Kesatuan Pengelolaan Hutan Pasca UU No.23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

Hutan Mangrove di KPH Banawa Lalundu, Sulawesi Tengah

Oleh: Ali Djajono (Perencana Madya, Pada Direktorat Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Kementerian LHK)

 

Pengantar

Penetapan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah mengubah  pola pikir pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) yang awalnya sampai ke tingkat Kabupaten/Kota menjadi hanya sampai ke Tingkat Provinsi. SDA yang dimaksud adalah Sumber Daya Hutan, Sumber Daya Mineral, dan Sumber Daya Kelautan, dengan demikian dalam struktur pengaturan urusan SDA nyaris tidak ada lagi urusan SDA di level Kabupaten/Kota.

Di Sektor Kehutanan perubahan tersebut berpengaruh signifikan dalam proses-proses pengurusan hutan termasuk di dalamnya pengelolaan hutan, dengan konsekuensi ke penataan Kelembagaan (Organisasi, SDM, Sarpras, Anggaran) dan pengaturan kewenangannya.

Pembangunan sektor kehutanan mencakup banyak program, salah satunya adalah penguatan pengelolaan hutan tingkat tapak (untuk pencapaian kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat) melalui pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Pembangunan KPH sebagai bagian pembangunan Kehutanan ikut kena imbas atau dampak dari pemberlakuan UU 23 tahun 2014 ini.

Tulisan ini meringkas apa yang terjadi pada pembangunan KPH pasca UU 23 tahun 2014, yang berkaitan dengan wilayah KPH, kelembagaan KPH, Implikasi KPH pasca UU 23, langkah-langkah antisipatif yang telah diambil Kementerian Lingkungan Hidup Kehutanan (LHK).

Wilayah KPH dan Kelembagaan

Pembangunan KPH meliputi aspek penting antara lain Wilayah Kelola KPH, Kelembagaan Pengelola KPH, Operasionalisasi KPH. Penetapan Wilayah Kelola KPH menjadi wewenang Kementerian LHK, sedangkan pembentukan kelembagaan KPH menjadi wewenang masing-masing tingkatan Pemerintahan (Pusat dan Provinsi), dan Operasionalisasi KPH menjadi tanggung jawab semua tingkatan pemerintahan.

Penetapan wilayah KPH merupakan amanat Undang-Undang No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana diatur pada pasal 17. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan dilaksanakan untuk tingkat : 1) Provinsi, 2) Kabupaten/kota, dan 3) Unit pengelolaan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan tingkat unit pengelolaan dilaksanakan dengan mempertimbangkan karakteristik lahan, tipe hutan, fungsi hutan, kondisi daerah aliran sungai, sosial budaya, ekonomi, kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakat hukum adat dan batas administrasi. Pembentukan unit pengelolaan hutan yang melampaui batas administrasi pemerintahan karena kondisi dan karakteristik serta tipe hutan, penetapannya diatur secara khusus oleh Menteri. Pengaturan sebagai tindak lanjut mandat dan amanat UU tersebut dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah.

Peraturan Pemerintah No.6 tahun 2007 jo. Peraturan Pemerintah No.3 tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan, pada Pasal 5 menyebutkan bahwa KPH meliputi: KPH Konservasi (KPHK), KPH Lindung (KPHL), dan KPH Produksi (KPHP). Sedangkan pada pasal 7 menyebutkan:

(1)   Menteri menetapkan luas wilayah KPH dengan memperhatikan efisiensi dan efektivitas pengelolaan hutan.

(2)   Penetapan luas wilayah KPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan pada kawasan hutan setelah tahap penunjukan, penataan batas, atau penetapan kawasan hutan.

(3)   Luas wilayah KPH yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), apabila terjadi perubahan kebijakan tata ruang dan/atau kebutuhan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan hutan, dapat ditinjau kembali.

Lebih lanjut Peraturan Menteri Kehutanan No. P.6/Menhut-II/2009 tentang Pembentukan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan pada Pasal 4 ayat (2) menjelaskan KPH ditetapkan dalam satu atau lebih fungsí pokok hutan dan satu wilayah administrasi atau lintas wilayah administrasi pemerintahan. Sedangkan pasal 4 ayat (3) Apabila KPH terdiri atas lebih dari satu fungsi pokok hutan, maka penetapan KPH didasarkan kepada fungsi pokok hutan yang luasannya dominan.

Sebelum pemberlakuan UU No.23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah (PP) No.18 tahun 2016 tentang Perangkat Daerah, setiap unit wilayah KPH (khususnya KPHL dan KPHP) ditangani oleh satu kelembagaan daerah yang dibentuk oleh pemerintah provinsi untuk unit wilayah KPH lintas kabupaten dan oleh pemerintah kabupaten/kota untuk unit wilayah KPH dalam Kabupaten/kota.

KPH Pasca UU 23 tahun 2014 dan Implikasinya

Pemberlakuan UU No.23 tahun 2014 dan PP No. 18 tahun 2016 yang mengalihkan kewenangan bidang kehutanan ke pemerintah provinsi tersebut mempunyai konsekuensi  perubahan kewenangan pembentukan kelembagaan menjadi tanggung jawab sepenuhnya pemerintah provinsi. Dengan demikian Pemerintah Provinsi harus melakukan pembentukan kelembagaan KPH yang baru serta memproses penyerahan Personil, Prasarana, Pendanaan dan Dokumen (P3D).

Sebagai arahan teknis untuk pedoman penyiapan kelembagaan kehutanan di Provinsi termasuk didalamnya kelembagaan KPH, Kementerian LHK telah mengeluarkan Peraturan Menteri LHK No. 74/Menlhk/Setjen/Kum.1/8/2016 tentang Pedoman Nomenklaktur Perangkat Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota yang Melaksanakan Urusan Pemerintahan Bidang Lingkungan Hidup dan Urusan Bidang Kehutanan. Sedangkan Kementerian Dalam Negeri telah mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 12 tahun 2017 tentang Pembentukan dan Klasifikasi Cabang Dinas dan Unit Peaksana Teknis Daerah.

Respons Pemerintah Provinsi di seluruh Indonesia terkait kelembagaan KPH khususnya terhadap keberadaan unit wilayah KPH yang ditetapkan Menteri LHK ternyata berbeda-beda. Perbedaan terjadi karena masing-masing Pemerintah Provinsi mempertimbangkan beberapa hal, antara lain: kebijakan Pimpinan Daerah, efisiensi dan efektifitas, kondisi keuangan daerah, kemampuan daerah, SDM, dll. Respon tersebut dapat dikelompokkan dalam 3 kategori:

  1. Pembentukan kelembagaan-kelembagaan KPH yang jumlahnya sama dengan jumlah unit wilayah KPH yang ditetapkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan/LHK (dulu Menteri Kehutanan).
  2. Pembentukan kelembagaan-kelembagaan KPH yang jumlahnya tidak sama dengan jumlah unit wilayah KPH yang ditetapkan oleh Menteri LHK. Dengan kemungkinan satu kelembagaan KPH menangani satu atau lebih unit wilayah KPH.
  3. Pembentukan kelembagaan-kelembagaan KPH yang jumlahnya tidak sama dengan unit KPH yang ditetapkan oleh Menteri LHK, karena Pemerintah Provinsi membentuk unit-unit wilayah KPH baru tanpa melalui penetapan oleh Menteri LHK.

Kondisi ini juga berimplikasi pada proses pembangunan dan operasionalisasi KPH yang sejak tahun 2009 didorong dan difasilitasi oleh Kementerian Kehutanan (sekarang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) dan sampai saat ini masih terus berlanjut. Sebagaimana diketahui jenis fasilitasi yang sudah dilakukan antara lain: penyusunan Tata Hutan dan Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang (RPHJP) KPH, penyediaan sarana dan prasarana KPH (bangunan kantor, kendaraan peralatan-peralatan teknis), kegiatan-kegiatan operasional KPH, pendidikan dan pelatihan personil KPH. Implikasi yang timbul adalah bagaimana menyikapi perpindahan kewenangan dari Kabupaten/Kota ke Provinsi khususnya pada aspek kegiatan pengelolaan hutan, penggabungan atau pemecahan unit wilayah kelola KPH, keberlanjutan fasilitasi dari Kementerian LHK ke Provinsi.

Salah satu kebijakan untuk memberi arahan pembangunan KPH lebih lanjut (pada masa transisi pasca UU 23 tahun 2014) adalah surat Menteri LHK kepada Gubernur seluruh Indonesia No. S.141/MenLHK/SETJEN/PLA.0/3/2017 tanggal 31 Maret 2017 tentang Kelembagaan Unit Pelaksana Teknis Bidang Kehutanan. Yang intinya memuat 3 hal penting, yaitu:

  1. Bagi Provinsi yang membentuk kelembagaan KPH berdasarkan Unit Wilayah KPH yang ditetapkan Menteri LHK, maka fasilitasi dan operasionalisasinya dapat dilanjutkan
  2. Bagi Provinsi yang membentuk kelembagaan KPH dengan menangani 1 atau lebih Unit Wilayah KPH yang ditetapkan Menteri LHK, maka fasilitasi dan operasionalisasinya dapat dilanjutkan.
  3. Bagi Provinsi yang membentuk kelembagaan KPH menangani Unit Wilayah KPH yang tidak sesuai dengan Unit Wilayah KPH yang ditetapkan Menteri LHK, maka fasilitasi dan operasionalisasinya harus ditunda sampai Gubernur mengusulkan Unit Wilayah KPH yang baru kepada Menteri LHK untuk perubahan Wilayah KPH di Provinsi tersebut.

Ke depan perlu segera dirumuskan dan ditetapkan kebijakan-kebijakan baru dari Kementerian LHK atau Kementerian terkait lainnya (Dalam Negeri, BAPPENAS, Keuangan) untuk memberi kejelasan arah dan percepatan pembangunan dan operasionalisasi KPH.