Sejumlah aksi nyata adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di tingkat tapak telah dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Kolaborasi antar pihak memperkuat aksi-aksi tersebut.
Kepala Badan Metrologi, Klimatologi, dan Geofisika Dwikorita Karnawati memaparkan, berdasarkan Global Atmosfer Watch selama 18 tahun terakhir, terjadi kenaikan emisi karbon di Indonesia, meski masih di bawah rata-rata global.
Kenaikan emisi karbon dan gas rumah kaca lainnya telah memberi pengaruh nyata pada perubahan iklim. Di Indonesia, kata Dwikorita, dampak negatif perubahan iklim sudah dirasakan. “Salah satu pihak yang paling merasakan dampak negatif perubahan iklim adalah petani,” katanya saat diskusi panel di Paviliun Indonesia pada Konferensi Perubahan Iklim (COP UNFCCC) ke 24 di Katowice, Polandia, Rabu (12/12/2018) sore waktu setempat.
Menurut Dwikorita, petani Indonesia dulu berpegangan pada pengetahuan lokal yang disebut pranoto mongso. Pengetahuan ini memberi panduan petani terkait waktu tanam, jenis tanaman dan berbagai hal tentang budidaya pertanian lainnya.
“Namun perubahan iklim telah membuat disrupsi pranoto mongso. Ketika masuk waktu tanam, malah tidak bisa karena tidak turun hujan,” katanya.
Merespons situasi tersebut BMKG mengembangkan inisiatif Sekolah Lapang Iklim (SLI) untuk meningkatan adaptasi petani terhadap perubahan iklim. Petani akan dibimbing untuk mengembangkan pola budidaya pertanian baru menyesuaikan perubahan iklim yang terjadi.
Sejak tahun 2011 hingga saat ini, telah ada 9.435 petani yang terlibat dalam SLI. Dampaknya produksi komoditas pertanian peserta SLI bisa ditingkatkan rata-rata 30%.
Sementara itu Direktur Program Teresterial The Nature Conservancy (TNC) Indonesia Herlina Hartanto mengingatkan pentingnya kolaborasi antar para pihak dalam aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Pasalnya, semua pihak punya kemampuan yang saling melengkapi.
Gambaran kolaborasi itu, katanya, bisa dilihat pada program Kalimantan Timur Hijau. “Kami ikut memberi dukungan teknis program tersebut,” katanya.
Menurut Herlina, telah ada lebih dari 150 entitas mulai dari pemerintahan, lembaga penelitian, swasta, hingga perguruan tinggi yang kini terlibat dalam inisiatif Kaltim Hijau. “Ada 10 prototipe inisiatif mulai dari rehabilitasi mangrove, manajemen habitat orangutan, hingga penanggulangan kebakaran hutan dan lahan,” katanya.
Direktur Eksekutif Yayasan Belantara Sri Mariati menyatakan, sebagai lembaga penggerak dana hibah, Yayasan Belantara mengembangkan jejaring yang melibatkan pemerintah, dunia usaha dan organisasi masyarakat sipil untuk membiayai aktivitas adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di tingkat tapak.
Menurut Sri, ada empat fokus penyaluran pendanaan yang difasilitasi Yayasan Belantara. Pertama, perlindungan hutan dan keanekaragaman hayati dengan areal jangkauan komitmen seluas 836.000 hektare, lalu restorasi hutan seluas 7.581 hektare, pendampingan perhutanan sosial seluas 70.249 hektare, dan pemberdayaan 84 desa. “Salah satu aktivitas yang kami dukung ada di Desa Sungsang, Sumatera Selatan, bekerja sama dengan Universitas Trisakti,” katanya.
Rektor Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti Fetty Asmaniati menyatakan, sejumlah aktivitas pemberdayaan masyarakat dilakukan di Desa Sungsang. Diantaranya adalah peningkatan pendapatan melalui pengolahan dan pengemasan hasil produksi. “Produk yang dihasilkan masyarakat mendukung pengembangan Ekowisata Sembilang,” katanya. Sugiharto