Industri Tumbuh Berkat Kayu Tanaman

Hutan Rakyat

Gerakan menanam pohon yang digencarkan pemeritah beberapa tahun belakangan mendapat respon antusias masyarakat. Hal itu setidaknya terlihat dengan capaian jumlah pohon yang berhasil tertananam — yang sejak tahun 2010 selalu di atas 1 miliar batang.

Uraiannya, pada tahun 2010 tertanam 1,3 miliar batang pohon, tahun 2011 tertanam 1,51 miliar batang, dan tahun 2012 tertanam 1,53 miliar batang pohon. Sementara tahun 2013 tertanam 1,81 miliar batang dan pada tahun 2014 tertanam 1,85 batang pohon.

Jika Anda meragukan atau mempertanyakan capaian penanaman tersebut, maka indikator mudahnya adalah tinggal melihat fenomena yang terjadi pada industri-industri kayu. Saat ini, industri kayu justru terus bermunculan. Menariknya, industri yang baru tumbuh ini menggantungkan sepenuhnya pada kayu-kayu hasil penanaman. Sengon, jabon, gmelina, adalah jenis-jenis kayu yang belakangan makin laris dimanfaatkan.

Dirjen Pengendendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Hilman Nugroho menuturkan, saat ini industri pengolahan kayu tumbuh bak jamur di musim hujan, khususnya di Jawa. Ini adalah bukti bahwa gerakan menanam yang terus disuarakan menuai hasil.

“Industri tumbuh karena ada bahan baku yang melimpah,” katanya.

Ibarat peribahasa, ada gula ada semut, begitu pula soal industri kayu. Semakin banyak bahan baku, maka pabrik pengolahnya akan muncul karena dari sisi ekonomi menguntungkan. “Ke depan, bahan baku akan terus meningkat karena lima tahun belakangan jumlah penanaman di genjot di atas 1 miliar batang per tahun. Artinya, bahan bakunya bakal melimpah ruah,” katanya.

Sumber kayu bergeser

Selama delapan tahun terakhir (2005-2013), pemenuhan bahan baku dari hutan alam untuk industri kayu berkapasitas produksi di 6.000 m3/tahun memang cenderung turun, yakni dari 20,5 juta m3 pada 2005 menjadi 5,54 juta m3 pada 2013.

Di sisi lain, pemenuhan bahan baku dari hutan tanaman memperlihatkan peningkatan yang cukup signifikan, yakni dari sebesar 11,2 juta m3 pada 2005 menjadi 39,80 juta m3 pada 2013.

Seiring dengan pergeseran sumber bahan baku dari kayu hutan alam menjadi kayu hutan tanaman, jumlah industri kehutanan semakin meningkat. Sampai 2013, jumlah industri primer hasil hutan kayu berkapasitas produksi di atas 6.000 m3/tahun mencapai 375 unit, dengan penyerapan tenaga kerja 282.878 orang serta nilai investasi Rp54,9 triliun.

Pemanfaatan kayu hutan alam memang tak bisa ditinggalkan sepenuhnya. Pasalnya, kayu hutan alam memiliki corak yang khas yang dimanfaatkan untuk lapisan face-back pada produk kayu lapis. “Untuk lapisan core-nya cukup pakai kayu tanaman, seperti sengon, jabon, atau gmelina,” ujar Hilman.

Berkembangnya industri berbasis kayu tanaman juga didukung kebijakan untuk operasionalisasi industrinya. Salah satunya adalah penerapan kebijakan outsourcing bagi industri pengolahan kayu, khususnya untuk kayu tanaman dari hutan rakyat. Dengan pola tersebut, maka proses produksi kayu olahan bersifat tailored dengan output diperluas dalam bentuk secondary process plywood dan laminated veneer lumber.

Kebijakan lain yang juga sudah diterapkan adalah kemudahan dalam pemanfaatan kayu rakyat, di mana pengangkutannya cukup menggunakan Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) dan nota angkutan.

Hasilnya, adalah bergeraknya ekonomi masyarakat pedesaan. Selain itu, tutupan hutan juga bisa ditingkatkan dari perluasan hutan rakyat. Dia mengungkapkan, berdasarkan estimasi potensi hutan tanaman di lahan milik masyarakat kini sudah mencapai luas 3,5 juta hektare (ha).

Kemitraan

Agar industri kehutanan nasional semakin tangguh, pemerintah juga terus mendorong terjalinnya kemitraan antara industri dengan masyarakat. Ini sekaligus untuk meningkatkan daya saing industri kehutanan nasional dengan memperkuat kemitraan bersama masyarakat.

Masyarakat yang mengelola hutan tanaman dengan skema hutan rakyat bisa menjadi pemasok bahan baku yang berkelanjutan. Di sisi lain, pola tersebut juga secara langsung bisa meningkatkan perekonomian masyarakat dan berdampak kepada membaiknya lingkungan karena tumbuhnya hutan rakyat.

Bentuk kemitraan yang sederhana bisa berupa pembagian bibit gratis dan pemberian bimbingan budidaya pohon yang baik. Tapi kemitraan harus terus ditingkatkan kualitasnya dengan melakukan penguatan kelembagaan dan kemampuan SDM masyarakat yang menjadi mitra. Industri diminta membantu masyarakat untuk memperoleh sertifikat legalitas kayu (SLK) yang bisa memperluas pasar bagi kedua belah pihak.

Setiap tahun pemerintah mendorong terbangunnya hutan rakyat kemitraan seluas 50.000 ha. “Dengan strategi kemitraan yang saling menguntungkan antara para pelaku usaha, seperti Kelompok Tani, Pengelola Hutan Rakyat, Industri Kehutanan berbasis kayu rakyat, pedagang lokal dan eksportir yang didukung Pemerintah Daerah, dapat menjamin kontinyuitas pasokan kayu dan hutan tetap lestari,” kata Hilman.

Masyarakat pun diminta untuk tidak ragu memanfatkan lahannya dengan mengembangkan hutan rakyat. Apalagi, budidaya sengon atau jabon sangat mudah dan murah. “Hanya dengan bibit kurang dari Rp10.000 hasilnya bisa mencapai Rp300.000 per pohon,” kata Hilman.

Apalagi, sambil menunggu pohon bisa dipanen, masyarakat tetap bisa memanfaatkan lahan untuk usaha produktif lainnya. Dalam jangka pendek, masyarakat bisa melakukan budidaya tanaman sayur-sayuran atau palawija. Sementara dalam jangka menengah, masyarakat bisa memanfatkan lahan tersebut untuk budidaya ternak dan perikanan.

Jika dana menjadi kendala, masyarakat bisa memanfaatkan dana yang tersedia di badan layanan umum Kemenhut. Masyarakat bisa memperoleh pinjaman berbunga rendah hingga Rp20 juta/ha dengan grace periods hingga tahun ke-9.

Hilman menegaskan, penggunaan kayu tanaman sebagai bahan baku industri kehutanan sejatinya ramah lingkungan. Sebab, mendorong kegiatan penghijauan di lahan-lahan terlantar. Industri kehutanan berbasis kayu tanaman, mendukung pertumbuhan, memperluas lapangan pekerjaan, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. AI