Titah Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mendongkrak investasi direspons dengan dibangunnya sistem pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) oleh jajarannya. Berbekal peraturan presiden (Perpres) warisan Susilo Bambang Yudhoyono, seluruh anggota kabinet kerja mendelegasikan kewenangan untuk penerbitan perizinan dan nonperizinan ke Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Tak terkecuali Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). Menteri LHK Siti Nurbaya telah mendelegasikan wewenangnya dalam pemberian perizinan dan non perizinan kepada BKPM. Lewat Peraturan Menteri LHK No.P.97/Menhut-II/2014, sebanyak 35 izin bidang LHK didelegasikan. Termasuk yang dilimpahkan kepada BKPM adalah Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK), baik hutan alam (HPH) maupun hutan tanaman industri (HTI), Restorasi Ekosistem, Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan, Pelepasan Kawasan Hutan, Tukar Menukar Kawasan Hutan, Izin Usaha Jasa Wisata Alam, Izin ekspor dan impor benih/bibit tanaman, serta izin lingkungan (lihat grafis).
Pendelegasian wewenang perizinan kehutanan kepada BKPM sebenarnya bukan hal baru. Seperti diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No.01/Menhut-II/2010, ada tiga jenis izin yang dilimpahkan. Tapi izin yang dilimpahkan relatif ‘ringan’, yakni izin investasi industri pengolahan hasil hutan dengan kapasitas di atas 6.000 m3/tahun., investasi budidaya tumbuhan dan penangkaran satwa liar pada hutan produksi, serta investasi jasa kehutanan lintas provinsi. Namun, Permenhut itu otomatis dibatalkan dengan terbitnya Permen LHK No.P.97 tahun 2014.
Menteri LHK Siti Nurbaya menjelaskan, pelimpahan wewenang itu bertujuan untuk mempermudah perizinan terkait investasi. “Tujuannya peningkatan pelayanan,” kata dia usai menerima Kepala BKPM Franky Sibarani di kantornya, Kamis (8/1/2015).
Menurut Siti, dari seluruh perizinan terkait investasi, sektor lingkungan hidup dan kehutanan termasuk yang memakan waktu paling lama. Apalagi terkait Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) yang bisa memakan waktu 45-105 hari. Dia menyatakan, jajarannya sudah menyanggupi untuk memangkas waktu proses perizinan tersebut. “Sebenarnya mudah juga, sebab kalau mau mempersingkat tinggal tambah saja petugasnya,” kata Siti.
Pastinya, pengalihan wewenang itu memunculkan kekhawatiran izin bakal diobral. Konsekuensinya jelas berat. Sebab, Menteri Siti sebagai penanggung jawab hutan dan kawasan hutan harus siap untuk selalu ‘ketempuhan’ jika izin yang diterbitkan berbuntut persoalan. Pengalaman di masa lalu juga menunjukan izin pemanfaatan hutan dan hasil hutan juga kerap memicu konflik.
Ditanya soal itu, menteri Siti sempat tercenung. Dia mengaku masih akan membahasnya lebih detil dengan Kepala BKPM. Siti malah mengajak media untuk memelototi proses pendelegasian wewenang ini sehingga bisa meminimalkan kebocoran.
Hanya saja, dia memastikan jika ada tuntutan hukum terhadap izin yang diterbitkan, dirinya dan Kepala BKPM akan bertanggung jawab secara bersama. “Kepala BKPM sebagai tergugat satu, saya tergugat dua,” katanya.
Siti menjelaskan, pendelegasian wewenang itu bukan berarti pihaknya melepas kontrol terhadap proses penerbitan izin. Kementerian LHK tetap mengendalikan secara teknis dalam proses pengesahan perizinanan. Sementara BKPM lebih bersifat administratif. “BPKM menjadi clearing house, sehingga proses perizinan bisa lebih cepat,” kata dia.
Dalam prosesnya, menteri LHK akan menempatkan pejabatnya sebagai wakil di BKPM. Wakil itulah yang akan melakukan koordinasi dengan Dirjen atau Kepala Badan di Kementerian LHK. Menteri Siti menunjuk 4 orang pejabat LHK sebagai wakil di BKPM.
Siti menyatakan, memang masih ada yang perlu dibahas lebih lanjut terkait pendelegasian kewenangan. Termasuk dalam masa transisi terkait izin yang sedang dalam proses persetujuan. “Misalnya izin itu sudah mendapat persetujuan prinsip, atau bagaimana proses balik nama jika ada pengalihan saham, maupun izin yang akan mengajukan perpanjangan,” katanya.
Senada dengan Siti, Franky menjelaskan, meskipun ada pendelegasian, namun tetap menempatkan proses teknis di Kementerian LHK. “Eksekusi izin di BKPM, tetapi regulasi dan teknis tetap mengikuti kementerian,” katanya.
Franky menekankan tujuan dari pelayanan terpadu satu pintu, proses perizinan yang terkait bisa lebih cepat. Dia mencontohkan, untuk penerbitan proses penerbitan izin kebun yang melibatkan kementerian LHK, Kementerian Pertanian, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, serta Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. “Jika dulu ada izin yang prosesnya secara berseri, maka nanti di BKPM bisa dipararelkan. Jadi, prosesnya lebih cepat,” katanya.
Tabrak PP
Konsekuensi berat memang ditanggung oleh Menteri Siti. Apalagi, pendelegasian wewenang itu dinilai bertabrakan dengan peraturan perundang-undangan. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.6 Tahun 2007 yang telah direvisi dengan PP No.3 tahun 207, tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, penanggung jawab bidang kehutanan adalah menteri yang diserahi tanggung jawab tersebut. Saat ini adalah menteri LHK.
Soal itu, Menteri Siti Nurbaya memastikan tidak ada ketentuan yang ditabrak. “Pendelegasian ini sudah sesuai dengan ketentuan hukum,” katanya.
Dirjen Bina Usaha Kehutanan Bambang Hendroyono menambahkan, pendelegasian kewenangan perizinan bukan tanpa dasar hukum. Dia menjelaskan pendelegasian kewenangan itu diatur dalam Peraturan Presiden No.97 tahun 2014. Dia juga menyatakan, pendelegasian wewenang pemberian izin juga bukan baru pertama kali dilakukan. “Sebelumnya juga sudah ada yang didelegasikan ke BKPM. Sekarang ditambah,” katanya.
Bambang mengatakan, selain kepada Kepala BKPM, pendelegasian kewenangan juga diberikan kepada kepala daerah, misalnya pada penerbitan izin Hutan Tanaman Rakyat (HTR). “Jadi tidak ada masalah,” katanya.
Bambang meyakini proses pendelegasian tersebut bakal berjalan mulus. Apalagi, selama ini Kementerian LHK sudah menerapkan proses perizinan secara daring atau dalam jaringan (online). Berdasarkan sistem tersebut, proses perizinan berjalan secara transparan dan bisa dipantau dengan mudah. “Nanti sistem yang sudah berjalan tinggal dikoneksikan dengan BKPM,” katanya.
Karena lebih transparan serta clear and clean, Bambang yakin, baik Kepala BKPM maupun Menteri LHK tidak akan menanggung beban adanya izin yang bermasalah. Untuk izin pemanfaatan hasil hutan seperti HPH dan HTI, misalnya. Ke depan akan lebih jelas di mana areal yang terbuka untuk dimanfaatkan oleh investor. “karena arahan pemanfaatannya sudah jelas diketahui,” katanya. Sugiharto
Siti Nurbaya: Kami Tetap Hati-hati
Pendelegasian kewenangan perizinan kepada BKPM juga memicu kekhawatiran bakal kendurnya pengawasan terkait isu lingkungan hidup. Menteri Siti Nurbaya menegaskan pendelegasian tidak akan mengorbankan proses kehati-hatian.
“Hati-hati tetap lah. Kan kami tetap terlibat,” katanya.
Sekretaris Kementerian LHK Rasio Ridho Sani mengatakan, jajarannya sedang mengkaji tahap demi tahap proses pengurusan amdal. Tujuannya untuk melihat peluang tahapan yang bisa dipangkas atau diefisienkan waktunya.
“Namun, tidak perlu khawatir. Percepatan tidak berarti menurunkan kualitas safeguard. Tetap menjaga kualitas perlindungan lingkungan hidup. Proses kajian ilmiah dan partisipasi publik tetap ada. BKPM hanya memastikan proses-proses itu dijalankan efisien,” katanya. Sugiharto