Indonesia Banjir Gula Impor

Indonesia kebanjiran gula Impor. Ketersediaan gula dari September 2014-Mei 2015 mencapai 1.366.298 ton dan kebutuhan pada periode yang sama sekitar 1.100.000 ton, sehingga terjadi surplus sebanyak 266.298 ton.

Direktur Jenderal Perkebunan, Gamal Nasir mengatakan, produksi gula tahun 2014 diprediksi meningkat dibandingkan dengan tahun lalu. Peningkatan tersebut mengacu pada prediksi BMKG yang meyakini bahwa tahun ini kondisi cuaca cenderung kering dibandingkan tahun 2013.

“Pengaruh cuaca menjadi dasar kesepakatan Dewan Gula Indonesia (DGI) dan seluruh PG tentang peningkatan produksi gula tahun ini,” kata Gamal pada Agro Indonesia di Jakarta, Kamis (23/10/2014).

Menurut dia, dengan kondisi cuaca yang kering, maka rendemen gula (kadar gula dalam tebu) diprediksi membaik. Tahun 2014, rendemen gula diharapkan bisa mencapai 8,03%.

Meski demikian, produksi gula tahun 2014 diperkirakan hanya sekitar 2,5 juta ton. Rendahnya produksi gula ini karena rendemen tebu hanya sekitar 7%. Di samping itu, akibat adanya El Nino.

Gamal Nasir mengatakan saat ini, rendemen tanaman tebu sekitar 7%-7,9%. Dengan rendemen ini, maka produksi gula juga akan turun. Target produksi gula tahun ini mencapai 2,96 juta ton. Namun, akibat rendemen hanya 7%, maka produksi gula pun dikoreksi.

“Taksasi produksi gula Maret lalu sebanyak 2,96 juta ton. El Nino berakibat rendemen turun hanya 7%, sehingga diprediksi produksi mencapai 2,57 juta ton untuk tahun ini,” katanya.

Di antara beberapa komoditas perkebunan, tebu menjadi salah satu komoditas yang terkena imbas El Nino. Jika pada awal Maret lalu rendemen tebu masih gagah di angka 8,07%, maka pada Juli 2014 rendemen tebu merosot hanya sebesar 7%. Penurunan ini sangat berdampak pada taksasi produksi gula nasional.

Menurut Gamal, sebenarnya sifat El Nino yang cenderung kering bagus untuk komoditas tebu. Tetapi pada kenyataannya, intensitas cuaca berubah, kering dan hujan terjadi secara bergantian sehingga menyebabkan rendemen turun.

Gamal mengatakan, apabila iklim tahun 2014 berdasarkan prakiraan BMKG berjalan normal sesuai prediksi, maka keadaan rendemen tebu diperkirakan rata-rata sebesar 8,07% atau mengalami peningkatan sebesar 12,67% dibanding tahun 2013 yang nilainya sebesar 7,18%.

Dia mengatakan, berdasarkan data DGI, Pulau Jawa diyakini masih memberikan kontribusi terbesar dari produksi gula nasional, yakni mencapai 1.162.208 ton dengan luas lahan tebu di Jawa saat ini sebesar 310.259 hektare (ha). Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan konstribusi produksi gula luar Jawa yang hanya sebesar 858.402 ton dengan luas lahan mencapai 142. 055 ha.

“Secara keseluruhan, realisasi produksi sampai September 2014, jumlah produksi gula nasional sebesar 2.020.609 ton, dengan luas tanaman 366.968 ha dan rendemen sebesar 7,49%,” jelas Gamal.

Gamal menyebutkan, ketersediaan gula nasional lebih dari cukup. Stok gula awal September 2014 lalu tercatat 1.465.589 ton. Kemudian ditambah produksi eks tebu bulan Oktober-Desember 2014 sebanyak 736.219 ton, ditambah lagi dengan sisa raw sugar impor yang diolah 121.909 ton. Total ketersediaan gula sebanyak 2.323.717 ton.

Sementara konsumsi langsung Oktober-Desember 2014 sebanyak 697.419 ton dan penambahan konsumsi sebanyak 330.000 ton. Dengan demikian, total kebutuhan sampai akhir 2014 tercatat 1.027.419 ton atau terjadi kelebihan sekitar 1.296.298 ton.

Untuk ketersediaan gula tahun 2015 diperkirakan mencapai 1.366.298 ton, sedangkan konsumsi/kebutuhan hanya 1.100.000, sehingga Mei 2015 masih terjadi surplus gula sebanyak 266.298 ton (Lihat Tabel).

Program tak berjalan

Gamal mengatakan, pihaknya juga terus melakukan upaya peningkatan rendemen gula petani, mengingat rendemen sangat berpengaruh produksi gula. Salah satunya dengan menyiapkan tim pengawas rendemen.

Menurut Gamal, Tim Pengawas rendemen terdiri dari perguruan tinggi, asosiasi petani tebu serta dinas pertanian yang bertugas mengawasi operasional pabrik gula termasuk menentukan besar kecilnya rendemen tebu. Tim ini akan ditempatkan di 52 pabrik gula milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

“Tim pengawas rendemen ini bersifat independen, tugasnya melakukan pantauan di pabrik gula selama satu tahun di mana setiap bulan memberikan laporannya sehingga nantinya bisa diketahui rendemen yang sebenarnya,” tegasnya

Dijelaskan Gamal, selama ini sering terjadi ketidaksesuaian rendemen tebu di tingkat petani dengan di pabrik gula karena kedua pihak menggunakan pengukuran masing-masing. Petani selalu mengatakan rendemen tanaman tebu mereka tinggi, sehingga berharap harga jualnya tinggi. Namun sebaliknya, pabrik gula menyatakan tingkat rendemen tebu petani rendah. Kondisi ini tentu merugikan petani dan pabrik gula karena mereka tidak menemukan harga yang menguntungkan.

Nantinya, tim pengawas independen akan memantau tebu mulai dari saat panen di lahan perkebunan, selama perjalanan hingga sampai di pabrik untuk digiling. Jadi, nanti hasil rendemen bisa lebih transparan.

“Akan kita cari tahu, di mana ada proses penurunan rendemennya. Setelah itu, kita upayakan peningkatan rendemennya minimal 8% lah,” tegas Gamal.

Gamal menuturkan, ada tiga faktor yang menentukan tinggi rendahnya rendemen, yaitu kualitas tebu, kondisi pabrik, dan manusia. Jika kualitas tebunya baik, maka rendemennya akan tinggi. Sebaliknya jika kualitasnya rendah, maka rendemennya pun rendah.

Saat ini, pabrik-pabrik yang memiliki peralatan masih baik umumnya rendemennya tinggi, sehingga pabrik gula milik swasta yang mesinnya masih baru rendemennya bisa mencapai 9 sampai 10. Sementara pabrik gula BUMN rata-rata umurnya sudah tua, sehingga perlu direvitalisasi. Hal ini tentu juga mempengaruhi angka rendemen.

Pesimis

Suswono, ketika masih menjadi sebagai Menteri Pertanian mengatakan, banyak masalah yang dihadapi dalam pencapaian swasembada gula 2014, di antaranya adalah dampak perubahan iklim, sulitnya pengembangan areal baru, kurangnya dukungan kebijakan tata ruang di provinsi dan kabupaten, keterbatasan infrastruktur terutama untuk wilayah pengembangan di luar Pulau Jawa, kurangnya sarana irigasi dan penyediaan agroinput yang belum tepat jumlah, waktu, harga dan mutu.

“Sejak awal saya sudah bilang kalau mau swasembada gula ya perlu tambahan lahan 350.000 ha, karena lahan yang ada saat ini minim, yakni hanya 400.000 ha. Selain itu juga masalah revitalisasi pabrik gula ini kan kewenangannya di Kementerian Perindustrian. Nah, program revitalisasi tidak berjalan, kita perlu pabrik gula baru sebanyak 20 pabrik, namun yang terbangun baru satu,” ujarnya.

Sementara itu, Mantan Menteri Pertanian Bungaran Saragih mengaku pesimis Indonesia bisa mencapai swasembada gula. Pasalnya, ketergantungan pemerintah terhadap gula impor membuat industri gula tanah air susah bangkit. Apalagi, keran impor gula rafinasi yang dibuka lebar telah membuat gula lokal tersisihkan. “Selama Indonesia masih menggantungkan pemenuhan gula industri dari impor, swasembada akan sulit dicapai. Jadi, intinya, kalau konsepnya masih seperti itu, jangan mimpi kita bisa swasembada gula,” katanya.

Bungaran menambahkan, masalah gula terletak pada produktivitas tanaman tebu yang rendah. Pemenuhan gula dari produksi dalam negeri hanya tercapai jika produktivitas tebu di Pulau Jawa mampu menyamai produktivitas tebu di Lampung.

Untuk itu perlu dilakukan bongkar ratoon secara rutin. Dia membandingkan, pada saat dirinya masih menjadi menteri pihaknya menyediakan subsidi sebesar Rp350 miliar untuk pengadaan bibit dan bongkar ratoon. Program bongkar ratoon yang diluncurkan pemerintah pada 2003 bertujuan untuk meningkatkan produktivitas tebu. Program ini dilatarbelakangi menurunnya produksi gula nasional karena bahan baku tebu yang bermutu rendah.

“Kita usahakan untuk terus berswasembada, tapi tidak usah ngoyo. Tapi kalau mau digenjot, program swasembada gula harus ditopang dengan kebijakan, organisasi, dan sumber daya yang baik. Selama ini kan aneh, pemerintah hanya mencanangkan target swasembada gula, tetapi tidak dibarengi dengan kebijakan dan fasilitasi yang memadai,” pungkasnya. E. Y Wijianti