Undang-undang Cipta Kerja (UUCK) bisa menjadi penyelesaian benang kusut ketelanjuran 3,37 juta hektare (ha) kebun sawit di dalam kawasan hutan.
Baca juga:
Sawit Rakyat di Hutan Bebas Pidana
Bagaimana Jika Kebun Rakyat 5 Ha Lebih?
Kontribusi devisa yang rata-rata mencapai 20 miliar dolar AS per tahun dan melibatkan hingga 16 juta pekerja langsung dan tak langsung, membuat sawit punya tempat istimewa di Indonesia. Tak heran, jika berbagai kebijakan istimewa juga diberikan. Termasuk soal kebun sawit yang telanjur berada di dalam kawasan hutan.
Setelah sempat dua kali dipayungi oleh peraturan pemerintah (PP), di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, penyelesaian kebun sawit yang telanjur ada di dalam kawasan hutan kini diatur payung hukum yang lebih kuat, undang-undang. Ya, omnibus law Undang-undang Cipta Kerja (UUCK) yang baru saja disahkan DPR, Senin (5/10/2020), kembali membuka peluang untuk ‘memutihkan’ kebun sawit yang telanjur ada di dalam kawasan hutan.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya saat dalam jumpa pers virtual tentang UUCK, Rabu (7/10/2020), mengungkapkan beberapa pokok terkait subtansi lingkungan hidup dan kehutanan yang diatur dalam UUCK. Salah satunya adalah ketelanjuran kebun di dalam kawasan hutan.
Siti menjelaskan, sejak desentralisasi ada big bang penerbitan izin perkebunan sesuai undang-undang pemerintahan daerah (UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004). Namun, banyak dari izin yang diterbitkan oleh Kabupetan/Kota itu berada di dalam kawasan hutan, sehingga menjadi telanjur. “Melalui UUCK, ini diselesaikan,” katanya.
Data Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian yang diperoleh dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai bagian dari implementasi Instruksi Presiden (Inpres) No. 8 tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit, ada 3,37 juta ha kebun sawit yang ada di kawasan hutan.
Dalam UUCK versi 812 halaman, pengaturan kehutanan ada di Paragraf 4 Kehutanan dari halaman 124 sampai 146. Mengenai ketelanjuran kebun di dalam kawasan hutan termaktub dalam Pasal 37. Pasal tersebut mengatur perubahan sejumlah pasal pada UU 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (lihat grafis).
Menurut Menteri Siti, UUCK menjawab dispute UU 41/1999 tentang Kehutanan dan UU 18/2013 soal masalah penggunaan tanpa izin kehutanan di dalam kawasan hutan. Ada sinkronisasi norma larangan dalam Pasal 50 UU 41/1999 dengan norma larangan UU 18/2013, sehingga tidak terjadi tumpang tindih dan tidak ada norma larangan yang tertinggal.
Siti menjelaskan, pengaturan dispute tata ruang berdasarkan UUCK. Untuk kebun yang telah terbangun dan memiliki perizinan (mengacu pada UU Pemda) sebelum berlakunya UUCK, diberi waktu paling lambat 3 tahun untuk memenuhi persyaratan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan.
Jika lewat tenggat tersebut, maka bakal dikenai sanksi administratif. Sanksi bisa berupa pembayaran denda dan/atau pencabutan izin.
“Pengaturan ketentuan mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif yang diatur dengan PP,” kata Menteri Siti.
Kebun Rakyat
Bagaimana dengan kebun rakyat? Ini yang paling istimewa. Meski tanpa izin, perseorangan pemilik kebun di kawasan hutan bebas dari ancaman sanksi pidana. Bahkan juga bisa lepas dari ancaman sanksi administratif.
Syaratnya, sang pemilik tinggal di dalam atau sekitar hutan setidaknya 5 tahun berturut-turut dengan luas maksimal 5 ha. UUCK juga memberi jalan keluar bagi mereka yang memenuhi persyaratan ini melalui penataan kawasan hutan, termasuk lewat program tanah objek reforma agraria (TORA).
Saat mengawali penjelasannya soal UUCK, Menteri Siti Nurbaya menyatakan, terkait subtansi KLHK, UUCK memang menunjukkan keberpihak kepada masyarakat. Hal itu bisa dilihat dengan dikedepankannya pendekatan restorative justice dalam UU tersebut. “Jadi, tidak apa apa (main) langsung pidana. Masyarakat kini tidak mudah dikriminalisasi,” kata Siti.
Menurut Siti, terkait sektor kehutanan, keberpihakan kepada masyarakat juga tercermin dari pengaturan sanksi, di mana pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat yang bermukim di sekitar hutan, dikenakan sanksi administrasi, bukan pidana, dan diikutkan dalam kebijakan penataan kawasan hutan seperti perhutanan sosial, kemitraan konservasi, atau TORA.
“Oleh karena itu, jelas bahwa dengan UU ini pemerintah berpihak pada rakyat,” tegas Siti.
Siti mengungkapkan banyak masyarakat yang telah menetap dan bermukim di dalam atau sekitar kawasan hutan. Menurut Siti, ada lebih dari 20.000 desa di dalam dan di sekitar kawasan hutan, termasuk di antaranya sekitar 6.700 desa di kawasan hutan konservasi. “Yang seperti ini ditegaskan tidak boleh dipidanakan atau dikriminalisasi,” katanya. Sugiharto
Upaya Pemutihan dari era SBY Sampai Jokowi
Sejatinya, bukan kali ini saja pemutihan ketelanjuran kebun coba diselesaikan. Saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memimpin, pemerintah mengeluarkan PP No. 60 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas PP No. 10 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan.
Berdasarkan ketentuan itu, kebun yang telanjur beroperasi di kawasan hutan bisa mengajukan izin dengan mengajukan permohonan kepada Kementerian LHK (dulu Kementerian Kehutanan). Mereka diberi waktu selama 6 bulan sejak PP itu terbit, 6 Juli 2012.
Ada persyaratan yang mesti dipenuhi. Di antaranya adalah kebun tersebut memiliki izin yang dikeluarkan pemerintah daerah sesuai UU Pemerintahan Daerah (UU 22/1999 dan UU 32/2004).
Berdasarkan catatan Agro Indonesia, ada 229 perusahaan kebun yang mengajukan permohonan untuk mendapat izin dari KLHK. Namun, yang lolos verifikasi persyaratan untuk diproses lebih lanjut menurut KLHK, hanya sekitar 30-an.
Pintu pemutihan ketelanjuran tertutup cukup lama. Sampai Presiden Joko Widodo pada 22 Desember 2015 menandatangani PP No. 104 tahun 2015 tentang Tata Cara Perubahan dan Fungsi Kawasan Hutan.
Meski PP 104/2015 lebih banyak mengatur penyederhanaan perubahan kawasan peruntukan kawasan terkait percepatan pembangunan proyek strategis yang menggunakan kawasan hutan, tetapi soal pemutihan kebun di kawasan hutan terselip di pasal peralihan.
PP 104/2015 bahkan lebih revolusioner dibandingkan PP 60/2012. Pasalnya, jika pada PP 60/2012 pemutihan ketelanjuran kebun hanya dibuka untuk yang ada di kawasan hutan produksi, PP 104/2015 juga memberi ruang untuk pemutihan kebun yang ada di kawasan hutan lindung dan konservasi. Selain itu, tak ada batas waktu bagi mereka yang ingin mengajukan permohonan pemutihan. Namun, untuk kebun yang ada di hutan lindung dan konservasi, izin yang diberikan tidak berlaku selamanya, melainkan hanya satu daur saja.
Belakangan, PP 104/2015 digugat judicial review ke Mahkamah Agung oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Perkumpulan Bantuan Hukum (PBH). MA pun mengabulkan gugatan tersebut, Januari 2020.
MA membatalkan ketentuan peralihan pasal 51 ayat 2 yang memungkinkan kebun yang telanjur ada di hutan lindung dan hutan konservasi mendapat pemutihan.
KLHK menyatakan, belum pernah menerima permohonan untuk penyelesaian ketelanjuran kebun sawit yang ada di hutan lindung dan konservasi sampai saat pasal 51 ayat 2 PP 104/2015 dibatalkan MA.
Meski demikian, berdasarkan data Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian yang diperoleh dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai bagian dari implementasi Instruksi Presiden (Inpres) No. 8 tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit, ada 576.000 ha kebun sawit yang saat ini sedang diproses untuk mendapat pengesahan mengacu pada PP 104/2015. Total kebun sawit yang ada di dalam kawasan hutan mencapai 3,37 juta ha. Sugiharto