Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) mengimbau pemerintah segera menyesuaikan kebutuhan pupuk subsidi tahun 2020 dengan adanya tambahan luas lahan baku pertanian yang sudah ditetapkan seluas 7,46 juta hektare (ha). Sebelumnya, luas baku sawah hanya 7,1 juta ha.
“Akibat luas lahan sawah yang turun, maka alokasi pupuk subsidi juga berkurang,” kata Ketua KTNA Winarno Tohir kepada Agro Indonesia di Jakarta, Selasa (4/2/2020).
Menurut dia, jika pemerintah tidak menyesuaikan kebutuhan pupuk dengan luas sawah yang ada, maka akan terjadi kelangkaan pupuk di lapangan. Petani akan berebut. “Hal tersebut harus segera diantisipasi. Jika alokasi pupuk subsidi tidak mencukupi, petani bisa beli, asal pupuk tersedia di kios,” tegasnya.
Winarno mengatakan, dampak yang ditimbulkan akibat dari penurunan lahan baku sawah adalah sarana produksi ikut berkurang, seperti permodalan, benih dan, tentunya, produksi padi juga berkurang.
Sementara itu Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Hasan Aminuddin menyambut baik dengan adanya data tunggal pertanian. “Data tunggal yang disepakati diharapkan menjadi acuan kebijakan pupuk pertanian,” katanya di sela-sela soft launching Agriculture War Room (AWR) di Gedung Kementerian Pertanian, Selasa (4/2/2020).
Hasan mengingatkan, ke depan jika ada perubahan terhadap data pertanian, maka data tersebut harus segera diubah. Sebab ini menyangkut kebijakan pemerintah dalam memberikan subsidi, terutama pupuk. “Isu sekarang yang menguat adalah dengan berkurangnya lahan pertanian, subsidi pupuk juga akan berkurang,” ujarnya.
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan Djalil menyatakan, terjadi penambahan luas lahan baku sawah. Sebelumnya, luas lahan sawah tahun 2013 sebesar 7,7 juta ha, tahun 2018 turun menjadi 7,1 juta ha.
Penurunan ini akibat dari konversi lahan sawah yang dijadikan kawasan industri, perumahan, dan lainnya. Selain itu, di beberapa provinsi terdapat lahan sawah yang tidak terbaca oleh citra satelit sekitar 350.000 ha.
Namun, setelah dilakukan revisi, maka pemerintah Berdasarkan Keputusan Keputusan Menteri ATR/Kepala BPN No. 686/SK-PG.03.03/XII/2019, tanggal 17 Desember 2019, tentang Penetapan Luas Lahan Baku Sawah Nasional Tahun 2019 menetapkan luas lahan sawah 7.463.948 ha. “Data ini telah dikeluarkan dalam berita acara, dan ditanda tangani oleh semua pihak terlibat, dan disepakati pada 9 Desember 2019,” jelas Sofyan.
Dalam penentuan luas lahan baku sawah itu sejumlah kementerian dan lembaga terlibat, di antaranya Kementerian Pertanian (Kementan), Kementerian ATR/BPN, Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), dan Badan Informasi Geospasial (BIG).
Verifikasi
Sejak tahun 2017, perhitungan luas lahan baku sawah memang disempurnakan melalui verifikasi 2 tahap. Verifikasi tahap pertama menggunakan citra satelit resolusi sangat tinggi. Pemanfaatan citra satelit dalam statistik pangan telah dibahas dalam lokakarya internasional yang melibatkan FAO, IFPRI, Kementerian Pertanian, BPPT, MAPIN, IRRI, BPS, dan BIG.
Citra satelit resolusi sangat tinggi yang diperoleh dari LAPAN kemudian diolah oleh BIG mengunakan metode Cylindrical Equal Area (CEA) untuk dilakukan pemilahan dan deliniasi antara lahan baku sawah dan bukan sawah. Metode ini menghasilkan angka luas sawah yang aktual sesuai dengan kondisi sesungguhnya.
Verifikasi tahap kedua dilakukan melalui validasi ulang di lapangan oleh Kementerian ATR/BPN. Masukan informasi dari hasil KSA BPS juga digunakan dalam validasi ulang di lapangan oleh Kementerian ATR/BPN.
Sofyan juga mengungkapkan bahwa pihaknya menemukan terdapat beberapa provinsi yang lahan sawahnya bertambah, “Provinsi yang lahan baku sawahnya bertambah, yaitu di Jawa Timur, Lampung, Sulawesi Selatan, Yogyakarta, dan Bangka Belitung. Sawah yang belum terealisasi sebelumnya jauh lebih besar daripada sawah yang mengalami alih fungsi” ujarnya.
Sementara itu, provinsi yang mengalami penurunan terdapat di Kalimantan Selatan, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Aceh, Kalimantan Barat, Jawa Tengah, Kalimantan tengah, Jambi, Sumatera Barat dan Riau.
Cegah Konversi Lahan
Sementara Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) mengajak masyarakat, khususnya mahasiswa, untuk menyiapkan diri menghadapi dinamika termasuk tantangan dalam dunia pertanian, yaitu alih fungsi lahan.
“Produksi padi nasional ke depan terancam jika laju alih fungsi lahan pangan, khususnya sawah menjadi non sawah tidak dikendalikan,” katanya saat memberikan kuliah umum di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, di Makasar, Jumat (7/2/2020).
Syahrul, yang meraih doktor hukum di FH Unhas dengan judul “Penerapan Prinsip-prinsip Good Governance dalam Pengawasan Fungsional pada Pemerintahan Provinsi Sulawesi” mengatakan, pemerintah sebenarnya sudah berupaya melindungi lahan sawah produktif dengan membuat UU Nomor 41 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
“Bukan hanya itu saja, Bapak Presiden juga sudah menandatangani Perpres 59 Tahun 2019 tentang Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah. Ini adalah bukti keseriusan dan komitmen kita bersama bahwa urusan alih fungsi lahan harus kita lawan,” ujar Syahrul.
Dekan FH Unhas, Farida Patittingi menyampaikan bahwa Pemkab/Pemkot menjadi ujung tombak dalam pengendalian alih lahan tersebut dengan menerbitkan Perda tentang Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B).
Setidaknya, sampai saat ini sudah ada 67 Kabupaten/Kota yang sudah menerbitkan Perda tentang Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) dan 221 Kabupaten/Kota yang menetapkan LP2B dalam Perda RTRW dari 416 kabupaten dan 98 kota yang ada di Indonesia.
“Pertanian bukan hanya masa depan, tapi juga martabat suatu bangsa. Oleh karena itu, kita jaga bersama keberlangsungannya. Dan tugas itu berada di pundak adik-adik semua, sebagai penerus” katanya.
Syahrul menyebutkan, saat ini pemerintah tengah mengupayakan pencegahan alih fungsi lahan dengan data tunggal lahan pertanian dalam jangka pendek. “Data pertanian itu harus satu, sehingga data yang dipegang Presiden, Gubernur, Bupati, Camat sampai kepala desa semuanya sama. Termasuk masalah lahan dan produksi,” tegasnya.
Menurut dia, data luas baku lahan pertanian yang baru diluncurkan sangat akurat. Dengan demikian bisa melahirkan banyak program tepat guna dan tepat sasaran untuk para petani di seluruh Indonesia.
“Saya berharap tak ada lagi kekacauan data lahan, baik yang dipegang Kementan, BPS serta Kementerian dan lembaga lain,” tegasnya. Dia menambahkan, rujukan data adalah BPS. Jadi datanya harus satu. Tidak boleh tumpang tindih. Pemerintah juga terus mendorong pemda jangan terlalu mudah memberikan rekomendasi alih fungsi lahan.
Sebagaimana diketahui, dalam pasal 73 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009, di mana setiap pejabat pemerintah yang berwenang menerbitkan izin pengalihfungsian lahan yang tidak sesuai dengan ketentuan, maka bisa dikenakan pidana sanksi penjara paling singkat satu tahun dan paling lama lima tahun atau denda paling sedikit Rp1 miliar dan paling banyak Rp5 miliar.
“Pemerintah daerah saya minta memiliki komitmen yang sama untuk bisa mempertahankan lumbung pangan daerah, dengan mempertahankan lahan pertanian,” jelasnya.
Namun, konversi ini juga bisa dilakukan selama ada rekomendasi yang dikeluarkan Dinas Pertanian dengan syarat memiliki surat kesiapan menyediakan lahan pengganti terhadap lahan yang dikonversi tersebut. Atiyyah Rahma
Peluang Ekspor Jika Beras Surplus
Kementerian Pertanian (Kementan) memperkirakan produksi gabah kering giling (GKG) pada saat panen raya bulan Maret-April 2020 bisa mencapai 7 juta ton GKG. Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengatakan, pada saat itu akan terjadi surplus, sehingga bisa dialokasikan untuk ekspor beras. Pada panen raya bulan Maret-April, produksi diperkirakan 5-7 juta ton GKG.
“Kebutuhan beras nasional kita per bulan sekitar 2,4 juta ton. Jadi, ada surplus yang dapat kita gunakan buat ekspor,” katanya di Gedung Kementerian Pertanian, Selasa (4/2/2020).
Data proyeksi panen padi yang digunakan saat ini menggunakan metode Kerangka Sampel Area (KSA) oleh Badan Pusat Statistik dan berdasarkan luas baku lahan sawah 7,46 juta hectare (ha).
Jika proyeksi produksi itu tercapai dengan jumlah kebutuhan yang stabil, maka setidaknya bisa diperoleh surplus beras maksimal 2,2 juta ton. “Saya berharap panen ini tercapai dan saya akan lapor presiden untuk kita bisa mempersiapkan ekspor beras,” kata Syahrul.
Sementara itu, untuk kebutuhan beras pada bulan Februari 2020 dipastikan tetap tercukupi. Sebab, berdasarkan prognosa Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementan, masih terdapat pasokan beras dari dalam negeri sekitar 3 juta ton atau di atas kebutuhan nasional.
Kepala Badan Pusat Statisik (BPS), Suhariyanto berharap, kondisi iklim dalam 11 bulan ke depan mendukung kegiatan pertanaman beras. Sebab, tahun 2019 lalu diakui cuaca cukup ekstrem sehingga menekan realisasi produksi beras. Dari hasil hitungan BPS, total produksi gabah kering giling (GKG) petani sepanjang 2019 sebesar 54,6 juta ton atau turun 7,76% dari posisi 2018 sebanyak 59,2 juta ton.
Turunnya volume panen GKG jelas berdampak pada penurunan jumlah beras yang dihasilkan. Total produksi beras tahun 2019 hanya 31,3 juta ton, turun 7,75% dari produksi 2018 sebanyak 33,94 juta ton.
Total luas panen padi tahun 2019 mencapai 10,68 juta ha, menyusut 6,15% dibanding 2018 yang sempat mencapai 11,38 juta ha. “Tahun 2019 memang situasi cuaca kurang menguntungkan karena ada cuaca ekstrem. Ketika luas panen turun, maka produksi juga turun,” kata Suhariyanto.
Suhariyanto meminta kepada Kementerian Pertanian untuk memperhatikan setiap pergerakan produksi beras antarprovinsi dan kabupaten kota. Luas lahan baku sawah harus terus diperbarui secara berkala untuk menjaga validitas data. “Jumlah stok juga perlu diamati dari waktu ke waktu. Perlu diamati bulan per bulan, bukan satu tahun,” katanya. Atiyyah Rahma