Oleh: Hendy Fitriandoyo,SP (Fungsional Perencana Madya, Biro Perencanaan, Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian)
”Peningkatan sakala usaha kepemilikan ternak bagi peternak merupakan salah satu solusi untuk mendongkrak peningkatan populasi sapi perah didalam negeri. Pasalnya, produksi susu dalam negeri saat ini masih jauh dari mencukupi untuk pemenuhan kebutuhan nasional.”
Dalam Rapat Kerja Nasional Pembangunan Pertanian 2019 pada bulan Januari bertempat di Bidakara, Ketua Komisi IV DPR RI, Edhy Prabowo mengapresiasi atas capaian yang dilakukan Kementan, seperti GKG yang dihasilkan sebanyak 80 juta ton untuk menjadi beras yang dihasilkan sebanyak 45 juta ton, begitu pula jagung yang mencapai 20 juta ton.
Diingatkan juga agar apa yang sudah dicapai Kementan selama 4 tahun ini dapat dipertahankan khususnya di bidang pangan (padi jagung dan kedelai) meski hal ini tidaklah mudah dan untuk kedepannya, Kementerian Pertanian diharapkan lebih fokus dalam mengembangkan komoditas lain, misalnya perkebunan kakao dan peternakan seperti sapi perah.
Kita harus berani memaksakan di sektor susu, karena selama ini kita masih mengimpor bahan baku susu yang cukup besar. Dari kegiatan upaya khusus sapi indukan wajib bunting (Upsus Siwab) yang dinilai sukses karena manajemen pemeliharaan bagus, maka tidaklah salah kalau ternak sapi perahpun seharusnya dapat juga dikembangkan.
Meskipun dengan anggaran terbatas, prioritas di pangan dan gizi masyarakat harus diutamakan sehingga diharapkan agar pada tahun mendatang pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan juga dapat memberikan anggaran lebih banyak pada Kementerian Pertanian.
Ditinjau dari nilai skala ekonominya, untuk perolehan pendapatan dari produk susu sapi perah, sebenarnya masih lebih menguntungkan jika dibandingkan sapi potong. Karena sapi perah ini kan panennya bisa setiap hari, sementara untuk sapi potong ada masa sekitar empat bulan untuk mendapatkan keuntungan. Namun, industri sapi perah saat ini masih kurang mendapat perhatian, baik populasi maupun produktivitasnya sapi perah yang masih sangat jauh dari harapan apalagi untuk urusan susu. Oleh karenanya Indonesia masih bergantung pada bahan baku susu yang diimpor, dimana jumlahnya mencapai 80 persen dari kebutuhan susu nasional.
Seperti diketahui bahwa susu merupakan salah satu asupan penuh nutrisi penting seperti vitamin A, D, B12, protein, kalsium, magnesium, fosfor, dan zinc, dan lainnya yang mudah diserap oleh tubuh.
Selain itu, susu bermanfaat sekali untuk menjaga kesehatan tulang, gigi, sebagai sumber tenaga, dan amat disukai mulai dari anak-anak sampai dengan orang dewasa. Namun sayangnya, tingkat konsumsi susu masyarakat Indonesia masih kalah tertinggal jika dibandingkan dengan negara tetangga.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2017, Indonesia memiliki populasi sapi perah 544,791 ekor dengan produksi 920,1 ribu ton susu segar. Jumlah produksi itu hanya mampu memenuhi 20 persen dari total kebutuhan susu nasional yang mencapai 4,448 juta ton, dimana saat ini tingkat konsumsi susu di Indonesia baru mencapai 12 liter per kapita per tahun.
Angka tersebut masih sangat rendah apabila dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, Singapura dan Filipina yang sudah mencapai 20 liter per kapita per tahun.
Kondisi rumah tangga peternakan sapi perah nasional sebanyak 142 ribu yang sebagian besar merupakan peternak kecil dengan kepemilikan sapi perah dibawah empat ekor dan hingga kini 99 persen sapi perah di Indonesia masih dipelihara di Pulau Jawa, utamanya di daerah dataran tinggi, padahal masyarakat konsumen susu tersebar baik di dataran rendah maupun dataran tinggi. Oleh karena itu, sangatlah perlu mengenalkan sapi perah yang adaptif terhadap lingkungan dataran rendah dan mengembangkan sapi perah di seluruh bumi nusantara, sehingga akses terhadap susu segar menjadi semakin dekat dan mudah diperoleh masyarakat.
Pengembangan sapi perah dengan berbagai upaya sebetulnya sudah dilakukan oleh pemerintah (Kementerian Pertanian) diantaranya melalui Program Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting (Upsus Siwab), Kredit Usaha Rakyat (KUR), subsidi bunga Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS), bantuan ternak, bantuan premi asuransi, dan fasilitasi pengembangan investasi dan kemitraan.
Pemerintah juga berencana menggenjot investasi untuk mengerek produksi Susu Segar Dalam Negeri (SSDN) demi menahan laju impor semenjak industri tak lagi diwajibkan bermitra dengan peternak lokal. Penghapusan kewajiban Industri Pengolahan Susu (IPS) itu tercantum dalam Permentan Nomor 33 Tahun 2018 Tentang Penyediaan dan Pembelian Susu, yang sudah efektif berlaku.
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengatakan, meskipun tak lagi diwajibkan, IPS diimbau untuk tetap menyerap susu produksi peternak local, dan Kementerian Pertanian akan menggenjot produksi SSDN demi memenuhi kebutuhan IPS yang ditargetkan tahun 2019 dengan dapat menyerap investasi sekitar Rp3,56 triliun untuk menambah populasi sapi perah sebanyak 393.700 ekor. Sehingga, volume impor diharapkan bisa diturunkan sebanyak 168.121 ton dan menghemat devisa sampai Rp11,4 triliun dan menyerap tenaga kerja 71.200 dan tenaga kerja tidak langsung 30.700 orang.
Saat ini terdapat 90 lebih perusahaan yang melakukan pengolahan susu, dengan total bahan yang digunakan mencapai kisaran 3,8 juta ton setara susu segar per tahun, dan dari jumlah ini sekitar 2,85 juta ton diperoleh dari impor.
Dengan keterbatasan anggaran yang ada, pengembangan sapi perah belum bisa sepenuhnya difasilitasi oleh pemerintah untuk itu, peningkatan produktivitas dan kualitas SSDN perlu segera mungkin dilakukan untuk memastikan stok susu dalam negeri terjamin dan juga untuk mengurangi ketergantungan impor susu serta dalam upaya meningkatkan rutinitas produksi dan kualitas susu peternak local, maka perlu dilakukan upaya strategis antara lain:
- Hasil riset dan penelitian terkait reproduksi ternak harus terus lebih ditingkatkan dan digalakkan untuk mengoptimalisasi populasi, khususnya dalam penyilangan antara sapi lokal dengan sapi impor dari Negara sub tropis, sehingga mampu menghasilkan peranakan sapi perah yang tahan terhadap iklim di Indonesia.
- Mengedukasi masyarakat tentang arti pentingnya susu segar bagi pemenuhan kebutuhan gizi, namun demikian harus dibarengi dengan jumlah populasi yang ada. 3. Diperlukan sinergi dari seluruh pihak dari beberapa kementerian sesuai komitmen dan kewenangannya.
- Harus ada kesepakatan antara pengusaha (IPS) dengan peternak lokal yang tergabung dalam Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) soal harga SSDN yang ideal dan saling menguntungkan.
- Keterlibatan dinas terkait setempat juga harus terus diintensifkan untuk mendapatkan dukungan dan hasil yang lebih baik.
- Mendorong para peternak sapi perah lokal skala kecil untuk bergabung dalam kemitraan yang bisa memberi nilai tambah bagi peternak dan koperasi susu kecil.
- Mengikutsertakan swasta maupun Farm sebagai tenaga pendamping sehingga percepatan peningkatan produksi susu sapi di dalam negeri lebih cepat terealisasikan.
Sebagai penutup kita perlu merubah mindset bahwa, dengan beternak sapi perah sangatlah menguntungkan agar menarik minat generasi muda dan masyarakat tak lagi berpikir bahwa beternak sekedar pekerjaan sampingan.
Meningkatnya semangat wirausaha dari peternak sapi perah akan berdampak terhadap peningkatan pendapatan, penyerapan tenaga kerja, dan masyarakat terpenuhi gizinya dari sumber protein hewani.
Apalagi, jika peternakan sapi perah bisa berkembang ke arah industri pengolahan susu tentu bisa meningkatkan nilai tambah, seperti susu cup, yoghurt, dan permen susu.