Kerugian Akibat Jamur Pelapuk Kayu Capai Rp17 Triliun per Tahun

Ilustrasi jamur di kayu (pixabay.com)

Kerugian finansial untuk mengganti kayu bangunan yang rusak karena pelapukan oleh jamur dapat mencapai Rp17 triliun per tahun. Untuk itu proses pengawetan kayu atau pengendalian organisme perusak yang benar dan efektif sangat diperlukan agar mampu menjaga kualitas dan meningkatkan ketahanan serta masa pakai kayu yang berimplikasi pada penghematan sumber daya kayu dan cadangan karbon.

Demikian dinyatakan Djarwanto saat orasi pengukuhan sebagai Profesor Riset bidang Biodeteriorasi dan Pengawetan Lignoselulosa di Jakarta, Rabu (7/11/2018).

Djarwanto menjelaskan, sekitar 85% kayu Indonesia memiliki keawetan alami yang rendah dan memiliki masa pakai kurang dari 5 tahun. Sementara jika diawetkan mampu mencapai 15 tahun.

Menurut dia, jika kayu yang tidak diawetkan digunakan untuk perumahan rakyat sebesar 7,25 juta m3  kayu bulat per tahun. Itu berarti dalam 15 tahun pertama dibutuhkan kayu 108,7 juta m3. Ini setara dengan 217,4 juta m3  atau setara 2,17 juta hektare (ha) hutan alam (dengan asumsi potensi 100 m3/ha) akan rusak dalam kurun waktu tersebut.

“Jika dinilai secara ekonomis dengan asumsi harga kayu Rp2,35 juta/m3, maka pengendalian organisme perusak melalui pengawetan dapat menghemat dana sekitar Rp17 triliun/tahun,” katanya.

Dia menjelaskan, jenis jamur pelapuk yang berkemampuan mendegradasi kayu dikelompokkan ke dalam jenis jamur pelapuk putih, jamur pelapuk coklat, dan jamur pelunak.

Jamur pelapuk cokelat diketahui memiliki kemampuan merombak komponen selulosa dan jamur pelapuk putih mampu mendegradasi lignin dan selulosa. Sedangkan jamur pelunak dapat merombak lignin maupun selulosa sehingga kayu menjadi lunak.

Menurut Djarwanto, berbagai upaya pengendalian jamur pelapuk telah dilakukan oleh masyarakat. Antara lain dengan perendaman kayu dalam air mengalir dan pengeringan dengan panas matahari. Industri pengolahan kayu melakukan pengawetan dengan menggunakan fungisida, melakukan sanitasi lingkungan dan akselerasi proses pengolahan.

Dia menjelaskan, upaya pengawetan dengan fungisida seperti creosote dan CCA belum sepenuhnya berhasil mengatasi serangan jamur pelapuk. Sebagai contoh kayu bantalan rel kereta api terserang Lentinus lepideus, selain itu ditemukan juga jamur Dacryopinax sp., dan Dacryopinax spathularia. Padahal, kayu yang digunakan memiliki kelas awet dan kuat tinggi (I-II), seperti jati (Tectona grandis), merbau (Intsia bijuga), ulin (Eusideroxylon zwageri), keruing (Dipterocarpus sp.), bangkirai (Shorea laevifolia), balau (Shorea sp.)

Dari pendataan seluruh kayu bantalan rel kereta api di lapangan diketahui bahwa kayu yang rusak oleh jamur pelapuk sebanyak 49,6%.  Sedangkan kerusakan kayu bangunan perumahan di Jawa Barat oleh jamur yang sebagian besar menggunakan kayu meranti merah dan meranti putih yang tidak diawetkan mencapai 67,10%.

Meski demikian, pengawetan kayu tetaplah penting. Menurut Djarwanto, rumah yang dibuat dari kayu sengon yang diawetkan dengan CCA secara sel penuh setelah 48 tahun masih dalam keadaan terpasang dengan baik. Sedangkan menara pendingin dari kayu kruing yang diawetkan dengan CCA masih dalam kondisi baik dan sudah berumur 38 tahun.

Sayangnya, kata dia, bahan pengawet golongan CCA berbahaya terhadap lingkungan dan masih impor. Itu sebabnya pada tahun 1994 dikeluarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 326/Kpts/TP.270/4/94 mengenai pelarangan bahan pengawet CCA.

Untuk itu, perlu dicari bahan pengawet pengganti, dengan membuat formulasi baru menggunakan bahan baku yang relatif aman terhadap manusia dan lingkungan. Ke depan lebih diutamakan menggunakan pestisida nabati yang berasal dari tanaman, karena dinilai lebih aman terhadap lingkungan.

“Kebutuhan bahan pengawet kayu yang ramah lingkungan makin mendesak, sehingga bahan pengawet alami dari sumber daya lokal menjadi keperluan nasional agar tidak bergantung kepada impor. Selain itu diperlukan terobosan teknologi pengawetan kayu tanpa bahan kimia. Dengan menekan infeksi jamur pelapuk, maka masa pakai kayu dapat diperpanjang yang berdampak terhadap penurunan frekuensi penebangan.  Hal ini berdampak terhadap konservasi sumber daya kayu,” katanya. Sugiharto