Pendelegasian wewenang perizinan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) coba dipandang positif oleh pelaku usaha terkait. Meski demikian, implementasi kebijakan tersebut diyakini tidak mudah, sebab sektor LHK sarat dengan urusan teknis.
Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Irsyal Yasman menyatakan, pendelegasian wewenang perizinan LHK ke BKPM adalah upaya pemerintah untuk mewujudkan proses perizinan yang cepat dan transparan. “Upaya ini tentu perlu diapresiasi,” katanya di Jakarta, Jumat (9/1/2015).
Irsyal menyatakan, pendelegasian wewenang selayaknya juga diikuti dengan penyederhanaan proses perizinan di internal Kementerian LHK. Dia menilai, upaya penyederhanaan itu sudah cukup baik direspon Menteri Siti Nurbaya dan jajarannya dengan membentuk sejumlah satuan tugas, termasuk untuk mengevaluasi peraturan perundang-undangan.
Hal lain yang harus diperhatikan dalam pendelegasian wewenang itu adalah sifat perizinan kehutanan yang dipenuhi hal-hal yang bersifat teknis. Ini berbeda dengan izin yang selama ini yang diterbitkan oleh BKPM yang lebih bersifat administratif. “Karena sifatnya adminisitratif, izin di BKPM memang cepat diproses. 1-2 hari selesai. Tapi kehutanan lebih rumit,” kata Irsyal.
Dia mencontohkan, soal lokasi yang menjadi target investasi harus dipastikan dulu kebenaran koordinatnya, bagaimana kondisi lapangannya, seperti apa tutupan vegetasinya, dan banyak hal teknis lainnya yang tidak sederhana. Apalagi, izin kehutanan umumnya punya jangka panjang dengan durasi 20-60 tahun. “Jika persoalan teknisnya tidak diperhatikan, tentu akan timbul persoalan. Nah, kalau ada persoalan siapa yang bertanggung jawab?” kata Irsyal.
Acungan jempol terhadap kebijakan pendelegasian wewenang pemberian izin juga datang dari Ketua Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia (APBI) Bob Kamandanu. Langkah Kementerian LHK diharapkan bisa menjadi ‘obat pening’ bagi pengusaha batubara dalam mengurus izin pinjam pakai kawasan hutan. “Selama ini saat mengurus izin ada saja yang salah. Petanya salah lah, harus diulang lah. Jadi pusing kami,” kata Bob.
Bob menyatakan akan mengacungkan jempol setingi-tinggingnya jika upaya pemerintah untuk menciptakan pelayanan satu pintu bisa terwujud. Untuk itu, katanya, BKPM perlu melengkapi dirinya dengan kemampuan untuk memahami berbagai persoalan teknis untuk urusan pinjam pakai hutan.
Jika untuk urusan teknis tersebut, pemohon masih harus mondar-mandir ke Kementerian LHK, maka layanan satu pintu tidak ada dampaknya. Sebaliknya, malah akan menambah panjang birokrasi karena ada bertambahnya rantai yang terlibat, yaitu BKPM.
Bob menegaskan, anggotanya yang mengurus izin pinjam pakai kawasan hutan sudah selayaknya mendapat kemudahan perizinan. Menurut dia, anggota APBI punya komitmen untuk investasi dan memberi devisa bagi negara.
Jangan korbankan hutan
Sementara itu Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia Christian Purba mengingatkan pendelegasian kewenangan tersebut jangan sampai melemahkan komitmen untuk perlindungan lingkungan hidup dan kehutanan. “Langkah kementerian LHK punya tujuan baik, kemudahan perizinan untuk mendukung investasi. Tapi jangan mengorbankan hutan dan lingkungan hidup,” tegas dia.
Menurut Christian, pejabat LHK yang ditempatkan sebagai wakil di BKPM seharusnya memiliki kewenangan yang cukup kuat dalam proses perizinanan. Dia mempertanyakan kekuatan kewenangan itu karena pejabat yang ditempatkan itu hanyalah pejabat eselon III atau IV.
Christian juga menyatakan, yang paling penting dari pendelegasian kewenangan itu adalah peningkatan transparansi. Termasuk transparansi kepada masyarakat di dalam dan sekitar hutan di mana investasi akan ditanamkan. “Selama ini proses perizinan kurang terbuka. Masyarakat tak pernah dilibatkan ketika proses perizinan berjalan. Akibatnya sering mengakibatkan konflik,” ujar dia.
Chritian mengingatkan pentingnya menjaga aspek lingkungan hidup dan hutan dalam proses perizinan. Dia mengingatkan, Indonesia sudah kehilangan hutan sangat luas dalam beberapa tahun terakhir. Buku terbaru FWI bertajuk Potret Keadaan Hutan Indonesia periode 2009-2013 mengungkapkan, pada tahun 2013, hutan alam Indonesia tersisa 82 juta hektare, dan terancam akan terus berkurang. Dalam kondisi tanpa perbaikan mendasar, 10 tahun mendatang, hutan alam di Pulau Sumatera hanya tersisa 16% dibanding luas total daratannya.
Pengamat kehutanan yang juga Direktur Kajian Strategis dan Kebijakan Pertanian (KSKP) IPB Dodik R Nurochmat menyatakan pendelegasian kewenangan pemberian izin LHK kepada BKPM mungkin bisa meningkatkan efisensi dalam proses perizinan. Meski demikian, dia masih mempertanyakan efektivitasnya. “Izinnya yang diberikan mungkin bisa diterbitkan lebih cepat. Tapi apakah izin tersebut bisa langsung berjalan di lapangan, itu yang dipertanyakan,” katanya.
Dodik menyatakan yang terpenting dari proses perizinan itu adalah menyiapkan pra kondisi sehingga izin yang diterbitkan benar-benar bisa beroperasi. Selama ini, banyak izin kehutanan yang tak bisa beroperasi karena banyaknya persoalan di lapangan. “Seharusnya lahan itu clear and clean. Tapi nyatanya kan tidak ada. Seolah-olah pemegang izin dibiarkan sendiri untuk menyelesaikan persoalan,” katanya.
Dia juga mengingatkan pendelegasian kewenangan dari menteri LHK kepada kepala BKPM harus diikuti dengan kejelasan yang penanggungjawabnya. Ini untuk mengantisipasi jika ada persoalan hukum di kemudian hari. Berdasarkan Peraturan Menteri LHK No.97 tahun 2014, penerbitan izin memang didelegasikan kepada Kepala BKPM. Namun belum diatur soal siapa yang bertanggung jawab mencabut izin jika ada pelanggaran.
Yang juga patut diwaspadai soal tanggung jawab adalah keseriusan aparat Kementerian LHK. Menurut praktisi hukum Dr. Sadino, dengan adanya tata waktu dalam proses perizinan, maka Kementerian LHK harus merespons tiap permohonan yang diajukan.
“Jangan biarkan permohonan diambangkan tanpa jawaban. Jika tak memenuhi syarat ya ditolak, jangan dibiarkan hingga tata waktu yang ada terlewati,” katanya.
Jika mengacu pada asas publisitas, maka Kepala BKPM bisa saja menandatangani permohonan izin yang sudah memenuhi batas waktu dan pemerintah dianggap menyetujui permohohonan tersebut. “Kalau Kepala BKPM tandatangan dia tidak salah,” katanya. Sugiharto