun istimewanya, lampu, televisi dan perangkat elektronik lainnya tetap bisa menyala di sana. Sumber listrik berasal dari pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) yang dibangun secara swadaya dengan dukungan dari BLI KLHK, Pemerintah Kabupaten Bulukumba dan LSM Oase.

Tokoh masyarakat Kayubiranga Nasir mengungkapkan, dahulu masyarakat memanfaatkan genset untuk penerangan selama 4 jam semalam. Setidaknya Rp600.000 per bulan harus dikeluarkan dari kocek untuk membeli BBM demi kebutuhan tersebut.

“Kini listrik PLTMH mengalir 24 jam dan kami hanya perlu membayar iuran sebesar Rp10.000/bulan,” katanya dengan nada senang.

Jika dirata-rata, setiap rumah akan kebagian daya listrik sekitar 250 watt. Namun pemakaian bisa saja lebih tinggi saat warga lain tidak menggunakannya. Mereka bebas memanfaatkannya untuk penerangan, menyalakan televisi, menanak nasi dan untuk menyalakan alat-alat pertukangan.

1.Kepala Badan Litbang dan Inovasi KLHK Agus Justianto (tengah) dan Peneliti Balai Litbang LHK Makasar Hunggul Hunggul YSH Nugroho (kiri) di depan pembangkit PLTMH Kayubiranga.
Kepala Badan Litbang dan Inovasi KLHK Agus Justianto (tengah) dan Peneliti Balai Litbang LHK Makasar Hunggul Hunggul YSH Nugroho (kiri) di depan pembangkit PLTMH Kayubiranga.

PLTMH Desa Kayubiranga dibangun tahun 2015 berkapasitas 15 Kilowatt (KW). Pembangunan dilakukan secara bergotong royong. Setiap kepala keluarga juga melakukan urunan masing-masing sekitar Rp2 juta.

PLTMH memanfaatkan aliran sungai kecil yang bersumber dari mata air di hutan lindung Gunung Lompu Battang. Sementara turbin dan generator pembangkit listrik memanfaatkan teknologi yang dikembangkan Balai Litbang LHK Makasar, unit pelaksana teknis BLI KLHK. Peneliti Balai Litbang KLHK Makasar Hunggul YSH Nugroho menyatakan, keunggulan perangkat pembangkit yang dikembangkan pihaknya adalah kemudahaan untuk perawatan. Onderdil yang dimanfaatkan pun bisa didapatkan dengan mudah di Bulukumba.

“Kami ingin masyarakat mandiri. Dengan teknologi yang kami tawarkan, masyarakat bisa melakukan perawatan dan perbaikan sendiri jika ada kerusakan,” katanya.

Cascade System

PLTMH Kayubiranga merupakan bagian dari pengembangan PLTMH dengan pendekatan jeram (cascade) oleh Balai Litbang LHK Makasar.  Menurut Hunggul, dari aspek teknis, pendekatan ini memanfaatkan aliran air berkesinambungan dari satu PLTMH ke PLTMH lain di bawahnya. “Aliran air keluar dari PLTMH di kampung atas, menjadi aliran air masuk untuk PLTMH di kampung bawah,” kata Hunggul.

Memanfaatkan pendekatan ini, sudah ada 4 PLTMH pada 3 desa berbeda di Kelurahan Borongrappoa yang dibangun. Di paling atas, ada PLTMH Sengang dengan kapasitas 7,5 KW. Kemudian ada PLTMH Katimbang (5 KW), berlanjut ke PLTMH Kayubiranga (15 KW), dan paling bawah PLTMH Nakna (20 KW).

Dari aspek non teknis, maka pendekatan jeram ini berarti pembangunan PLTMH di desa paling atas memicu pembangunan PLTMH dibawahnya secara swadaya. Menurut Hunggul, PLTMH Senggang yang berada di paling atas masih dibangun dengan bantuan pendanaan dari pemerintah. Namun PLTMH lain di bawahnya dibangun murni swadaya. “Masyarakat di bawah terpicu setelah melihat masyarakat di desa atas bisa menikmati listrik murah,” katanya.

Asal tahu saja, pengembangan mikrohidro dengan sistem cascade ini pernah masuk sebagai 104 Inovasi Paling Prospektif di Indonesia dari Kementerian Riset dan Teknologi.

Hunggul menekankan, meski pengembangan  mikro hidro bertujuan akhir untuk menghasilkan energi listrik, namun memberi dampak besar pada pelestarian hutan yang memang merupakan otoritas KLHK. Sebab kenyataannya, masyarakat secara sadar menjaga hutan sebagai sumber aliran air penggerak turbin mikro hidro.

Pengembangan mikro hidro juga berdampak sangat rendah terhadap lingkungan. “Skalanya yang kecil membuat mikro hidro bisa dibuat tanpa mengubah bentang alam. Jaringannya pun terbatas dan sederhana, ini membuat pengembangan mikro hidro nyaris tanpa risiko,” kata Hunggul.

Dia mengungkapkan, hingga saat ini setidaknya ada 20 unit PLTMH yang telah dibangun dengan memanfaatkan teknologi yang dikembangkan Balai Litbang LHK Makasar. Selain di masyarakat, teknologi tersebut juga sudah dimanfaatkan institusi KLHK di tingkat tapak.

Saluran air untuk PLTMH Kayubiranga
Saluran air untuk PLTMH Kayubiranga

Ekonomi Produktif

Tak berhenti sekadar menghasilkan listrik, Balai Litbang LHK Makasar kini juga mendorong agar listrik PLTMH dimanfaatkan untuk kegiatan produktif. Salah satunya adalah untuk mengeringkan dan menyangrai biji kopi, komoditas andalan masyarakat yang tinggal di kaki Gunung Lompu Battang. Ditanam di ketinggian sekitar 1.000 meter dari permukaan laut membuat kopi Lompu Battang memiliki aroma harum dan cita rasa yang enak.

Menurut Hunggul, meski bisa menghasilkan kopi bagus, namun selama ini masyarakat terkendala pada proses pengeringan. Panen kopi yang terjadi di bulan Mei-Juni biasanya langsung diikuti musim penghujan. Akibatnya biji kopi dijual dalam bentuk gelondongan. “Kami membantu pondok pengeringan memanfaatkan tenaga listrik sehingga nilai tambah petani bisa meningkat mencapai Rp3.000-Rp4.000 per liter,” katanya.

Kini bahkan masyarakat didorong untuk menghasilkan kopi siap saji dengan memanfaatkan kompor biomassa yang dikembangkan Balai Litbang LHK Makasar. Kompor ini memanfaatkan sisa ranting kayu dan biomassa yang dikombinasikan dengan hembusan kipas listrik kecil untuk meningkatkan panas dan konsistensi api yang dihasilkan. Sementara alat penyangrai bukan lagi wajan biasa, melainkan tabung yang bisa diputar dengan mudah untuk menghasilkan gorengan kopi yang merata.

Memanfaakan kompor kombinasi, proses menyangrai hanya butuh waktu sekitar 30 menit untuk 1 liter kopi. Sementara jika menggunakan kompor biasa butuh waktu sekitar satu jam. Penghematan juga terjadi dari sisi biaya. Sebab jika memanfaatkan kompor biasa, dibutuhkan setidaknya 2 tabung gas seharga Rp25.000 per tabung.

Menyangrai kopi dengan kompor biomassa
Menyangrai kopi dengan kompor biomassa

Menurut Andi Soleh, tokoh masyarakat di kaki Gunung Lompu Battang, masyarakat bisa merasakan nilai tambah yang luar biasa dari PLTMH. “Jika kopi dijual gelondongan hanya Rp10.000 per liter, tapi kalau sudah disangrai bisa mencapai Rp50.000 per liter,” katanya.

Sementara itu, Wakil Bupati  Bulukumba Tomy Satria Yulianto menyatakan apresiasi yang tinggi atas dukungan BLI KLHK dalam mengembangkan PLTMH di kaki Gunung Lompu Battang. Dia memastikan akan terus mendukung pengembangan PLTMH di Kabupaten Bulukumba. “Masyarakat juga harus memanfaatkan listrik yang dihasilkan untuk kegiatan produktif. Jangan cuma untuk nonton sinetron,” katanya.

Pemkab Bulukumba berjanji akan membantu menyediakan perangkat stabilisator arus listrik dan jaringan sehingga PLTMH yang sudah ada bisa saling terkoneksi untuk menjamin kontinyuitas aliran listrik.

Kepala BLI KLHK Agus Justianto menyatakan keberhasilan pengembangan PLTMH di kaki Gunung Lompu Battang adalah bentuk nyata dukungan BLI untuk kebijakan dan program pemerintah.

Dia menjelaskan, salah satu kebijakan dan program pemerintah yang sedang digencarkan adalah perhutanan sosial. Tak cukup hanya izin pemanfaatan hutan tapi juga bagaimana pemberdayaannya. “Listrik yang dihasilkan berdampak pada peningkatan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Dampak langsungnya, masyarakat secara sadar menjaga kelestarian hutan,” kata Agus.

Dia menegaskan, menjaga kelestarian hutan tak bisa hanya diserahkan kepada pemerintah semata. Hal itu menjadi tugas dan tanggung jawab bersama, termasuk oleh masyarakat. Sugiharto