Keberhasilan Indonesia dalam mendapatkan skema lisensi Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT) bagi semua ekspor produk kayu Indonesia ke 28 negara Uni Eropa, ditanggapi dingin oleh kalangan pelaku usaha di industri mebel dan kerajinan.
“Jangan eforia dulu dengan hasil yang dicapai itu,” ujar Sekjen Asosiasi Mebel dan Kerajinan Rotan Indonesia (AMKRI), Abdul Sobur, kepada Agro Indonesia, akhir pekan lalu.
Menurut Sobur, skema lisensi FLEGT yang didapatkan Indonesia belum menjamin kalau semua produk hasil hutan yang masuk ke Uni Eropa adalah produk yang bahan bakunya mulai dari hulu hingga hilir adalah legal. Pasalnya, belum tentu negara-negara UE itu bisa dengan mudah meratifikasi kesepakatan tersebut.
“Kecuali jika negara-negara di Uni Eropa mewajibkan semua produk kayu yang masuk adalah produk legal dari hulu hingga hilir,” ucap Sobur.
Memang, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengakui kalau penerimaan lisensi FLEGT barulah satu langkah dari tujuan besar yang ingin dicapai Indonesia dalam ekspor produk hasil kayu.
“Kita masih akan melanjutkan pembicaraan dengan teman-teman di Uni Eropa untuk segera mengimplementasikan FLEGT. Kita akan desak mereka agar hanya menerima produk kayu yang legal saja dari semua negara,” ujar Retno dalam konferensi pers empat menteri tentang FLEGT, Kamis pekan lalu.
Retno sendiri mengaku kalau pihak Uni Eropa menjanjikan waktu sekitar tiga bulan bagi implementasi FLEGT tersebut.
Sobur menjelaskan, tidak akan mudah bagi negara-negara UE untuk segera meratifikasi kesepakatan FLEGT dan mewajibkan mereka hanya menerima produk kayu yang legal saja.
“Dalam meratifikasi, negara-negara Uni Eropa tentunya akan mempertimbangkan juga dampaknya terhadap hubungan dagang dengan negara lainnya,” ucapnya.
Jika dampaknya terlalu besar terhadap hubungan dagang mereka dengan negara lain, ungkap Sobur, tentunya mereka akan berpikir panjang untuk segera meratifikasi kesepakatan FLEGT.
Dia juga menjelaskan kalau saat ini saja masih ada empat negara UE yang tidak mendukung lisensi FLEGT. Selain itu, salah satu negara utama UE, Inggris, masih sibuk dengan rencana referendum tentang apakah Inggris keluar atau tetap bertahan sebagai anggota UE.
Menurutnya, munculnya persyaratan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) adalah murni inisiatif dari Indonesia kepada negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa.
“Secara filosofi cukup bagus. Namun, dampaknya di internal juga ada,” jelas Sobur.
Dia menjelaskan, akibat penerapan SVLK terhadap sektor hilir, akan ada hambatan bagi pelaku industri mebel dan rotan. Misalnya, aspek biaya yang harus ditanggung pelaku usaha yang igin mengekspor.
Jika satu perusahaan harus mengeluarkan Rp40 juta untuk mendapatkan SVLK, maka akan ada pengeluaran sebesar Rp200 miliar dari 5.000 anggota AMKRI. Saat ini saja ada 850 anggota AMKRI yang belum memiliki SVLK. Selain aspek biaya, penerapan SVLK terhadap sektor hilir juga menambah panjang jalur regulasi yang harus dilewati pengusaha eksportir.
“Katanya pemerintah ingin memangkas regulasi yang menghambat, kok sekarang malah memperpanjang regulasi,” tanya Sobur.
AMKRI sendiri, ujarnya, tetap menentang penerapan SVLK terhadap produk hilir dan kini tengah menyusun analisis untuk mengetahui dampak negatif yang dialami eksportir anggotanya. “Kami akan bertemu dengan Presiden untuk membahas masalah ini,” paparnya.
Negara Pertama
Sementara itu Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong menyatakan, Indonesia merupakan negeri pertama di dunia yang meraih lisensi FLEGT seperti terungkap pada Pernyataan Bersama antara Presiden RI Joko Widodo dan Presiden Uni Eropa Jean-Claude Juncker di Brussels, 21 April 2016. Lisensi FLEGT merupakan lisensi tentang Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan Bidang Kehutanan dari Uni Eropa.
“Penghargaan ini merupakan terobosan penting untuk meningkatkan daya saing dan memperluas keberterimaan Produk Industri Kehutanan Indonesia di pasar internasional,” ujar Mendag.
Lembong mengatakan, perolehan lisensi FLEGT merupakan kemenangan dari konseptor dan diplomasi Indonesia. “Konsep dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan diplomasi oleh Kementerian Luar Negeri,” ucapnya.
Menurutnya, Kementerian Perdagangan hanyalah bertugas sebagai implementator dari konsep yang dibuat Kementerian LHK. “Ini Merupakan pencapaian yang historis,” ujarnya.
Skema lisensi FLEGT dari Uni Eropa itu juga diinisiasi oleh terbitnya peraturan Menteri Perdagangan Nomor 25/M-DAG/PER/4/2016 tentang Perubahan atas Permendag 89/M-DAG/PER/10/2015 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan, pada 15 April 2016.
Kebijakan tersebut merupakan respons Pemerintah terhadap dinamika perdagangan kayu dunia yang menuntut produk bersertifikat legal dan berasal dari hutan yang dikelola secara lestari.
Dengan terbitnya peraturan ini, maka dokumen V-Legal kini bersifat wajib/mandatory untuk para pelaku usaha dari hulu sampai hilir jika ingin mengekspor produknya. Sebelumnya, produk kayu yang digunakan tidak wajib memiliki dokumen V-Legal sebagai syarat dokumen kepabeanan.
“Ekspor Produk Industri Kehutanan wajib dilengkapi dengan Dokumen V-Legal yang dapat membuktikan bahwa produk kayu Indonesia yang diproduksi, diolah, dan diperdagangkan sesuai dengan komitmen Pemerintah dalam memberantas pembalakan liar serta memperbaiki tatakelola usaha dan perdagangan produk industri kehutanan,” papar Mendag.
Dokumen V-Legal merupakan bagian dari Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang bertujuan untuk menjamin bahwa produk kayu yang dieskpor memenuhi persyaratan legalitas dan kelestarian.
Permendag No. 25/M-DAG/PER/4/2016 mewajibkan ekspor produk furnitur dan kerajinan kayu dilengkapi dengan Dokumen V-Legal.
Menurut Direktur Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan, Nurlaila, Permendag itu akan diberlakukan secara resmi sebulan setelah diundangkan. “Dalam satu dua hari ini kami akan mengajukan ke Kementerian Hukum dan Kehakiman untuk diundangkan,” paparnya, akhir pekan lalu.
Nampaknya, Nurlela tak perlu menunggu lama. Permendag itu ternyata sudah resmi diundangkan pada 29 April 2016 oleh Dirjen Peraturan Perundangan-undangan Kemenkum HAM, Widodo Ekatjahjana, dan aturan ini otomatis berlaku sebulan setelah diundangkan.
Dukungan Terhadap IKM
Sementara itu, terhadap industri kecil menengah, Mendag menegaskan bahwa pelaku usaha furnitur dan kerajinan kayu skala kecil dan menengah tidak perlu khawatir terhadap aturan baru ini.
“Pemerintah melalui Kemen-LHK dan Kemenperin akan memberikan pendampingan dan dukungan untuk mendapatkan Sertifikat Legalitas Kayu (S-LK), baik secara mandiri maupun berkelompok,” paparnya.
Furnitur dan kerajinan kayu merupakan produk industri kehutanan yang menjadi unggulan Industri Kecil dan Menengah (IKM), sehingga Pemerintah memberikan perhatian khusus bagi keberlangsungan ekspor tersebut.
Saat ini sekitar 93% pelaku IKM furnitur dan kerajinan kayu telah memiliki S-LK. Untuk itu Pemerintah akan terus melanjutkan pemberian pendampingan dan dukungan bagi IKM untuk mendapatkan S-LK.
Produk industri kehutanan merupakan salah satu produk unggulan ekspor nasional yang memberikan kontribusi dengan tren yang terus meningkat selama 5 tahun terakhir sebesar 2%.
Nilai ekspor produk industri kehutanan tercatat sebesar 10,6 miliar dolar AS pada tahun 2015, atau 8% dari total ekspor nonmigas Indonesia.
Sementara itu Menteri Perindustrian Saleh Husin mengatakan, pemberlakuan SVLK akan menghilangkan kewajiban uji tuntas (due diligence) yang menjadi beban biaya bagi eksportir yang selama ini dialami oleh produk olahan kayu Indonesia yang diekspor ke Uni Eropa. Apalagi, industri furnitur kayu sebagian besar merupakan industri kecil menengah. B. Wibowo
Keunggulan Komparatif pun Bertambah
“Berlakunya SVLK secara mandatory untuk seluruh produk berbahan kayu diharapkan berdampak positif terhadap industri hilir pengolahan kayu, terutama furnitur kayu. Ini karena meningkatnya tingkat kepercayaan buyer internasional, terutama dari Uni Eropa, bahwa produk olahan kayu Indonesia dijamin legalitasnya,” kata Menperin.
Kepercayaan juga terkait bahwa bahan baku kayu bersumber dari hutan lestari atau Sustainable Forest Management (SFM), sehingga akan meningkatkan daya saing produk furnitur kayu Indonesia dan membuka peluang pasar yang lebih besar.
Menteri Saleh melanjutkan, setelah keberterimaan produk kayu Indonesia berlaku secara resmi melalui skema SVLK oleh Indonesia untuk memenuhi skema FLEGT Uni Eropa, aplikasi penuh dari sistem ini di Uni Eropa diharapkan agar dapat segera diberlakukan. Skema ini menggunakan Dokumen V-Legal sebagai dokumen eksportasi produk kayu ke pasar internasional, khususnya Uni Eropa.
SVLK juga menjadi upaya perbaikan tata kelola kehutanan yang perlu didukung oleh para pihak terkait. “Diharapkan tidak menjadi beban bagi pelaku usaha, namun justru dapat menjadi investasi perbaikan manajemen industri pengolahan kayu,” imbuhnya.
Hingga kini dan ke depan, Indonesia memiliki peluang kuat untuk mengembangkan industri pengolahan kayu, karena didukung terbukanya peluang pasar, baik di dalam maupun luar negeri, dan adanya keunggulan komparatif. Juga karena masih memiliki sumber bahan baku kayu yang relatif besar, telah dikuasainya teknologi proses, tersedianya SDM yang cukup banyak dengan upah yang kompetitif.
Senada dengan menteri, Wakil Ketua Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) bidang Pengkajian dan Hubungan Antar Lembaga, Hari Basuki mengatakan, dengan dikantonginya lisensi FLEGT pertama di dunia ini, maka industri hilir pengolahan kayu memiliki keunggulan komparatif dibanding negara penghasil kayu lainnya.
“Kami melihatnya seperti itu. Karena pertama di dunia, jadi secara riil lisensi ini memperkuat daya saing kita dari negara produsen furnitur lainnya, seperti Vietnam dan Tiongkok. Kita satu langkah di depan dan ini momentum yang menguntungkan,” katanya.
Dia juga memberi gambaran, biaya yang dikeluarkan untuk uji tuntas atau due diligence sekitar 1.000-2.000 dolar AS/kontainer ukuran 20-40 feet. Dengan dihilangkannya kewajiban uji tuntas seiring berlakunya SVLK, maka biaya ekspor produk furniture pun terpangkas. B. Wibowo