Polemik mengenai perlu tidaknya penerapan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) terhadap industri kecil dan menengah (IKM) akhirnya memunculkan solusi baru. Tiga menteri, yakni Menteri Perdagangan Rachmat Gobel, Menteri Perindustrian Saleh Husin dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya serta perwakilan dari Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (AMKRI), dalam pertemuannya di Kantor Kementerian Perdagangan, Kamis sore (27/11), sepakat ketentuan pemberlakuan SVLK mulai 1 Januari 2015 tetap berlaku.
Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Partogi Pangaribuan menjelaskan, SVLK akan tetap diberlakukan 1 Januari 2015. Ketentuan ini telah diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 81/M-DAG/PER/12/2013 tentang Ketentuan Ekspor Produk Hasil Kehutanan.
“Namun, dalam rangka mendorong ekspor mebel dan kerajinan kayu, bagi industri kecil dan menengah pemerintah memberikan kemudahan melalui prosedur SVLK yang disederhanakan. Mekanismenya melalui self declaration. Ini bentuk dukungan pemerintah pada IKM dan merupakan komitmen Indonesia dalam melindungi kelestarian lingkungan,” ujar Partogi kepada Agro Indonesia, akhir pekan lalu.
Dia menjelaskan, penyederhanaan prosedur dan mekanisme SVLK kepada IKM ini tetap berpedoman pada prinsip dan upaya pemerintah mengurangi illegal logging dan menjaga citra produk Indonesia di mata dunia.
Menurut Direktur Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan, Kementerian Perdagangan (Kemendag) Nurlaila Nur Muhammad, IKM yang memperoleh kelonggaran itu adalah industri kecil kayu dan mebel dan yang terkait dengan industri hasil hutan yang beromzet Rp 50-500 juta/tahun dan industri menengah dengan pendapatan Rp500 juta-10 miliar/tahun. Sementara bagi perusahaan yang omzetnya di atas Rp 10 miliar/tahun, tetap diwajibkan menerapkan SVLK.
Nurlaila mengatakan, dengan adanya kelonggaran itu, IKM kayu dan mebel hanya wajib memperolah dokumen Deklarasi Kesesuaian Pasokan/DKP yang diatur oleh Kementerian Keuangan. DKP ini yang nantinya membantu pengusaha kayu dan mebel memperoleh akses ekspor melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). “Jadi kayu ini dianggap legal. Jadi, semacam self declare dan tidak ada biaya,” katanya.
Menurut Nurlaila, kebijakan itu diambil setelah IKM kayu dan mebel merasa berat dengan biaya kepengurusan SVLK yang mencapai Rp20-30 juta. Selain itu, proses kepengurusan yang begitu sulit dan berbelit menjadi keluhan tersendiri bagi kalangan IKM kayu dan mebel. Usulan keberatan disampaikan Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (AMKRI).
“Keberatan mereka karena biaya mahal, pengurusan izin ruwet seperti izin industri, izin lingkungan. Jadi, ini memang berat. Pemerintah dapat memahami dan memberikan bantuan atas kesulitan,” jelasnya.
Solusi itu akan dituangkan pemerintah melalui revisi Permendag 81/2013 tentang perubahan atas Permendag Nomor 64/M-DAG/PER/10/2012 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan. “Dalam Permendag yang baru nanti akan ada revisi pasal yang menyebutkan IKM dalam lampiran B tak wajib menerapkan SVLK, tapi pakai DKP,” ujar Nurlaila. Dia menyatakan, Permendag yang telah direvisi itu akan diterbitkan dalam bulan Desember 2014 ini.
Walaupun tidak wajib, namun pemerintah juga menyediakan bantuan bagi IKM yang ingin menerapkan sistem SVLK. Menurut Nurlaila, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyediakan akses mendapatkan SVLK secara cuma-cuma/gratis dengan menggunakan uang APBN asalkan IKM membentuk kelompok dalam satu koperasi.
Seperti diketahui, polemik mengenai penerapan SVLK terhadap IKM muncul setelah AMKRI meminta agar IKM mebel dan kerajinan tidak kenakan kewajiban SVLK. Ketua AMKRI, Sunoto menginginkan SVLK cukup diterapkan pada pemasok kayu ke anggota AMKRI. “SVLK cukup diterapkan di hulu saja, tidak perlu dihilirnya,” katanya.
Dia juga mengatakan, pihak pembeli di luar negeri (buyer) juga tidak mempertanyakan SVLK pada produk mebel dan kerajinan asal Indonesia. “Saya punya 34 buyer dan mereka tidak mempertanyakan SVLK,” tegas Sunoto.
Keinginan AMKRI itu sebelumnya juga didukung Kementerian Perindustrian (Kemenperin) yang menilai perlunya penundaan pemberlakuan SVLK terhadap IKM.
Menteri Perdagangan Rachmat Gobel juga sebelumnya mendukung keinginan AMKRI. Menurut dia, Kementerian Perdagangan telah membicarakan pengkajian ulang soal Permendag No.81/2013 tersebut dengan para pelaku usaha terkait dan kewajiban memiliki SVLK untuk produk mebel per Januari 2015 bakal ditangguhkan.
Negosiasi
Nurlaila mengatakan, sistem SVLK merupakan kebanggaan Indonesia. Sebab, di tengah maraknya permintaan jaminan legalitas kayu, SVLK diterima secara resmi oleh 28 negara anggota Uni Eropa (UE). Selain UE, SVLK juga telah diakui resmi oleh Australia.
Hal itu menjadikan ekspor produk kayu Indonesia bebas uji tuntas (due diligence). Pelaksanaan uji tuntas terhadap produk yang diekspor pada akhirnya dapat menurunkan daya saing.
Sementara untuk negara-negara lainnya yang tidak menerapkan sistem verifikasi, seperti Vietnam atau Tiongkok, untuk mengekspor produk mebel dan kerajinan harus melalui proses yang panjang dengan harus memenuhi berbagai persyaratan yang ditetapkan negara UE, Australia dan Jepang.
Terkait dengan DKP, yang selama ini tidak kenal oleh negara-negara UE yang selama ini hanya mengakui sistem SVLK, Nurlaila menyatakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan nantinya akan melakukan negosiasi dengan negara-negara yang mengakui SVLK agar sistem DKP juga bisa diterima oleh negara-negara tersebut. “Pemerintah akan melakukan negosiasi dan yakin kalau negosiasi itu akan berhasil,” ucapnya. B Wibowo
SVLK Justru Dongkrak Ekspor
Pengurus Asosiasi Mebel dan Kerajinan (AMKRI) menilai industri mebel dan kerajinan merupakan salah satu industri masa depan karena industri ini menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar dan penyumbang devisa negara yang cukup potensial. Karena itu, pelaku usaha industri ini perlu mendapat dukungan pemerintah agar bisa mengembangkan usahanya dengan baik.
Menurut Sekjen AMKRI, Abdul Subur, industri mebel dan kerajinan telah menyerap lebih dari 500.000 tenaga kerja langsung di sejumlah pabrik. “Jumlah itu belum termasuk tenaga kerja yang terserap di kelompok usaha kecil dan menengah yang terdiri atas tenaga kerja subkon atau outsourcing, tenaga kerja rumahan yang jumlahnya sekitar 2,1 juta orang,” ujarnya.
Dengan kondisi ini, sektor industri mebel dan kerajinan nasional merupakan bantalan ekonomi yang kuat karena bisa menjadi jalan keluar negara dalam penyerapan kerja sekaligus sebagai salah satu substitusi krisis defisit anggaran akibat besarnya impor migas.
Subur juga menegaskan, keberadaan industri mebel dan kerajinan punya potensi besar untuk mengerek devisa negara. Dia menyebut nilai ekspor mebel dan kerajinan Indonesia tahun 2013 menempati urutan ke-18 dunia dengan nilai 1,8 miliar dolar AS untuk mebel dan 800 juta dolar AS untuk produk kerajinan.
Nilai ekspor ini masih kecil dibanding kinerja ekspor mebel beberapa negara eksportir mebel dunia. Berdasarkan data UN Comrade 2013, Tiongkok menempati posisi pertama dunia dengan nilai ekspor lebih dari 52 miliar dolar AS. Sementara Vietnam di posisi ketujuh dengan nilai ekspor mebel 5,3 miliar dolar AS dan Malaysia di posisi 11 dengan nilai ekspor 2,13 miliar dolar AS.
Dukung
Persoalannya, tak semua industri mebel keberatan dengan kewajiban SVLK. Bahkan tak sedikit yang minta pemerintah tidak mengendorkan aturan tersebut karena dengan SVLK justru mendongkrak kinerja ekspor.
Salah satunya adalah Mariana Muliantini, pemilik CV Sun Teak Alliance, industri furnitur skala kecil menengah untuk tujuan ekspor yang berbasis di Jepara. “Kami menunggu 2015 ini SVLK benar-benar bisa diterapkan, sehingga bisa memacu semangat dalam menjalankan usaha furniture kami,” kata dia.
Menurutnya, berbekal sertifikat SVLK dia berhasil merebut kembali pasar di Eropa dan Amerika Serikat, setelah sempat hilang karena dihajar kampanye hitam Greenpeace. Dia sempat mencoba mengikuti skema sertifikasi yang dikembangkan secara voluntary alias sukarela, namun hasilnya tak sesuai harapan.
Mariana bercerita, tahun 2003-2004 adalah periode buruk dalam bisnis mebel nasional. Saat itu, kayu dan produk kayu Indonesia dicap sebagai barang haram karena tingginya illegal logging. “Beberapa customer kami di Eropa, tokonya dirusak Greenpeace karena menjual produk furniture dari Indonesia yg tidak ada sertifikat legalitas kayunya,” katanya.
Yang jadi soal, bukti legalitas yang dikeluarkan pemerintah dan Perum Perhutani sebagai sumber bahan baku kayu, ternyata tak mempan. Ini dikarenakan rendahnya kepercayaan dunia pada dokumen legalitas tersebut.
Ketika bisnis makin sulit, Mariana mencoba ikut skema yang dikembangkan sebuah lembaga TREES 4 TREES pada tahun 2008. Dia rela merogoh kocek hingga 150-360 dolar AS per kontainer untuk mendapat sertifikat itu. Skema TREES 4 TREES menerapkan prinsip ‘potong-tanam’. Teknologi satelit untuk lacak balak pun digunakan. Namun, rupanya customer tak percaya begitu saja. “Mereka pun meminta sertifikat yang dikembangkan Forest Stewardship Council (FSC),” katanya.
Namun, mahalnya biaya sertifikasi FSC, yang mencapai 5.000 dolar AS, membuat Mariana berfikir ulang. Dampaknya, order yang diterima amblas hinga 90%. Banyak perlanggan yang memilih mengalihkan pesanan ke Vietnam. “Karena kepepet, maka tahun 2012 kami terpaksa audit FSC supaya bisa menarik kembali order yang tersedot ke Vietnam. Tapi masih saja belum mampu mengembalikan keadaan kami,” katanya.
Krisis industri furnitur pun terjadi, hampir 50% perusahaan di Jepara gulung tikar. Sebagian IKM juga memindahkan usahanya ke luar Jawa untuk mengawali usaha atau bisnis lain. Namun, setelah SVLK diberlakukan mulai 2013, situasinya berbalik. Setiap pameran di dalam negeri maupun di mancanegara, konsumen banyak yang antusias dengan sistem tersebut. Mariana pun memutuskan ikut audit SVLK dan berhasil lolos. “Beberapa buyer mulai datang kembali. Hal itu tidak lepas dari adanya pengakuan resmi dari Uni Eropa terhadap SVLK,” kata dia gembira. B Wibowo/Sugiharto