Negosiasi perjanjian kemitraan sukarela untuk penegakan hukum, perbaikan tata kelola, dan perdagangan sektor kehutanan (FLEGT-VPA) antara Indonesia-Uni Eropa akhirnya tuntas. Dokumen V-Legal yang diterbitkan berdasarkan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) pun disetarakan sebagai lisensi FLEGT. Ini berarti produk kayu Indonesia bisa masuk ke pasar Eropa tanpa pemeriksaan (due dilligence).
Capaian ini mendapat sambutan meriah dari sejumlah pelaku usaha. Meski demikian, mereka menyadari, perlu komitmen kuat dari seluruh pemangku kepentingan agar SVLK bisa berjalan secara ideal.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo), Rudi T Luwia menyatakan, penyetaraan dokumen V-Legal sebagai lisensi FLEGT adalah bukti bahwa seluruh pemangku kebijakan di tanah air kini sudah kompak. Tak lagi ada perbedaan cara pandang yang tajam terhadap upaya untuk perbaikan tata kelola hutan Indonesia melalui SVLK. “Ini berarti antarkementerian, maupun pihak lain seperti LSM, pelaku usaha sudah kompak untuk mendukung perbaikan tata kelola hutan,” katanya, Jumat (13/5/2016).
Rudi juga menilai, pengakuan sebagai lisensi FLEGT berdampak sangat positif bagi sektor kehutanan Indonesia, termasuk industri mebel dan kerajinan. Dia berharap kepercayaan dunia terhadap produk kayu Indonesia semakin meningkat. Meski demikian, dia mengaku, belum bisa memprediksi dampaknya terhadap kenaikan kinerja ekspor produk mebel. Pasalnya, ekspor tak hanya dipengaruhi oleh satu faktor berupa lisensi FLEGT. Ada soal desain, kondisi pasar, dan faktor lainnya.
“Dalam jangka panjang tentu akan berdampak pada perbaikan ekspor. Tapi ada faktor lain yang juga menentukan,” katanya.
Rudi mengingatkan agar seluruh pihak tak terlena dengan pengakuan lisensi FLEGT. Pasalnya, banyak yang perlu dibenahi hingga SVLK bisa memberi manfaat secara nyata bagi Indonesia. Pekerjaan rumah yang menunggu misalnya adalah penyederhanaan perizinan, terutama bagi pelaku industri skala kecil. “IKM ini kan ingin juga merasakan manfaat dari SVLK. Jangan ditinggal,” katanya.
Legalitas yang lengkap memang menjadi prasyarat untuk dapat lolos SVLK. Legalitas itu termasuk di antaranya SIUP, Tanda Daftar Perusahaan (TDP), Tanda Daftar Industri (TDI), izin HO (gangguan) dan legalitas usaha lainnya. Persoalannya, kata Rudi, IKM memiliki keterbatasan untuk mendapat legalitas tersebut. “Kendala yang dihadapi termasuk kapasitasnya, keuangannya, maupun SDM-nya,” kata Rudi.
Contohnya, izin HO. Izin tersebut bisa diterbitkan jika industri berlokasi sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Namun, kebanyakan IKM justru berusaha di pemukiman. Untuk itu, Rudi meminta pemerintah bisa memberi dispensasi bagi IKM paling tidak selama tiga tahun. “Setelah itu, IKM didorong untuk merelokasi usahanya ke klaster yang disiapkan pemerintah,” katanya.
Dia juga menyerukan agar pemerintah daerah benar-benar mengimplementasikan paket kebijakan ekonomi yang telah dilansir Presiden Joko Widodo. Paket kebijakan yang telah ada sebanyak XII buah itu memang menjanjikan kemudahan khususnya bagi Usaha Menengah Kecil dan Mikro (UMKM) dalam mengurus perizinan seperti TDP, SIUP dan izin HO. “Untuk IKM, izin tersebut ada di pemerintah daerah. Makanya kami berharap pemerintah daerah benar-benar mengimplementasikan kebijakan tersebut.”
Kemudahan perizinan juga ditegaskan Ketua Umum Asosiasi Industri Kayu Gergajian dan Kayu Olahan (ISWA), Soewarni. Menurut dia, untuk pelaku usaha besar, perizinan bisa dipenuhi dengan mudah. “Tapi untuk yang skala menengah ke bawah perlu pendampingan,” katanya.
Soewarni mengklaim seluruh anggotanya sudah mengantongi sertifikat SVLK. Meski demikian, Dia mengakui, penyetaraan V-Legal sebagai lisensi FLEGT tak otomatis akan mendongkrak ekspor kayu olahan. Pasalnya, ekspor ke pasar Eropa hanya sekitar 10% dari total ekspor kayu olahan. “Ekspor kami banyak ke Tiongkok dan Taiwan,” katanya.
Ekspor ke Eropa, kata dia, banyak dilakukan untuk jenis produk seperti pintu dan flooring, yang berbasis kayu alam. Hal ini dikarenakan memang minat konsumen untuk kayu olahan adalah produk berbasis kayu alam seperti meranti dan merbau.
Jangan terlena
Sementara Wakil Ketua Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) Rusli Tan mengingatkan agar pemerintah tak terlena dengan pengakuan global terhadap SVLK. Pasalnya, pasar domestik di tanah air hingga saat ini belum benar-benar mengakui sistem tersebut.
“Kita jangan terlalu banyak berbangga dengan SVLK. Kenyataannya pasar di tanah air justru banyak dikuasai sertifikasi lain,” katanya.
Rusli menyebut banyak institusi dan unit bisnis raksasa yang beroperasi di tanah air hanya mau membeli produk yang disertifikasi oleh lembaga tertentu dan mengabaikan SVLK. Untuk itu, dia menyerukan agar SVLK menjadi satu-satunya sertifikasi yang diakui di Indonesia. Seluruh produk berbasis kayu yang diimpor pun harus memenuhi SVLK. “Harus ada law enforcement agar SVLK menjadi satu-satunya standar,” katanya.
Hal itu bisa dimulai dari institusi dan lembaga pemerintah. Saat ini pemerintah memang belum menjadikan sertifikat SVLK dalam pengadaan barang. “Kalau mebel pemerintah menggunakan SVLK, kertasnya juga SVLK, kan cantik,” katanya.
Rusli juga berharap, pembenahan tata kelola kehutanan yang dijalankan SVLK diikuti dengan perbaikan kebijakan sehingga industri bisa semakin menggeliat. Misalnya soal ketersediaan garam industri, yang merupakan bahan baku penolong untuk produksi bubur kayu. “Pemerintah memperketat impor garam industri. Padahal, di tanah air hanya bisa memproduksi garam rumah tangga. Ini menyulitkan industri pulp,” katanya. Sugiharto
Mutuagung: LPVI Ikut Bertanggung Jawab Mengawal
Lembaga Penilai dan Verifikasi Independen (LPVI) menyatakan komitmennya untuk mengawal pengakuan lisensi FLEGT.
Presiden Direktur PT Mutuagung Lestari, Arifin Lambaga menegaskan, pihaknya berkomitmen agar SVLK tetap terjaga kredibilitasnya. “Menjadi tanggung jawab kami untuk ikut menjaga SVLK. Ini berarti kami juga menjaga kredibilitas kami di mata konsumen,” kata dia.
LPVI merupakan elemen penting dalam SVLK. Inilah lembaga yang menilai dan memverifikasi apakah usaha berbasis kayu sudah memenuhi seluruh legalitas yang dipersyaratkan. LPVI terjamin independensinya karea bukan bagian dari pemerintah. Meski demikian, untuk bisa menjadi LPVI, sebuah badan hukum harus mendapat akreditasi dari Komite Akreditasi Nasional (KAN). KAN juga yang akan mengevaluasi jika LPVI diduga melakukan pelanggaran.
Arifin menegaskan, tak ingin mempertaruhkan kredibilitas perusahaan yang telah dibangun sejak lama. Bukti kredibilitas sudah diakui, adalah kepercayaan konsumen dari mancanegara mulai dari Malaysia, Tiongkok, hingga Jepang atas berbagai sertifikasi yang dikeluarkan Mutuagung Lestari.
“Kami kan tidak ada hanya ada di Indonesia. Tapi juga di Tiongkok hingga Jepang. Kami pasti mempertahankan kredibilitas itu,” kata Arifin.
Menurut dia, jika ada salah satu perusahaan kayu yang diaudit diduga melakukan pelanggaran, maka publik bisa melaporkannya untuk ditindaklanjuti. Jika terbukti, maka sertifikat SVLK-nya bisa ditangguhkan bahkan dicabut.”Kami terbuka dan transparan,” tegasnya.
Arifin sendiri menilai pengakuan lisensi FLEGT akan mendongkrak kinerja ekspor produk kayu Indonesia seiring meningkatnya kepercayaan konsumen. Sugiharto