IKM Produk Hutan tak Wajib SVLK

Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (AMKRI) secara mengejutkan berhasil “menekuk” aturan main Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang diwajibkan kepada seluruh eksportir produk kehutanan mulai 1 Januari 2015. Dengan dalih industri mebel dan kerajinan skala kecil dan menengah (IKM) kesulitan, tiga menteri Kabinet Kerja sepakat tidak mewajibkan industri tersebut menerapkan aturan SVLK.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya boleh saja bereaksi keras ketika Menteri Perdagangan Rachmat Gobel secara mendadak berencana mengecualikan industri mebel kelas kecil dan menengah dari kewajiban SVLK per 1 Januari 2015. Namun, dalam pertemuan Kamis sore (27/11/2014) dengan Rachmat Gobel, Menteri Perindustrian Saleh Husin dan perwakilan AMKRI, Menteri Siti malah sepakat memberi kelonggaran kepada IKM mebel. Meski kewajiban SVLK tetap berlaku per 1 Januari 2015, namun untuk IKM mebel tidak wajib melengkapi dokumen V-Legal.

“Dalam rangka mendorong ekspor mebel dan kerajinan kayu, bagi industri kecil dan menengah, pemerintah memberi kemudahan melalui prosedur SVLK yang disederhanakan, yakni melalui self declaration. Ini bentuk dukungan pemerintah pada IKM dan merupakan komitmen Indonesia dalam melindungi kelestarian lingkungan,” ujar Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag, Partogi Pangaribuan kepada Agro Indonesia, Jumat (28/11/2014).

Ini jelas antiklimaks. Padahal, sesuai suratnya kepada Mendag, Siti Nurbaya meminta koleganya itu mendukung kebijakan mewajibkan seluruh industri kehutanan melengkapi dokumen V-Legal. Apalagi, kewajiban itu sesuai dengan aturan Permendag No.64/2012 jo. Permendag No.81/2013. “Usulan penangguhan/pembatalan SVLK bagi industri mebel dapat menurunkan kredibilitas SVLK pada Uni Eropa dan negara-negara pasar utama… karena ketidakkonsistenan” waktu pelaksanaan SVLK sesuai kesepakatan, demikian surat Siti.

Sekadar informasi, SVLK adalah perjuangan panjang Indonesia selama hampir satu dasawarsa untuk memberikan jaminan legalitas kayu hingga produk kayu dari negeri ini bisa diterima di seluruh 28 negara anggota Uni Eropa tanpa harus menjalani uji tuntas (due diligence). Dengan SVLK ini, maka daya saing ekspor produk kayu Indonesia meningkat. Terbukti, Direktur Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan Kementerian LHK, Dwi Sudharto menyatakan kinerja ekspor produk kayu terus naik. Jika Januari-Agustus 2013 devisa produk kayu mencapai 4,5 miliar doar AS, maka periode yang sama tahun ini sudah naik 4,8% menjadi 4,7 miliar dolar AS.

Itu sebabnya, dia menilai upaya memundurkan lagi waktu implementasi secara penuh SVLK sama saja kembai ke zaman jahiliyah. “Zaman di mana semua gelap. Bahan baku tidak jelas, legalitas usaha pun samar-samar,” tegas Dwi. Memang, kesepakatan itu tetap diberlakukan. Hanya saja, ada previlege, kalau bukan diskriminasi, terhadap pelaku bisnis lainnya. Semoga keputusan ini tidak melemahkan sistem yang sudah dibangun. AI