Program asuransi pertanian yang diluncurkan Kementerian Pertanian (Kementan) sekitar tiga tahun lalu baru menjangkau komoditi padi dan sapi. Setelah program berjalan baik dan diminati petani, maka Kementan mengusulkan komoditi cabe pun masuk dalam program asuransi.
Dengan masuk program asuransi, maka kerugian usaha tani tanaman cabe jika terjadi gagal panen akan ditanggung asuransi. Hal seperti ini sudah berjalan di komoditi padi dan sapi perah.
“Pembahasan komoditi cabe masuk program asuransi belum final, yaitu menyangkut masalah cakupan risiko dan besaran premi yang akan dibayarkan petani,” kata Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP), Kementan, Pending Dadih Permana di Jakarta, Jumat (23/11/2019).
Seperti diketahui, usaha tani, terutama tanaman cabe, memiliki risiko sangat tinggi, baik disebabkan oleh faktor iklim maupun hama penyakit. Dampaknya, banyak petani yang harus menderita karena mengalami gagal panen.
Gagal panen menimbulkan kerugian bagi petani, khususnya terhadap modal yang telah diinvestasikan dalam budidaya. Untuk itu, program asuransi memang diluncurkan pemerintah untuk melindungi petani dari kerugian.
Pending mengatakan, program Asuransi Usaha Tanaman Padi (AUTP) dan Sapi/Kerbau (AUTS/K) dilakukan bekerjasama dengan Asuransi Jasa Indonesia (Jasindo) dan telah berjalan dengan baik.
“Program asuransi kian diminati petani, meskipun perkembangannya butuh waktu,” ungkapnya. Dia menambahkan, pada tahun 2015 (ujicoba) areal yang di-cover AUTS seluas 42.030 hektare (ha). Luas cakupan meningkat tahun 2016 menjadi 499.999 ha, dan naik lagi tahun 2017 menjadi 997.960 ha. Nah, tahun 2018 ini sudah tercatat 246.785 ha.
Pending mengatakan, realiasi AUTP tahun 2017 boleh dikatakan mencapai target yang ditetapkan seluas 1 juta ha. Hal ini membuktikan minat petani ikut program asuransi terus mengalami peningkatan. “Memang butuh waktu yang agak lama untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat tani terhadap asuransi pertanian,” ungkapnya.
Terus didorong
Sementara itu Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), Dody AS Dalimunthe menyebutkan, pemerintah dan pelaku usaha terus berupaya mendorong terciptanya program asuransi pangan. Meskipun diakui, pada periode awal bisnis ini pelaku usaha kerap mengalami kerugian, misalnya dari rasio klaim yang begitu tinggi.
“Kondisi itu hal yang wajar. Soalnya, data statistik di lapangan pun masih terbilang minim,” katanya. Dia menambahkan, sambil berjalan perusahaan asuransi bisa memperbaiki proses bisnis dengan data yang didapat, sehingga lambat laun rasio klaim yang ditanggung pun bisa mengecil.
Kekurangan data ini pula yang membuat minat perusahaan asuransi umum untuk ikut masuk ke bisnis pangan/pertanian masih minim. Sehingga sejumlah pelaku usaha menilai bisnis ini masih berisiko.
“Semua perusahaan anggota AAUI sebenarnya ditawarkan untuk ikut, namun beberapa masih ragu karena data yang ada masih minim,” kata Dody baru-baru ini.
Sebagai catatan, program asuransi usaha budidaya udang baru dijalankan oleh delapan pemain. Sementara asuransi budidaya ikan nila, patin, dan bandeng dijalankan oleh 12 perusahaan. Lalu asuransi usaha tani padi (AUTP) dan asuransi usaha ternak sapi (AUTS) dijalankan PT Jasindo lewat penugasan khusus pemerintah.
Direktur Operasi Ritel Jasindo, Sahata L. Tobing mengakui, masih ada tantangan yang harus dihadapi dalam menjalankan bisnis ini. Antara lain persebaran petani dan peternak hingga ke pelosok.
Selain itu, pihaknya juga harus terus melakukan edukasi dan literasi bagi petani dan peternak karena belum terlalu akrab dengan produk asuransi.
Meski begitu, di tahun 2017, AUTP telah mengcover areal seluas 997.960 ha atau hampir mencapai 100% dari target yang ditetapkan 1 juta ha. Sementa untuk AUTS tahun lalu mampu menjaring 92.176 ekor sapi dari target sebanyak 120.000 ekor
Dody AS Dalimunthe menyebut, program asuransi pangan memang banyak menggunakan anggaran APDB/APBN untuk memberi subsidi premi pada petani hingga peternak kecil.
Bahkanuntuk program asuransi perikanan 100% premi disubsidi oleh pemerintah yang nilainya berkisar Rp90.000-Rp225.000/tahun. Subsidi premi dari pemerintah masuk dengan lancar kepada pelaku usaha yang ikut serta dalam program ini.
Namun, secara bisnis, premi yang bisa didapat dari program seperti ini memang masih terbilang kecil. Sebagai contoh, asuransi budidaya udang yang dijalankan mulai akhir tahun lalu menghasilkan premi sebesar Rp1,48 miliar hingga bulan Oktober 2018.
Namun, asal dikelola dengan baik, bisnis seperti ini dinilai bisa memberikan margin keuntungan bagi pelaku usaha. Dody menyebut perluasan jumlah tertanggung dari program asuransi pangan besar kemungkinan untuk terus bertamabah. Ini artinya makin besar pula potensi premi yang bisa didapat.
Tak hanya sampai di situ, jenis usaha pangan yang bisa diasuransikan pun rencananya akan terus bertambah. Namun, hal ini disebutnya masih bergantung pada keputusan pemerintah. PSP