Eyang Memet terisak. Suara lelaki bernama lengkap Memet Achmad Surahman itu terdengar parau. Meski perjumpaan hanya dilakukan melalui aplikasi daring zoom, namun air mata lelaki kelahiran 1953 itu terlihat deras mengalir.
Eyang Memet, seorang yang sepanjang hidupnya mendedikasikan diri untuk penanaman pohon dan kelestarian lingkungan khususnya di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, itu begitu emosional mengungkapkan perasaan sedihnya atas kondisi lingkungan saat ini. Menurut dia kondisi lingkungan saat ini kritis ditandai dengan banyaknya bencana lingkungan seperti banjir dan tanah longsor.
“Bukan saatnya saling menyalahkan. Mari bangun semangat baru, tanggalkan ego sektoral untuk perbaikan ke depan,” katanya saat diskusi virtual Pojok Iklim, Rabu (27/1/2021).
Eyang Memet yang karena dedikasinya diangkat sebagai Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat (PKSM) itu menuturkan, perlunya kembali berpegangan pada amanat leluhur Sunda.
Menurut Eyang Memet, pada masa silam urang Sunda sangat peduli terhadap penataan ruang untuk kehidupan sehari-hari. Hal ini, antara lain dapat disimak dalam naskah Sanghyang Siksakandang Karesian, yang memberi wejangan agar manusia bijaksana dalam pemanfaatan ruang dan pengelolaan lingkungan. Berdasarkan naskah Sunda tersebut, dikenal pepatah urang Sunda masa silam yang merupakan anjuran untuk memanfaatkan ruang secara bijaksana dan memelihara lingkungan.
Contohnya, gunung kaian yang berarti gunung rimbun oleh pepohonan, pasir talunan (bukit-bukit digarap dengan sistem talun), gawir awian (tebing-tebing ditanami bambu), daratan imahan (daerah datar untuk mendirikan rumah), dan susukan caian (pelihara air di parit-parit untuk sumber mata air).
Selain itu, ada juga legok balongan (daerah cekungan yang banyak air sebagai kolam sumber air), walungan rawateun (sungai-sungai dan sempadannya dipelihara), serta lebak teu meunang diruksak (daerah lembah jangan dirusak).
Saat ini, kata Eyang Memet, pengelolaan tata ruang lokal dan usaha konservasi alam mandiri masyarakat semakin memudar. Hanya dapat ditemukan pada beberapa kelompok masyarakat Sunda yang termasuk dalam masyarakat adat.
Untuk itu dia mengajak semua pihak, termasuk generasi muda tidak hanya yang ada di Jawa barat tapi seluruh Indonesia untuk bersama-sama merapatkan barisan dan melepaskan ego sektoral masing-masing untuk mengembalikan daya dukung lingkungan sebagaimana para leluhur amanatkan.
“Setiap budaya Indonesia mempunyai kearifan lokal dalam mengelola alam. Ada keyakinan bahwa apa yang dilakukan sekarang akan berpengaruh pada kehidupan generasi mendatang. Dalam mengelola alam, tidak hanya perlu pintar, tapi perlu kearifan lokal”, kata Eyang Memet.
Senada, aktivis lingkungan dari Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Maman Suparman juga menyatakan soal banyaknya kearifan lokal yang bisa menjadi pedoman dalam pengelolaan lingkungan dan hutan .
“Leuweng hejo, patani bisa ngejo,” kata Maman mengungkap salah satu pesan leluhur yang cukup populer.
Arti dari pesan itu adalah hutan yang hijau berarti petani bisa sejahtera. Menurut Maman, pesan itu mengingatkan hutan merupakan bagian integral dari siklus hidrologi. Sebagai negara agraris, keberadaan hutan berperan penting dalam menunjang keberlangsungan sistem pertanian kita saat ini dan di masa-masa selanjutnya
“Jika hutan hijau (leuweung hejo), maka petani akan sejahtera (patani bisa ngejo), sebab air irigasi akan tersedia sepanjang musim,” kata Maman yang karena ketokohnyannya juga diangkat sebagai Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat (PKSM).
Maman mengungkapkan tantangan untuk mengimplementasikan pesan leluhur itu di wilayah Sukabumi, khususnya di bagian selatan. Pasalnya di lahan di wilayah itu berbukit-bukit dan terjal. Iklimnya kering dan tanahnya tandus.
“Lahan di wilayah yang berlahan kering cenderung gundul sebab masyarakat lebih senang menebang pohon daripada menanam agar cepat mendapatkan uang,” ungkap Maman.
Tak heran jika mayoritas petani di Sukabumi selatan, hidupnya di bawah petani yang tinggal di kawasan utara yang tanahnya lebih subur dan beriklim lebih basah. Untuk itu, kata Maman, dibutuhkan inovasi teknologi pertanian dan konservasi tanah, agar sistem pertanian dapat memberikan nilai tambah yang mensejahterakan petani.
Maman juga menekankan pentingnya penyuluhan secara berkesinambungan. Pemanfaatan teknologi informasi juga menjadi keniscayaan untuk mendukung pengembangan pemanfaatan potensi berupa komoditas di bawah tegakan atau ekowisata.
“Pelestarian tidak cukup melalui kegiatan konservasi, tetapi harus dibarengi dengan rekayasa sosial dengan melibatkan segenap pemangku kepentingan termasuk kaum milenial melalui kegiatan ekonomi kreatif berbasis sumber daya lokal pedesaan dan sistem pertanian berkelanjutan,” kata Maman.
Payung Hukum
Langkah menarik telah diambil Bali dengan menjadikan kearifan lokal sebagai dasar pembuatan payung hukum yang lebih kuat. Penyuluh kehutanan muda, Provinsi Bali, Made Maha Widyartha, menyatakan Bali berprinsip “Nangun Sat Kerthi Loka Bali” untuk menjaga hutan dan alam Bali. Prinsip tersebut diterapkan menuju Bali bebas banjir yang kemudian dibungkus melalui Peraturan Gubernur (Pergub) Bali No.24 Tahun 2020 tentang Pelindungan Danau, Mata Air, Sungai dan Laut.
“Sebagai tindak lanjut dari peraturan Gubernur tersebut disusun petunjuk teknis yang lebih rinci tentang aplikasi dari kearifan lokal, yaitu sosialisasi di lapangan agar masyarakat lebih paham, mengerti dan mudah dalam pelaksanaan. Hal ini telah memberikan dampak yang cukup kepada alam dan hutan di Bali namun implementasinya perlu lebih ditingkatkan dan dapat melibatkan pihak yang lebih luas,” tambah Made.
Di Temanggung, kearifan lokal mendorong diterapkannya agroforestry untuk menghadapi kondisi lahan yang kritis. Penyuluh kehutanan Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, Agus Romadhon mengungkapkan upaya terobosan dalam menghadapi problematika pertanian tembakau di kawasan lindung di kabupaten Temanggung yang menimbulkan erosi dan sedimentasi serta bencana di bagian hilirnya.
Agus menjawab tantangan petani Temanggung melalui kegiatan agroforestry yang memadukan tanaman tembakau dengan kopi arabika dan pohon suren yang tidak hanya memberikan nilai tambah secara ekonomi bagi masyarakat, tetapi juga berdampak positif pada kelestarian lingkungan dengan terkendalinya erosi dan perbaikan struktur tanah.
Pengendalian Perubahan Iklim
Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DPPI KLHK) Sarwono Kusumaatmadja menyatakan saat ini dimana fenomena perubahan iklim semakin nyata dan terjadi pandemi, adalah saat yang tepat untuk kembali belajar dari kearifan lokal.
“Kita mengalami kegagalan modernisasi. Negara barat, yang dianggap maju, ternyata rapuh menghadapi pandemi. Negara adidaya malah menjadi penyebab terbesar perubahan iklim,” katanya.
Menurut dia, kearifan lokal terbukti lebih tahan banting dan memiliki ketahan (resiliens) yang lebih tinggi. Penduduk di pedesaan yang masih memegang teguh kearifan lokal terbukti lebih tanggung dibandingkan penduduk kota yang ‘katanya’ lebih pintar dan modern.
Mantan Menteri Lingkungan Hidup itu mengungkapkan pengalamannya saat masih menjalankan studi teknik sipil di ITB. Saat itu mahasiswa teknik sipil diajarkan untuk memanfaatkan terumbu karang sebagai pondasi bangunan di pesisir pantai.
“Maka pondasi bandara Soekarno Hatta, Trans Sulawesi, Selat Makasar dibangun dengan memanfaatkan terumbu karang,” katanya.
Akibatnya pantai hancur. Lalu memerlukan sistem perlindungan (pemecah ombak) berbentuk tripod. Kalangan insinyur saat itu tidak tahu kalau terumbu karang adalah mahkluk hidup yang memiliki banyak manfaat. Sementara Kementerian Pekerjaan Umum baru melarang penggunaan terumbu karang sebagai pondasi pada tahun1994. “Bayangkan kerugian akibat ketidaktahuan kita,” katanya.
Sebaliknya lanjut Sarwono, masyarakat tradisional sudah sejak lama memahami perlunya perlindungan terumbu karang untuk mencegah abrasi dan sebagai tempat mencari penghidupan.
Dari pengalaman itu, Sarwono menekankan perlunya pembuatan kebijakan publik berdasarkan pengalaman empirik sehingga Indonesia lebih tahan bencana.
Tenaga Ahli Menteri LHK bidang Analisa Strategis Akuntabilitas Politik dan Publikasi, Eka Widodo Soegiri menyatakan implementasi kearifan lokal adalah sebuah ‘glokalisasi’. Maknanya, dengan kearifan lokal lingkungan dan hutan menjadi lebih terjaga dan lebih baik, masyarakat pun bisa sejahtera. Pada saat yang sama, implementasi kearifan lokal berdampak pada upaya dunia untuk mengendalikan perubahan iklim global.
“Glokalisasi yang berarti desain kebijakan global dengan implementasi kearifan lokal,” katanya.
Sugiharto