Pemerintah membuktikan keseriusan untuk menjadikan hutan sebagai sumber kesejahteraan rakyat. Program perhutanan sosial pun dipertajam agar keseriusan tersebut tepat sasaran.
Komitmen pemerintah menjadikan hutan sebagai sumber kesejahteraan rakyat ditegaskan langsung oleh Presiden Joko Widodo. Saat puncak peringatan Hari Lingkungan Hidup 2017 di kompleks Manggala Wanabakti, Jakarta, Rabu (2/8/2017), Presiden menyatakan pengelolaan hutan haruslah memperhatikan dimensi ekonomi dan lingkungan. Artinya, pemanfaatan nilai ekonomis hutan harus seimbang dengan upaya pelestariannya.
“Jangan sampai hutan tidak memberikan apa-apa kepada rakyat. Kenapa hutan di negara lain dapat memakmurkan rakyat, kenapa hutan kita tidak? Itu harus dikoreksi,” tegas Presiden, yang juga sekaligus sekaligus membuka Rapat Kerja Nasional (Rakernas) LHK Tahun 2017, Pekan Nasional Perubahan Iklim (PNPI), dan Kemah Generasi Lingkungan untuk Konservasi, yang dilaksanakan secara bersamaan pada tanggal 2-4 Agustus 2017.
Dalam arahannya, Presiden Jokowi menyampaikan betapa pentingnya untuk melakukan sebuah strategi besar pembangunan hutan yang memiliki dimensi ekonomi dan lingkungan. Menurut Presiden, bentuk pengelolan hutan seperti agroforestry dan silvopasture harus dioptimalkan. “Harus ada koreksi besar, agar ada sebuah terobosan baru yang harus dilakukan, sehingga pengelolaan hutan lebih baik. Jangan berpikir linier dan monoton,” katanya.
Presiden pun berpesan agar pada Rakernas LHK Tahun 2017 dapat dirumuskan pemikiran baru, sehingga pengelolaan hutan menjadi sebuah pengelolaan yang secara konsisten dapat terus dikerjakan, dan memperoleh hasil yang baik. Pengelolaan ini, menurut Presiden Joko Widodo, dapat mencontoh negara lain seperti Swedia dan Finlandia, di mana 70%-80% perekonomiannya berasal dari sektor kehutanan.
Presiden berpesan agar jajarannya di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mempelajari bagaimana kedua negara tersebut mengelola hutannya dengan memperhatikan aspek lingkungan dan ekonomi.
Besar-besaran
Merespons pesan Presiden, Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution — yang juga hadir pada acara tersebut — menyatakan dalam waktu dekat pemerintah akan meluncurkan program perhutanan sosial secara besar-besaran. Program ini akan mengurangi ketimpangan masyarakat untuk mengakses lahan, salah satu penyebab kemiskinan.
Dia mengungkapkan, tanpa memperhitungkan luas kawasan hutan, rata-rata kepemilikan lahan di Indonesia saat ini hanya 0,6 hektare per kapita (ha/kapita). Bahkan, di antara lima pulau besar yang ada, hanya Kalimantan yang rata-rata kepemilikan lahan di atas 1 ha, yaitu 1,1 ha/kapita. “Di Jawa, bahkan kepemilikan lahan hanya 0,07 ha/kapita,” katanya.
Darmin menegaskan, dukungan kepada masyarakat ekonomi lemah tak cukup sekadar memberikan perlakuan yang adil. Namun juga harus ada dukungan modal, seperti akses lahan, pembiayaan, serta peningkatan kapasitas dan kelembagaan.
Untuk memperkuat dukungan tersebut, program perhutanan sosial akan dijalankan dengan pola klaster. Artinya, kelompok tani bisa mengelola 500-2.500 ha lahan hutan dengan pola agroforestry yang ditunjang dengan industri pengolahan. Darmin mengungkapkan, percontohan program agroforestry akan dilakukan pada kawasan hutan yang dikelola perusahaan kehutanan pelat merah, Perum Perhutani, dan anak perusahaannya PT Inhutani I-V. Pemerintah berencana untuk mendistribusikan lahan seluas 570.000 ha yang saat ini belum dikelola dengan optimal.
“Kami siapkan masing-masing dua titik di Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk lokasi pencanangan perhutanan sosial,” kata Darmin.
Akses untuk rakyat
Sementara itu, Menteri LHK Siti Nurbaya menyatakan pihaknya terus membenahi model-model pengelolaan perhutanan sosial. Dia ingin memastikan program tersebut bisa terlaksana dengan baik dan tepat sasaran.
Maklum, di lapangan ada saja resistensi yang dihadapi, meski program tersebut sejatinya sangat menguntungkan masyarakat.
Menteri Nurbaya menjelaskan, perluasan akses hutan kepada rakyat sesungguhnya sudah terjadi. “Di beberapa tempat, dengan pengakuan hutan adat secara resmi, aktivitas aktual hutan-hutan desa di berbagai wilayah di Indonesia serta Hutan Tanaman Rakyat, terus menggeliat,” katanya.
Menurut Menteri Nurbaya, pembukaan akses hutan bagi rakyat merupakan langkah corrective measures, kebijakan, implementasi, praktik dan pendekatan yang terus-menerus diperbaiki bagi kepentingan rakyat banyak. “Implementasinya harus terus-menerus berkesinambungan, agar tujuan nasional bisa dicapai dan cita-cita nasional bisa diwujudkan, yaitu untuk masyarakat sejahtera,” kata dia. AI
DPR Dukung Penuh Perhutanan Sosial
Komitmen pemerintah untuk mendistribusikan akses lahan melalui perhutanan sosial mendapat dukungan dari gedung parlemen. Ketua Komisi IV DPR, Edhy Prabowo menegaskan, pihaknya memberi dukungan penuh terhadap berbagai program Kementerian LHK.
“Kami di Komisi IV siap membantu program-program yang langsung menyentuh masyarakat, termasuk perhutanan sosial. Kami mendukung penuh program perhutanan sosial ini sebagai salah satu prioritas nasional untuk kesejahteraan masyarakat,” katanya saat menjadi pembicara pada Rapat Kerja Nasional LHK tahun 2017 di Jakarta, Kamis (3/8/3017).
Edhy sendiri menyatakan sudah melihat langsung besarnya peran program perhutanan sosial dalam mendukung kesejahteraan masyarakat di lapangan. Dia mengaku baru saja berkunjung ke beberapa Hutan Nagari (Hutan Desa) di Sumatera Barat.
Edhy menilai, salah satu hutan nagari di sana, yaitu Hutan Nagari Sungai Buluh, Kecamatan Batang Anai, Kabupaten Padangpariman, Sumatera Barat layak menjadi pilot project program perhutanan sosial di Indonesia. Di sana, masyarakat setempat sudah menunjukkan upaya dalam menjaga keadaan kawasan hutan tetap lestari serta memanfaatkan hutan dan hasil hutan non kayu untuk peningkatan ekonomi masyarakat setempat.
Edhy menjamin bahwa 49 anggota Komisi IV tidak akan mengganjal program yang diajukan Kementerian LHK. Bahkan, seluruh anggota DPR yang berjumlah 560 orang dipastikan tidak akan mempersulit program-program LHK. Ini tidak lepas dari pentingnya program-program LHK untuk mendukung pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.
Hanya saja, Edhy mengingatkan, DPR membutuhkan data yang akurat sebelum mengambil keputusan strategis, termasuk dalam penganggaran. Sayangnya, kata dia, salah satu kelemahan yang dihadapi selama ini adalah soal data. “Untuk itu, kami berharap agar Kementerian LHK bisa memperkuat data untuk memperkuat dukungan DPR,” katanya. AI
Baca juga: