Pendelegasian Izin Cacat Hukum

Perlahan tapi pasti, kebijakan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) sesuai dengan amanat Peraturan Presiden No.97 Tahun 2014 warisan SBY, mulai diwujudkan seluruh anggota Kabinet Kerja Presiden Jokowi, termasuk di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). Kini, seluruh kewenangan penerbitan izin bisnis di kehutanan dan lingkungan didelegasikan ke kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) atas nama Menteri LHK. Kritik pun mencuat.

Anda tertarik membangun hutan tanaman industri (HTI) atau ingin berbisnis wisata alam? Atau Anda ingin membangun tambang emas atau batubara yang kebetulan lokasinya berada di kawasan hutan atau ingin membangun kebun sawit di kawasan hutan produksi konversi? Di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Anda harus mengurus perizinan itu ke Kementerian Kehutanan. Tapi sekarang, Anda cukup datang ke BPKM. Di kantor ini, seluruh permohonan izin akan diurus oleh pejabat dari Kementerian LHK yang ditugaskan melayani di sana. Hanya saja, semua izin bisnis terkait kehutanan dan lingkungan itu akan diteken kepala BKPM atas nama Menteri LHK.

Inilah beleid baru kabinet Presiden Jokowi menindaklanjuti Perpres 97/2014 tentang Penyelenggaraan PTSP. Berdasarkan Perpres 97/2014, maka menteri teknis yang punya wewenang perizinan terkait penanaman modal mendelegasikan kewenangannya kepada Kepala BKPM selaku penyelenggara PTSP. Dari sinilah lahir PermenLHK No. P.97/Menhut-II/2014. Intinya, seluruh 35 izin yang terkait dengan bisnis kehutanan dan lingkungan didelegasikan ke Kepala BKPM. “Tujuannya adalah peningkatan pelayanan,” ujar Menteri LHK Siti Nurbaya usai menerima Kepala BKPM Franky Sibarani di kantornya, Kamis (8/1/2015).

Luar biasa, memang. Hanya saja, kebijakan pendelegasian wewenang itu dinilai cacat hukum. Menurut praktisi hukum dan direktur eksekutif Pusat Kajian Hukum dan Kebijakan Kehutanan, Dr. Sadino, pendelegasian tersebut melanggar ketentuan yang lebih tinggi. “Bagaimana peraturan menteri bisa mendelegasikan wewenang, padahal aturan main yang lebih tinggi, yakni UU dan Peraturan Pemerintah (PP) tidak mengatur hal itu. Secara hirarki perundang-undangan, PP saja sudah di atas Perpres. Jadi, revisi dulu PP yang ada dan jangan dipaksakan,” tandasnya.

Meski dari sisi tujuan dan semangat diakui bagus, yakni mempercepat pelayanan, namun dari sisi legal buruk. Esensi hukumnya salah karena melanggar ketentuan hukum di atasnya. “Ini aturan sudah cacat dari lahir. Menteri harus mencabutnya, tak perlu dipaksakan. Jangan menunggu ada yang melakukan uji materi ke MA,” kata Sadino.

Menurut Direktur Kajian Strategis dan Kebijakan Pertanian (KSKP) IPB, Dodik R Nurochmat, pendelegasian wewenang kepada BKPM juga harus diikuti kejelasan penanggungjawabnya. Ini untuk mengantisipasi jika ada persoalan hukum di kemudian hari. Ya, meski BKPM bisa dianggap sebagai lembaga clearing house, tapi soal tanggung jawab bisa panjang urusannya. Apalagi, Permen LHK belum mengatur siapa yang bertanggung jawab mencabut izin jika ada pelanggaran. AI