Oleh: Pramono Dwi Susetyo (Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan)
Kawan saya yang sesama alumni IPB namun beda fakultas dan bekerja di Balai Penelitian Palma Kementerian Pertanian di Manado, bercerita tentang proyek penelitiannya tentang penanaman kelapa dalam dan hibrida, dengan berbagai jarak tanam dan perlakuan pemupukan pada lahan dengan kelas kesuburan yang berbeda beda dengan tujuan untuk mendapatkan produksi buah kelapa yang paling optimal. Ternyata kesimpulan hasil penelitiannya, jarak tanam tidak memberikan pengaruh yang signifikan. Agroklimat dan perlakukan pemupukan justru memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan produksi buah kelapa.
Bagi orang pertanian yang menggeluti bidang perkebunan, jarak tanam untuk tanaman perkebunan adalah hal yang biasa dilakukan dan tidak mempunyai implikasi apa-apa karena lahan yang dihadapi adalah lahan yang relatif datar dengan kemiringan di bawah 15%. Luas lahan yang dihadapinya paling hanya ratusan hektare saja, kalau sampai ribuan hektare adalah kebun sawit yang pada umumnya lahan gambut dan topografinya juga datar.
Pada lahan perkebunan, jarak tanam adalah pasti, misalnya kebun karet dengan jarak tanam 8 x 8 m, sampai kapanpun jarak tanam ini tidak diubah meskipun telah dilakukan kegiatan penyulaman. Tanaman perkebunan tidak ada yang namanya penjarangan (thinning) sebagaimana tanaman kehutanan.
Jarak Tanam di Kehutanan
Bagaimana dengan orang kehutanan yang menekuni dan bergelut dengan tanaman kehutanan? Pertama, jarak tanam bagi orang kehutanan sampai akhir daur tanam tidak mengenal istilah jarak tanam yang pasti. Dalam dunia tanam menanam (silvikultur) tanaman kehutanan mengenal adanya penjarangan (thinning) dan pemangkasan (pruning) pada umur-umur tertentu dari jenis pohon yang ditanam.
Maksud dari penjarangan ini adalah agar tanaman dapat tumbuh dengan baik dan sehat dan kualitas kayu yang lurus tanpa harus bersaing dengan yang lain. Oleh karena itu dalam penjarangan juga dipilih pohon yang sehat dan baik untuk dibiarkan tumbuh. Sedangkan pohon yang pertumbuhannya jelek dan kurang sehat ditebang dan masuk dalam skema penjarangan.
Penjarangan dapat dilakukan dua sampai tiga kali dalam periode umur tertentu, misalnya 6 tahun, 12 tahun, 15 tahun tergantung jenis pohon yang ditanam. Harus dipahami bahwa tanaman kehutanan mempunyai daur tanam (sampai masak tebang) membutuhkan waktu puluhan tahun. Pohon jati dapat mencapai daur 60-80 tahun. Jarak tanam dan frekuensi penjarangan juga tergantung dari tujuan akhir pemanfaatan hasil tanaman kehutanan tersebut.
Bagi tanaman kehutanan yang hasil akhirnya dimanfaatkan untuk kayu pertukangan, sudah barang tentu jarak tanam dan penjarangan sangat diperhatikan agar kayu hasil panenan berbentuk lurus, besar dan panjang dengan daur panen yang panjang. Sebaliknya hutan tanaman yang dimanfaatkan hasil akhirnya untuk bubur kertas (pulp), jarak tanam dan frekuensi penjarangan akan berbeda serta daur penannya pendek.
Dapat Menyesatkan
Dalam kawasan fungsi hutan produksi, penanaman tanaman hutan relatif lebih mudah sebagaimana tanaman perkebunan karena topografi relatif datar sampai landai. Demikian halnya dalam proses pengangkutan bibitnya ke lokasi penanaman. Singkatnya, aksesibiltas pengakutan bibit dan kelokasi penanaman cukup baik. Masalahnya adalah bagaimana dengan kegiatan rehabilitasi hutan yang sering dilakukan pemerintah pada kawasan fungsi hutan lindung di daerah hulu DAS.
Kedua, seringkali jarak tanam, tanaman kehutanan sifatnya semu bila dikaitkan dengan luas lahannya. Kenapa? lahan atau kawasan hutan yang ditanami kebanyakan topografinya miring sampai curam, kalau topografinya relatif datar biasanya luas tidak seberapa dibanding yang miring dan curam dengan kelerengan antara 40%-100%. Luas kawasan hutan yang ditanam dapat mencapai ratusan bahkan sampai ribuan hektare.
Pengalaman saya selaku penanggungjawab (pemimpin proyek) rehabilitasi hutan seluas 9.000 hektare disuatu daerah provinsi diluar Jawa beberapa tahun yang silam saat aktif masih bekerja di Departemen Kehutanan (sekarang KLHK) membuktikan akan hal ini.
Meskipun telah dibantu oleh teknologi Global Positioning System (GPS) dan peta topografi yang paling mutakhir sekalipun (pada waktu itu), serta pemetaan dengan alat plotter (bukan manual) ternyata deviasi yang diperoleh dari pengecekan di lapangan cukup signifikan. Batas luar lokasi di lapangan banyak ditemukan di atas air pada lembah-lembah yang mengalir sungainya. Pada akhirnya, saya memutuskan bahwa hasil pemetaan GPS dan analisis peta topografi dan dituangkan dalam peta kerja dari hasil plotter sifatnya hanya pedoman atau panduan umum. Sedang peta yang dianggap sah dan final adalah peta gabungan antara panduan umum dengan hasil groundchek lapangan.
Masalah yang muncul dilapangan adalah bagaimana menghitung jumlah tanaman dalam satuan luas (hektare/ha) pada lahan dengan topografi datar dengan topografi miring, sementara kita mendasarkan pada peta kerja yang bidang permukaannya dengan luas 9.000 ha bersifat datar? Pertanyaan pelaksana penanaman di lapangan masuk akal dan mendasar. Luas 1 ha lahan hutan berbentuk datar dengan 1 ha lahan hutan yang mempunyai kemiringan 100% (kemiringan 45⁰) akan jauh berbeda apabila disajikan dalam peta kerja. Jangan-jangan bibit yang jumlahnya sudah dihitung dengan baik dan cukup sesuai dengan luas di lapangan tidak mencukupi untuk ditanam sesuai dengan peta kerja yang ada.
Benar juga, setelah dilakukan pengkajian lebih jauh dan seksama, ternyata jarak tanam di lapangan apabila diangkat dan disajikan kedalam peta kerja menjadi semu dan menyesatkan karena jumlah bibit yang telah disiapkan pasti akan menyusut luasnya apabila diplot di atas peta kerja yang telah diikat titik-titik batas luarnya dengan GPS. Penjelasannya adalah mari kita komparasi antara lahan datar dan lahan dengan kemiringan 100% dengan luas yang sama yakni 1 ha. Dengan jarak tanam 3 x 2 m, lahan datar luas 1 ha (100 x 100 m) berisi 1.650 bibit tanaman. Sedangkan pada lahan kemiringan 100%, berisi dengan jumlah yang sama 1.650 bibit tanaman, namun bila disajikan dalam peta kerja hanya menempati luas 4.900 m2 (70 x 70 m) saja.
Dengan hukum phytagoras segitiga siku-siku sama kaki, dapat diketahui bahwa lahan yang ditanami adalah sisi miring dengan panjang dan lebar 100 x 100 m, sedangkan sisi siku sikunya bila dihitung dengan rumus phytagoras hanya sekitar 70 x 70 m, itulah yang nampak tersaji dalam peta kerja dan membuat luasnya menjadi menyusut di atas peta. Begitu pula yang terjadi dengan lahan-lahan lainnya yang kemiringannya di bawah 100%, tentu dapat pula dihitung dengan rumus yang sama dengan penyusutan yang tidak seekstrem kemiringan 100%. Ini yang saya sebut dengan jarak tanam semu dan menyesatkan.
Mengingat bahwa dana yang digunakan untuk kegiatan rehabilitasi hutan ini dibiayai oleh anggaran pemerintah, maka realisasi kegiatan dan keuangan harus dipertanggungjawabkan melalui mekanisme audit yang dilakukan oleh Inspektorat Jenderal Departemen Kehutanan maupun Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pada akhir kegiatan penanaman, maka untuk memperkuat administrasi secara teknis tentang jarak tanam ini, dalam dokumen perencanaan yang dilengkapi dengan peta kerja dibuat secara detil (rigid), agar tidak ada celah lagi untuk ditafsirkan yang lain.
Dalam dokumen perencanaan, dijelaskan bahwa dengan luas 9.000 ha, dengan jarak tanam 3 x 2 m, 1 ha membutuhkan bibit sebanyak 1.650 batang. Dengan demikian, jumlah bibit yang harus tersedia sebanyak 17.820.000 batang bibit (14.850.000 bibit untuk ditanam dan 2.970.000 bibit untuk penyulaman sebanyak 20%), namun dalam teknis penanamannya dijelaskan bahwa penanaman dilakukan dengan jarak tanam 2 x 3 m dan atau dalam 1 ha di lapangan bermuatan bibit penamanam sebanyak 1.650 batang bibit. Penjelasan muatan bibit penanaman dilapangan sebanyak 1.650 batang bibit/ha adalah untuk mengantisipasi penyusutan luas diatas peta kerja yang dipersoalkan di atas.
Sewaktu saya diperiksa dan diaudit tentang kegiatan dan keuangan dari proyek rehabilitasi hutan tersebut oleh Inspektorat Jenderal Departemen Kehutanan dan aparat BPKP pusat, mereka dapat menerima penjelasan tentang jarak tanam ini dan dinyatakan clean and clear. Memang tidak mudah untuk menjelaskannya, namun semua dapat diurai dengan baik dengan menggunakan akal pikiran dan logika yang sehat. Pengalaman yang sangat berharga dalam bekerja di lapangan dan tidak pernah dipelajari teori apalagi praktik dalam bangku kuliah di perguruan tinggi.