Indonesia benar-benar ‘anak baik’ dan penurut. Bahkan, saking patuhnya, negeri ini mau membentuk dan menjalani Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) untuk seluruh produk kayu, termasuk pulp dan kertas, yang akan diekspor. Namun, saat produk luar masuk, aturan SVLK malah tak berlaku. Apalagi, perlindungan tarif pun tidak ada. Alhasil, negeri ini kebanjiran kertas impor.
Inilah keanehan yang membuat Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) meradang. Pasalnya, akibat ketidakadilan pasar yang ada, pasar dalam negeri diserbu kertas impor. Jika tahun 2010 impor kertas masih 22.166 ton, tiga tahun berselang impor membengkak tiga kali lipat lebih menjadi 73.869 ton. Bahkan, tahun ini APKI memperkirakan angka impor bakal tambah bengkak. “Kami perkirakan angkanya lebih tinggi lagi,” ujar Wakil Ketua APKI, Rusli Tan.
Bagaimana kertas impor bisa laku keras? Padahal, negeri ini tercatat sebagai produsen kertas global dengan kapasitas terpasang 7,9 juta ton. Rusli pun gamblang menyebut telah terjadi aksi dumping, selain negeri ini menjadi pasar kertas sisa (stock lot).
Dia menyebut produk coated paper. Di dalam negeri, produsen lokal melepas dengan harga 1.000 dolar AS/ton, tapi impor masuk dengan harga 750 dolar AS/ton. Harga ini tak masuk akal, mengingat harga bahan bakunya (pulp) sudah 600 dolar AS/ton. Jika dikurangi ongkos angkut 50 dolar AS/ton dan pajak penjualan 10% sebesar 75 dolar AS/ton, maka harga jual riil 625 dolar AS/ton. “Padahal, biaya produksi kertas dari pulp sekitar 200-250 dolar AS/ton. Jadi, jelas harga murah karena dumping,” papar Rusli.
Yang menyakitkan, impor makin mulus karena tak ada hambatan dagang di dalam negeri. Bahkan yang tidak adil adalah pengenaan hambatan non tarif, di mana negeri ini sudah menerapkan SVLK untuk seluruh produk kayu ekspornya, tapi untuk impor malah tidak. Hal ini diakui oleh Dirjen Bina Usaha Kehutanan Kementerian Kehutanan, Bambang Hendroyono.
Itu sebabnya, mulai tahun 2015, SVLK akan diberlakukan penuh baik untuk ekspor maupun impor. Khusus untuk SVLK produk impor, Kementerian Perdagangan menyatakan akan diberlakukan mulai Januari 2015. Semua pihak dikabarkan sudah sepakat penerapan tersebut. Draft aturan itu sudah dibuat dan sudah di biro hukum. “Namun, jika menteri perdagangan yang sekarang tidak bisa menandatangani, maka draft tersebut akan ditandatatangani oleh menteri perdagangan yang baru,” ujar Direktur Impor Kementerian Perdagangan, Thamrin Latuconsina. AI