Kebijakan Ketahanan Pangan dan Kontribusi Sektor Kehutanan

Tumpangsari di kawasan hutan
Dr Boen M Purnama

Oleh: Boen M. Purnama (Ketua Yayasan Sarana Wana Jaya)

Masalah pangan bukan hanya masalah kehidupan bangsa tetapi juga masalah ketahanan bangsa, dengan demikian sangatlah tepat bila pemerintah mencanangkan program ketahanan pangan. Bahkan dalam kondisi perang, maka bangsa yang akan survive adalah bangsa yang memiliki cadangan pangan yang cukup. Konsep comparative advantage yang menyatakan bahwa negara harus berspesialisasi pada produk yang memiliki keunggulan komparatif, tidaklah berlaku ketika kita berbicara pangan yang merupakan komoditas strategis. Ketergantungan pangan pada negara lain akan sangat berbahaya dalam masa krisis, oleh karena itu memiliki sumber pangan sendiri yang mencukupi amatlah perlu bagi semua negara termasuk Indonesia.

Sampai saat ini Indonesia masih tergantung pada produk impor untuk komoditas yang strategis seperti beras, jagung dan kedelai. Padi, jagung dan kedelai (Pajale) adalah komoditas pertanian prioritas yang dikembangkan secara khusus oleh pemerintah sebagai bagian dari upaya meningkatkan produksi pangan. Dalam kaitan dengan program ketahanan pangan, maka Kementerian LHK juga mengambil peran aktif baik sebagai penyedia lahan bagi penanaman pangan, maupun melalui program yang secara khusus dikembangkan oleh kementerian dalam ikut meningkatkan produksi pangan di kawasan hutan.

Mengapa Harus Ketahanan Pangan?

FAO (1997) mendefiniskan ketahanan pangan sebagai situasi dimana semua rumah tangga mempunyai akses baik fisik maupun ekonomi untuk memperoleh pangan bagi seluruh anggota keluarganya, dan dimana rumah tangga tidak berisiko untuk mengalami kehilangan kedua akses tersebut. Ada dua kata kunci dalam definisi ini, pertama ketersediaan pangan, kedua adalah akses terhadap pangan tersebut. Dalam tulisan ini penulis lebih melihatnya dari sisi ketersediaan pangan. Untuk itu mari kita mulai melihat data di seputar pangan tersebut.

Data tahun 2014 menunjukkan bahwa Indonesia termasuk 5 besar negara penghasil beras, ketiga setelah China dan India. Walaupun termasuk produsen penting, data statistik menjukkan bahwa Indonesia bukanlah negara pengekspor beras yang menjual produknya ke pasar internasional.  Ada fakta yang menarik dalam perdagangan beras internasional ini, ternyata  beras yang dijual dalam perdagangan internasional sangatlah sedikit, menurut penelitian yang dilakukan oleh Bank Dunia jumlahnya hanya sekitar 5% dari produksi beras global.  Implikasinya, harga beras menjadi amat rentan terhadap fluktuasi penawaran dan permintaan.

Beras yang diperdagangkan secara internasional  hanya berasal dari tiga negara eksportir beras saja, yaitu Thailand, India dan Vietnam. Akibat kecilnya volume perdagangan tersebut, maka perubahan kebijakan perberasan yang tiba-tiba di ketiga negara tersebut, dapat menyebabkan terjadinya spekulasi dan penimbunan di negara-negara importir beras. Kenaikan harga yang signifikan akan menurunkan akses ekonomi masyarakat dan bisa memperburuk tingkat kemiskinan.

Produksi karbohidrat di Indonesia. Prioritas karbohidrat yang dikembangkan di Indonesia bertumpu pada tiga besar yaitu  Padi, Jagung dan Kedelai (Pajale). Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan sepanjang 2014-2018 rata-rata produksi beras mencapai 77,95 juta ton. Tahun 2018 tercatat tingkat produksi tertinggi sebanyak 83,03 juta ton.

Untuk produksi jagung, sebagaimana beras, produksinya rata-rata menunjukkan peningkatan setiap tahunnya. Produksi jagung Indonesia sepanjang 2014-2018, rata-rata mencapai 24,2 juta ton.

Kedelai merupakan bahan pangan yang penting, yaitu sebagai bahan baku pembuatan tahu, tempe dan kecap yang merupakan penganan yang populer. Akan tetapi faktanya produksi kedelai ini sangat fluktuatif. Pertumbuhan hanya 1,05% pada tahun 2015. Pada tahun 2017 produksi kedelai turun hingga 37,65%  menjadi tinggal 530 ribu ton saja.  Baru di tahun 2018 pertumbuhan produksi kedelai dilaporkan meningkat menjadi 84,91% menjadi 980 ribu ton.

Konsumsi dan impor. Berdasar data tahun 2017 Indonesia merupakan negara yang konsumsi beras per kapitanya terbesar di dunia, yaitu sebesar 150 kg/kapita/tahun.  Indonesia masih tergantung pada impor untuk beras jenis premium. Berdasarkan data BPS, pada tahun 2019 Indonesia mencatat impor beras sebanyak 444.508,791 ton. Untuk komoditas jagung, pada tahun 2019 tercatat impor jagung manis sebanyak 1.065,275 ton atau naik 12,43% dari tahun 2018.  Sementara impor kedelai pada tahun 2018 sebanyak 2.585,809 ton, tahun berikutnya naik menjadi 2.670,086 ton. Untuk kedelai terjadi ketimpangan antara supply dan demand. Permintaan selalu lebih dari 2 juta ton per tahun, sementara tingkat produksi tidak beranjak dan tetap pada kisaran kisaran 1 juta ton per tahun.

Dari data tersebut jelas terlihat masih adanya ketimpangan antara produksi dan konsumsi Pajale dalam negeri. Dengan demikian upaya meningkatkan produksi pangan nasional dalam rangka program ketahanan pangan adalah sangat strategis. Apalagi bila mempertimbangkan laju pertumbuhan penduduk Indonesia yang masih cukup tinggi yaitu 1,5% per tahun tentu akan membutuhkan jumlah pangan yang semakin meningkat pula di masa depan.

Hutan dan Pangan

Tumpangsari dari produksi pangan. Soal pangan dari hutan atau hutan penghasil pangan bukan hal baru dalam pengelolaan hutan, baik di hutan alam maupun hutan tanaman. Hutan alam memiliki keragaman hayati yang amat kaya termasuk kekayaan flora yang banyak memiliki jenis penghasil karbohidrat seperti umbi-umbian, sukun, dan sagu.

Sejarah menanam komoditas pangan di kawasan hutan secara terencana mulai dilakukan pada hutan tanaman jati terutama di Jawa pada saat pembuatan hutan tanaman baru.

Sistem menanam tanaman pohon hutan (tanaman jati di Jawa) sebagai tanaman pokoknya dengan tanaman pangan secara berseling disebut sistem tumpangsari atau juga sering disebut taungya. Istilah Taungya berarti Taung (bukit) dan ya (penanaman) adalah praktik penanaman tanaman pertanian bersama tanaman hutan pada awal kegiatan pembuatan hutan tanaman. Sistem ini diadopsi dari Burma oleh Brandis dengan memanfaatkan penduduk untuk bekerja pada kegiatan tanaman hutan dengan diimingi-imingi izin menanam tanaman palawija. Tumpangsari di Indonesia mulai dilakukan pada tahun 1883-an, tetapi secara resmi baru tahun 1905 diadopsi menjadi sistem penanaman jati di Jawa, setelah rimbawan Belanda bernama Yaski menemukan tanaman kemlandingan (Leucaena glauca) sebagai tanaman sela.

Praktik tumpangsari di Jawa berlangsung hingga saat ini bahkan di Jawa semakin berkembang sejalan dengan meningkatnya program yang berorientasi pada masalah  sosial-ekonomi masyarakat seperti Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang intinya memberi akses pada masyarakat untuk ikut dalam pengelolaan melalui penerapan skema-skema tumpangsari yang saat ini lebih dikenal dengan nama Perhutanan Sosial (Social Forestry). Di luar Jawa-pun pemerintah mendorong para pengusaha HPH untuk melaksanakan program untuk meningkatan kesejahteraan masyarakat yaitu program HPH Bina Desa.

Walaupun awalnya sistem tumpangsari lebih untuk memberikan kesempatan pada masyarakat untuk menanam palawija pada kawasan peremajaan hutan, akan tetapi pengalaman menanam tanaman pangan di kawasan hutan tersebut telah mengilhami untuk mengembangkannya ke dalam program hutan yang bertujuan memproduksi pangan. Program pangan hutan ini sekurang-kurangnya bisa mengkomplemen produksi pangan dari lahan pertanian.  Bahkan dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden No. 83 tahun 2006 tentang Dewan Ketahanan Pangan, Kementerian Kehutanan merupakan salah satu sektor yang ikut bertanggung jawab terhadap ketahanan pangan.

Dari studi kasus di Jawa Barat tentang “Kontribusi kawasan hutan dalam menunjang  ketahanan pangan” oleh Dwiprabowo dkk (2011) menunjukkan bahwa kontribusi sektor kehutanan selain sangat kecil dibandingkan produksi tanaman  pangan dari lahan pertanian, produksinya juga cenderung fluktuatif. Pada tahun 2011, data pada tingkat nasional juga menunjukkandimana kontribusi sektor kehutanan dalam ketersediaan pangan nasional secara persentase relatif rendah hanya sekitar 4,3% dari produksi nasional karbohidrat utama yaitu beras. Pada tahun itu produksi komoditas padi, jagung, kedelai dan umbi-umbian dari kawasan hutan mencapai 3,4 juta ton per tahun.

Meski dari jumlah produksi secara nasional relatif kecil, akan tetapi secara lokal cukup signifikan dalam membantu masyarakat petani di sekitar hutan. Ada catatan kecil, dimana produksi pangan dari hutan tidak tercatat sebagai produksi sektor kehutanan tetapi masuk sebagai produk pertanian sehingga peran kehutanan kurang nampak. Selain itu, karena selama ini program pangan dari kawasan hutan tidak masuk dalam Program Pertanian, maka kegiatan pengembangan tanaman pangan di kawasan hutan tidak termasuk yang mendapat bimbingan dari para penyuluh pertanian dalam meningkatkan produktivitasnya dan juga tidak memiliki akses terhadap bantuan berupa sarana produksi dan subsidi pertanian lainnya.

Peran kehutanan dalam produksi pangan. Saat ini kontribusi pangan dari sektor kehutanan masih relatif kecil, namun demikian upaya meningkatkan kontribusi pangan dari sektor kehutanan tersebut terus dilakukan, baik melalui peningkatan program tanaman pangan di kawasan hutan seperti perhutanan sosial dengan teknik tumpangsari (agroforestry) maupun dengan penyediaan kawasan hutan untuk mengembangkan pangan. Dengan begitu, program Kementerian LHK dalam menunjang ketahanan pangan tersebut sangat strategis. Apalagi bila dikaitkan dengan pesatnya pertambahan penduduk Indonesia yang pada tahun 2025 diperkirakan akan mencapai 290 juta jiwa.

Upaya meningkatkan ketahanan pangan tersebut, sejalan dengan Peraturan Pemerintah dimana ketersediaan pangan dan kecukupan pangan bagi rakyat dalam rangka ketahanan pangan nasional mendapat perhatian besar.  Sebagaimana Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan, pemenuhan kebutuhan pangan diutamakan dari produksi dalam negeri. Strategi dalam meningkatkan produksi pangan pada dasarnya adalah melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi kegiatan produksi pangan. Kegiatan intensifikasi difokuskan pada kawasan pertanian untuk meningkatkan produksi pangan per hektare melalui penggunaan bibit unggul, pemakaian pupuk, pengelolaan hama dan penyakit, pemanfataan teknologi tepat guna dan sebagainya. Sementara ekstensifikasi dilakukan dengan pembukaan lahan pertanian baru, terutama di luar pulau Jawa termasuk pengadaan lahan hutan untuk pembangunan food estate. Dalam kegiatan ekstensifikasi tersebut, maka peranan sektor kehutanan dalam hal ini Kementerian LHK yang menguasai kawasan hutan yang luas akan sangat penting.  Namun sektor kehutanan juga dapat berperan sebagai penghasil pangan dengan meningkatkan produksi per ha-nya melalui berbagai program yang berorientasi pada masalah sosial ekonomi antara lain Agroforestry, Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan Sosial Forestri atau Perhutanan Sosial (PS). Bahkan karena demikian pentingnya program perhutanan sosial tersebut Kementerian LHK telah membangun Lembaga setingkat Direktorat Jenderal yang menangani Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan. Harapannya peranan Kementerian LHK akan semakin nyata dalam program ketahanan pangan dengan gebrakan-gebrakannya dalam program kemasyarakatan yang kreatif inovatif serta terencana dan terukur.

Ironi Lahan Pertanian Baru dan Konversi Lahan

Presiden juga telah mencanangkan pembangunan food estate dalam rangka ketahanan pangan. Tentunya apa yang telah dilakukan pemerintah akan memberi harapan yang cerah terhadap masa depan pangan di Indonesia. Namun demikian, kiranya perlu waspada terhadap permasalahan makin menciutnya kawasan pertanian yang subur di Jawa akibat adanya proses konversi lahan pertanian.

Banyak daerah pertanian utama atau daerah lumbung padi di Pantura, Cianjur, Klaten dan seterusnya yang pada umumnya merupakan sawah beririgasi telah dikonversi untuk kegiatan bukan pembangunan pertanian. Gambaran yang mengkawatirkan tersebut, terlihat dari data BPS yang menunjukkan bahwa alih fungsi lahan pertanian untuk kepentingan lainnya selama kurun waktu 2002-2010 mencapai rata-rata 56.000-60.000 ha per tahun.

Konversi juga terjadi pada lahan pertanian beririgasi di daerah Irigasi Jatiluhur yang merupakan daerah penghasil padi tertinggi di Jawa Barat dan penyumbang bagi cadangan beras nasional. Namun telah terjadi konversi lahan selama kurun waktu enam tahun sebesar 0,0082 atau terjadi penurunan luas lahan per tahun rata-rata 1.826,08 ha dengan hasil rata-rata 5 ton per ha, maka Indonesia kehilangan produksi padi sebesar 18.260,80 ton per tahun dari daerah irigasi Jatiluhur saja. Angka kehilangan produksi tersebut tentu akan semakin besar kalau memperhitungkan semua konversi lahan pertanian yang terjadi diseluruh negeri.

Penutup

Kebutuhan untuk meningkatkan produksi pangan bagi pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat adalah suatu keniscayaan sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk Indonesia yang cukup besar. Namun program ketahanan pangan yang dilaksanakan dengan membangun lahan pertanian baru akan kurang berarti apabila laju konversi lahan pertanian –untuk keperluan diluar pertanian – yang cukup tinggi tidak segera diatur oleh pemerintah.

Peranan Kementerian LHK dalam ketahan pangan sangat besar dan akan semakin penting dengan didorongnya program Ketahanan Pangan oleh pemerintah yang dilaksanakan melalui dua strategi. Strategi pertama, kegiatan pengadaan lahan pertanian baru melalui pelepasan kawasan hutan untuk kegiatan pengembangan food estate. Kedua, melalui upaya Kementerian LHK meningkatkan produksi pangan dari kawasan hutan dengan meningkatkan produksi pangan per ha pada berbagai program yang berorientasi pada masalah sosial ekonomi dan kesejahteraan masyarakat seperti Perhutanan Sosial.

Mengingat program ketahanan pangan merupakan program prioritas pemerintah, maka upaya percepatan pengadaan lahan untuk kegiatan pertanian pangan serta upaya peningkatan produksi pangan dari kawasan hutan menjadi sangat penting. Secara strategis, mengingat penguasaan lahan hutan yang sangat luas, Kementerian LHK tentu dapat dan ditunggu untuk memainkan peran yang penting dalam program ketahanan pangan. Program ini minimal bersifat lintas eselon I lingkup Kementerian LHK, baik dalam hal pengadaan lahan untuk food estate, maupun dalam upaya meningkatkan produksi pangan dari kawasan hutan. Untuk mempercepat realisasi program yang menjadi tanggung jawab kementerian, maka pembentukam satuan tugas yang langsung bertanggung jawab kepada pimpinan Kementerian perlu dipertimbangkan.

Tulisan ini merupakan pengantar pada acara Webinar yang bertajuk “Kontribusi Sektor Kehutanan Dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan” yang diselenggarakan oleh  Pusat Kajian Strategis Kehutanan (Puskashut), Yayasan Sarana Wana Jaya, Selasa (2 Februari 2021).