Kredibilitas SVLK Dipertaruhkan

Umur kabinet kerja Joko Widodo (Jokowi) masih hitungan hari. Blusukan pun sedang gencar-gencarnya dilakukan. Namun, sepertinya kontroversi bakal memenuhi kabinet yang sarat harapan publik ini. Jika komunikasi antaranggota kabinet tidak segera dibenahi, jangan harap Nawa Cita yang digantung Jokowi bakal tercapai.

Salah satu silang pendapat yang mencuat adalah soal implementasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Adalah pernyataan Menteri Perdagangan Rahmat Gobel yang menjadi pemicunya. Menteri Rachmat punya rencana untuk mengulur tenggat waktu penerapan SVLK, khususnya untuk produk mebel.

Pagi-pagi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menolak rencana itu. “SVLK ini bagus untuk mencegah perdagangan kayu ilegal sekaligus meningkatkan posisi tawar kita. Jadi, sebaiknya jangan ada penundaan untuk penerapannya,” kata dia pekan lalu.

Siti bahkan sudah melayangkan surat kepada Menteri Rachmat soal itu. Dalam suratnya bernomor S.490/Menhut-VI/2014  tertanggal 11 November 2014, Siti tetap menginginkan penerapan SVLK secara penuh terhadap semua produk industri kayu mulai berlaku pada 1 Januari 2015. Surat itu juga ditembuskan kepada Presiden Jokowi.

“Penangguhan SVLK bagi industri mebel dapat menurunkan kredibilitas SVLK pada UE dan pada negara-negara pasar utama yang saat ini sedang dalam proses negosiasi keberterimaan SVLK, karena ketidakkonsistenan waktu pelaksanannya sebagaimana telah disepakati,” kata dia, dalam suratnya.

Dalam suratnya itu, Siti juga menjelaskan bahwa SVLK merupakan kebanggaan Indonesia. Sebab, di tengah maraknya permintaan jaminan legalitas kayu, SVLK diterima secara resmi oleh 28 negara anggota Uni Eropa (UE) yang ditandai dengan penandatanganan Perjanjian Kerjasama Sukarela (FLEGT-VPA) pada September 2013.

Perjanjian FLEGT-VPA tersebut juga telah diratifikasi oleh pihak Indonesia melalui Perpres No.21 Tahun 2014 dan oleh pihak UE pada tanggal 1 Mei 2014. Selain UE, SVLK juga telah diakui resmi oleh Australia.

Hal itu menjadikan ekspor produk kayu Indonesia bebas uji tuntas (due diligence). Pelaksanaan uji tuntas terhadap produk yang diekspor pada akhirnya dapat menurunkan daya saing. “Negosiasi keberterimaan SVLK juga tengah dilakukan dengan pasar utama produk perkayuan seperti Korea, Jepang, Amerika Serikat, Kanada, dan Tiongkok,” tulis Siti.

SVLK adalah sistem lacak balak produk kayu yang dikembangkan Indonesia secara transparan dan akuntabel dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Kewajiban seluruh produk ekspor untuk mendapat dokumen Sertifikat Legalitas Kayu (S-LK) yang merupakan bagian dari SVLK, diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor.81/M-DAG/PER/12/2013 tentang perubahan atas Permendag Nomor.64/M-DAG/PER/10/2012 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan.

Ada solusi

Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, menteri kehutanan dan menteri perdagangan sangat kompak untuk menerapkan implementasi penuh SVLK, termasuk pada produk mebel dan kerajinan. Meski demikian, harus diakui banyak pelaku usaha yang kesulitan untuk mendapat sertifikat LK. Sebagai gambaran, sampai akhir Agustus 2014 lalu, jumlah industri pengolahan kayu yang telah mendapat sertifikat LK, baru 1.136 unit. Padahal, usaha skala mikro dan rakyat jumlahnya bisa mencapai puluhan ribu unit.

Direktur Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Dwi Sudharto mengakui, ada sejumlah usaha kehutanan skala mikro dan kecil, umumnya mebel dan furnitur, yang mengalami kesulitan untuk mendapat sertifikat S-LK. Namun, pemerintah juga tidak tinggal diam.

Soal biaya sertifikasi, misalnya. Banyak pelaku usaha mikro dan kecil yang kesulitan membayar biaya sertifikasi yang besarnya berkisar Rp30 juta-Rp50 juta.  “Sebagai solusi, sertifikasi bagi usaha mikro dan kecil bisa dilakukan secara berkelompok. Sehingga biayanya bisa lebih ringan karena ditanggung bersama,” katanya.

Selain itu, pemerintah pun menyediakan bantuan pembiayaan untuk pendampingan dan audit lewat anggaran Kemenhut dan lembaga donor, sejak tahun 2012.

Masih soal kemudahan bagi usaha skala rakyat, SVLK memungkinkan penggunaan dokumen deklarasi kesesuaian pemasok (DKP) untuk kayu dan produk kayu yang mereka hasilkan bersumber dan diproses secara legal. Dokumen diterbitkan secara mandiri dan tidak perlu diverifikasi oleh auditor sehingga bebas biaya. Penggunaan DKP masih sesuai dengan prinsip akuntabilitas dan transparansi sertifikasi seperti diatur oleh International Standardization Organization (ISO).

Menurut Dwi, banyak hal positif dari penerapan SVLK. Termasuk soal semakin tertibnya pelaku usaha perkayuan menjalankan bisnisnya. Sebab, untuk mendapatkan sertifikat LK, mereka harus mendokumentasikan tata usaha kayu secara lengkap. Bukan itu saja, mereka harus mempunyai semua dokumen legalitas terkait perizinan usahanya, seperti Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), Tanda Daftar Perusahaan (TDP), bahkan nomor pokok wajib pajak (NPWP). Mereka juga harus memiliki dokumen kesejahteraan karyawan seperti K3 dan bebas dari pekerja anak.

“Di masa lalu, banyak industri yang ternyata tidak punya SIUP. Sekarang tidak ada lagi yang bisa seperti itu. Ini artinya pelaku usaha semakin tertib,” katanya.

Dia menegaskan, jika ada yang mau mengundurkan lagi waktu implementasi penuh SVLK, maka itu berarti membuka lorong waktu untuk kembal ke zaman jahiliyah. “Zaman di mana semua gelap. Bahan baku tidak jelas, legalitas usaha pun samar-samar,” kata Dwi.

Jika manfaat itu belum cukup, Dwi memaparkan bagaimana kinerja ekspor produk kayu makin meningkat. Jika pada Januari-Agustus 2013 ekspor tercatat 4,5 miliar dolar AS, maka pada periode yang sama tahun 2014 nilai ekspor naik 4,8% menjadi 4,7 miliar dolar AS. “Ini bukti SVLK semakin diterima pasar internasional,” kata Dwi. Sugiharto

Jaminan Legalitas Bisa Dipertanyakan Lagi

Koordinator Jaringan Independen Pemantau Kehutanan (JPIK), Mardi Minangsari menyayangkan munculkan wacana pegunduran pemberlakukan SVLK secara penuh, khususnya untuk produk mebel, mulai tahun 2015. Dia mengingatkan, langkah menteri perdagangan itu bakal melemahkan sistem yang telah dibangun oleh multipihak untuk meningkatkan akuntabilitas dan transparansinya.

“SVLK yang dibangun lewat proses diskusi panjang multi-pihak selama hampir satu dekade sebenarnya menunjukkan komitmen pemerintah untuk membenahi tata kelola  hutan dan perkayuan di Indonesia,” kata Minang.

JPIK merupakan aliansi LSM yang menjadi pemantau yang memang diakomodir dalam SVLK.

Menurut Minang, SVLK menjadi bagian untuk mengatasi masalah pembalakan liar dan perdagangan kayu ilegal di Indonesia. Sistem ini juga membantu agar produk kayu Indonesia tidak lagi masuk dalam kategori high-risk yang bercitra buruk, terutama di pasar internasional.

Keberatan terhadap pelaksanaan SVLK juga dipertanyakan. Apalagi, SVLK tidaklah diatur dalam ketentuan yang benar-benar baru. Melainkan merujuk pada semua peraturan perundangan yang berlaku di sektor perkayuan di Indonesia, dari hulu sampai hilir. SVLK ini, katanya, memastikan kepatuhan para pemegang izin dan pelaku usaha  pada peraturan dan perundangan yang berlaku kegiatan verifikasi legalitas kayu dan sertifikasi  pengelolaan hutan produksi lestari.

Menurut Minang, jika pembatalan implementasi SVLK terjadi, maka akan terihat political will pemerintah lemah dan ketidakkonsistenan dalam pelaksanaan peraturan perundangan yang dikeluarkan sendiri.

Pembatalan itu juga akan melemahkan seluruh upaya panjang selama ini untuk membenahi seluruh rantai produksi kayu dan produk kayu. Penundaan hanya akan memberi peluang bagi pelaku usaha yang ingin melakukan business as usual untuk mengajukan dispensasi juga dengan beragam alasan.

“Pembatalan ini juga akan berdampak buruk atau menjadi disinsentif bagi pelaku usaha kecil dan menengah yang sudah melaksanakan atau kini tengah bergiat untuk melaksanakan SVLK sebagai salah satu upaya bersaing di pasar internasional,” katanya.

Minang melanjutkan, penundaan implementasi SVLK secara penuh akan merusak kredibilitas  kayu Indonesia yang hingga saat ini telah mendapat apresiasi dari negara-negara yang berpengaruh dalam perdagangan kayu dunia seperti EU, AS dan Australia. “Jaminan legalitas kayu Indonesia bisa jadi akan dipertanyakan kembali,” ujarnya.

Dia menuturkan, saat ini negara-negara penghasil produk kayu di region Asia Tenggara seperti Vietnam, Myanmar dan Laos sedang giat untuk menata sektor perkayuan mereka dengan menggunakan skema Timber Legality Assurance System yang sejajar dengan SVLK.  Indonesia bisa jadi akan tersalip oleh negara-negara pesaing itu jika masih saja menunda, melonggarkan atau bahkan membatalkan pemberlakuan SVLK bagi salah satu produk andalannya.  Sugiharto