Banyak tokoh teladan yang memberi kontribusi untuk mendukung terciptanya lingkungan hidup dan kehutanan yang lestari. Dengan berkolaborasi dan bersinergi, peran mereka diharapkan terus menguat untuk mendukung pembangunan lingkungan hidup dan kehutanan di tingkat tapak.
Harapan itu disampaikan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya dalam sambutannya saat penyerahan penghargaan kepada pemenang lomba dan penerima apresiasi Wana Lestari 2019 di Jakarta, Jumat (16/8/2019). “Para teladan membuktikan peran pentingnya dalam pembangunan kehutanan bagi masyarakat di sekitar hutan,” kata Menteri dalam sambutannya yang dibacakan Sekjen Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Bambang Hendroyono.
Menteri menuturkan, sejumlah program pembangunan kehutanan sedang dijalankan saat ini dengan tujuan untuk mengurangi kemiskinan dan memperpendek kesenjangan. Salah satunya adalah perhutanan sosial, di mana masyarakat bisa memperoleh akses untuk mengelola kawasan hutan dengan alokasi 12,7 juta hektare (ha).
Menurut Menteri, salah satu kunci sukes pembangunan kehutanan adalah kualitas dari pendampingan kepada masyarakat. Hal inilah yang telah dibuktikan oleh para pemenang dan penerima apresiasi Wana Lestari 2019. Mereka mendampingi kelompok-kelompok masyarakat untuk meningkatkan kemampuannya menjadi SDM yang mumpuni dan menjadi pelaku pembangunan produktif bagi kesejahteraan masyarakat.
Wana Lestari merupakan penghargaan bergengsi yang diberikan KLHK kepada tokoh masyarakat yang dinilai berkontribusi besar dalam pembangunan masyarakat. Proses penilaiannya berjenjang mulai dari tingkat daerah, sehingga para pemenang yang terpilih benar-benar juara lingkungan hidup dan kehutanan.
Untuk tahun 2019, ada 45 orang pemenang lomba dan penerima apresiasi Wana Lestari yang mendapat penghargaan dari Menteri LHK, Siti Nurbaya. Pemenang lomba dan penerima apresiasi Wana Lestari terbagi menjadi 12 kategori. Untuk pemenang lomba Wana Lestari kategori terdiri atas Penyuluh Kehutanan PNS sebanyak 6 orang pemenang, Kelompok Tani Hutan (6 orang pemenang), Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat (6 orang pemenang), Kader Konservasi Alam (3 orang pemenang), Kelompok Pecinta Alam (3 orang pemenang), pengelola Izin Usaha Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (4 orang pemenang), dan pengelola Hak Pengelolaan Hutan Desa (4 orang pemenang).
Sementara penerima apresiasi Wana Lestari terdiri atas Polisi Kehutanan (3 orang pemenang), Penyidik Pegawai Negeri Sipil (3 orang pemenang), Manggala Agni (3 orang pemenang), Masyarakat Peduli Api (3 orang pemenang), dan pengelola Hutan Adat (1 orang pemenang).
Para pemenang dan penerima apresiasi Wana Lestari akan mengikuti sejumlah acara kenegaraan. Termasuk mengikuti upacara Detik-detik Proklamasi Hari Ulang Tahun ke-74 RI, tanggal 17 Agustus 2019 di Istana Negara dan beramah-tamah dengan Presiden Joko Widodo, bagi para teladan terbaik.
Para pemenang dan penerima apresiasi Wana Lestari juga melakukan Temu Karya dan Temu Usaha. Pertemuan-pertemuan ini digelar sebagai wadah tukar informasi dan pengalaman para pelaku pembangunan di tingkat tapak untuk semakin mengembang upaya dan usahanya memajukan sektor kehutanan masyarakat, serta menyebarkan semangat kewirausahaan.
“Para penerima penghargaan Wana Lestari adalah para “champions”. Mereka bisa saling tukar informasi dan pengalaman untuk mendukung pembangunan Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” kata Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM KLHK, Helmi Basalamah.
Helmi menuturkan, KLHK akan mendorong pengembangan kewirausahaan, serta mendorong terbentuknya klaster industri berbasis rakyat. Keberadaan 24.000 kelompok tani hutan (KTH) dan 6.000 kelompok usaha perhutanan sosial akan semakin kuat dengan mengelompok dalam satu klaster.
Pengalaman dan Pengetahuan
Saat Temu Karya, para pemenang lomba dan penerima apresiasi Wana Lestari menuturkan apa yang telah dilakukan. Salah satunya adalah Aris Munandar, Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat (PKSM) asal Desa Criwik, Kecamatan Pancur, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Aris menuturkan bagaimana dia mempengaruhi masyarakat Desa Criwik untuk membendung kegiatan penambangan ilegal dengan membangun Hutan Rakyat dengan komoditas Durian Criwik. “Di lokasi kini sudah berkembang menjadi Alas (hutan) Durian Criwik dan berkembang menjadi ekowisata,” katanya.
Aris juga menjadikan desa tempat tinggalnya menjadi Desa Jamur Tiram sehingga meningkatkan pendapatan masyarakat setempat dan disekitarnya. Langkah ini berhasil membendung arus urbanisasi warga desa “Total pendapatan petani kini bisa mencapai Rp4,5 miliar per tahun,” katanya dengan bangga.
Sementara itu, Ketua Kelompok Tani Hutan (KTH) Makarti Utama Parno — yang berasal dari Desa Getas, Kecamatan Singorojo, Kabupaten Kendal — menceritakan pengembangan hutan rakyat seluas 83 hektare dengan pola agroforestry. Menurut Parno, anggota KTH Makarti Utama yang sebanyak 70 orang menanam sengon, mahoni, aren juga kopi. “Kami rutin mengadakan ruyungan (pertemuan) sesuai hari pasaran (kalender Jawa),” katanya.
Parno menuturkan, kopi yang dihasilkan petani KTH Makarti Utama bahkan sudah menembus pasar ekspor bekerja sama dengan sebuah perusahaan. “Kami juga memanfaatkan aren untuk menambah penghasilan,” katanya. Parno menekankan pentingnya menjaga tutupan hutan di Kecamatan Singorojo karena merupakan penyangga utama kelestarian lingkungan di Kabupaten Kendal.
Kisah mengagumkan juga datang dari Penyuluh Kehutanan PNS, Triyono. Penyuluh kehutanan dari Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah ini mendorong masyarakat untuk mengembangkan peternakan madu lebah lanceng, yang hingga kini telah berkembang mencapai 2.500 koloni. Pengembangan usaha kerakyatan lain yang didorong adalah tanaman gadung di bawah tegakan jati hasil penanaman Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan).
Triyono juga membantu pengembangan kerajinan pandan. Upaya mengolah tanaman pandan tersebut berhasil mempekerjakan lebih dari 2.000 orang masyarakat desa, dan luasan areal tanaman pandan mencapai 120 ha.
Yang mengharukan, Triyono harus menempuh perjalann jauh untuk mencapai desa tempat pendampingannya. “Jika naik sepeda motor, dengan kecepatan rata-rata 80 kilometer per jam, saya baru tiba setelah perjalanan dua jam,” katanya.
Lokasi tempat pendampingannya memang desa terisolir. Meski demikian, Triyono menekankan bahwa dirinya menjalani tugas sebagai penyuluh kehutanan dengan senang dan bangga. AI