Oleh: Avry Pribadi, S.Si, M.Sc (Peneliti Balai Litbang Teknologi Serat Tanaman Hutan, Badan Litbang dan Inovasi, KLHK)
Indonesia sebagai salah satu negara dengan kekayaan biodiversitas tertinggi di dunia memiliki flora dan fauna yang unik dan berbeda dengan negara lain. Salah satunya adalah lebah hutan atau dalam ilmiah disebut sebagai Apis dorsata. Sampai saat ini, lebah hutan merupakan lebah penghasil madu dengan ukuran terbesar di dunia.Lebah ini tersebar di Kawasan Asia selatan sampai Asia tenggara yang meliputi Pakistan, India, Thailand, Kamboja, dan Indonesia. Di Indonesia, penyebaran lebah ini bahkan sampai ke Nusa Tenggara dan Sulawesi. Namun belum ada laporan yang menyebutkan bahwa lebah hutan telah “menginvasi” sampai ke Papua.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, tahun 2008, kontribusi lebah hutan mencapai paling sedikit 75% dari jumlah total produksi madu di Indonesia sedangkan sisanya disumbang oleh lebah ternak jenis Apis mellifera dan Apis cerana.
Lebah A. mellifera sendiri bukan merupakan lebah asli Indonesia dan harus didatangkan dari beberapa negara tetangga seperti Australia. Sedangkan A. cerana merupakan lebah lokal yang meskipun relatif tahan terhadap penyakit namun masih diperlukan banyak pengembangan dan penelitian untuk meningkatkan produktivitasnya yang masih kalah jauh jika dibandingkan A. mellifera.
Sebenarnya, menggantungkan produksi nasional madu pada lebah hutan bukanlah sesuatu yang salah, meskipun ada beberapa kampanye yang mengatakan bahwa sebaiknya Indonesia tidak lagi bergantung pada madu yang diambil dari alam dengan alasan produksi yang sering kali tidak ada jaminan keberlanjutan dan juga kualitasnya yang sering kali tidak konsisten. Namun, hal tersebut bukan sesuatu penghalang jika kita memiliki kemampuan dalam memanfaatkan dan menerapkan praktik-praktik pengelolaan lebah hutan dari hulu sampai hilir, dan justru dapat menjadi nilai lebih. Apalagi madu hutan memiliki nilai lebih dari sisi keorganikkannya dibandingkan madu yang dihasilkan lebah ternak. Sayang sekali, masih belum banyak petani lebah hutan yang melakukan sertifikasi organik terhadap madu hutan yang diperolehnya.
Salah satu provinsi penghasil madu hutan terbesar di Indonesia adalah Riau. Berdasarkan studi yang kami lakukan pada tahun 2008-2009, jumlah produksi madu hutan di Riau menjadi yang tertinggi jika dibandingkan dengan Nusa Tenggara Barat. Volumenya dapat mencapai hampir 400 ton/tahun. Determinasi ini ditentukan oleh banyak faktor, diantara adalah kondisi lingkungan yang relatif tidak banyak perbedaan pada musim hujan dan kemarau dan masih banyaknya jumlah pohon sialang (Koompassia excels). Nama pohon sialang sendiri bukan merupakan nama spesies pohon, melainkan sebutan bagi pohon yang biasanya berukuran tinggi dan besar yang dihuni atau pernah ditinggali oleh lebah hutan.
Ciri-ciri pohon sialang biasanya adalah merupakan pohon yang paling tinggi dan besar dibanding pohon-pohon di sekitarnya, memiliki dahan yang tidak terlalu rimbun sehingga memungkinkan penetrasi cahaya matahari, dan memiliki dahan dengan sudut yang cenderung datar. Berdasarkan hasil inventarisasi, sedikitnya terdapat 50 jenis pohon sialang di Riau dan pohon Makeluang merupakan jenis pohon terbanyak yang dihuni oleh lebah hutan. Di Malaysia, pohon sialang disebut sebagai pohon Tualang dan masih banyak penamaan lainnya di provinsi lain. Sedangkan untuk lebahnya sendiri, masyarakat Riau lebih mengenalnya sebagai lebah sialang.
Jika membahas mengenai lebah hutan tentu tidak akan jauh dari hutannya itu sendiri. Hutan memiliki peranan yang penting bagi kelangsungan hidup lebah hutan. Di Riau, masyarakat lokal percaya bahwa suatu pohon sialang hanya akan dihuni oleh lebah hutan jika di sekitarnya dipenuhi suatu ekosistem yang disebut hutan kepungan. Maksudnya adalah untuk dapat dihuni oleh lebah hutan, pohon sialang tidak dapat berdiri sendiri melainkan harus dilengkapi oleh keberadaan suatu ekosistem hutan yang “mengepung” si pohon sialang.
Tetapi, sejak memasuki zaman reformasi sekitar tahun 2000, kegiatan alih fungsi hutan yang bertujuan untuk pembukaan perkebunan karet dan kelapa sawit, maupun hutan tanaman industri (HTI) pulp dan kertas ternyata memiliki dampak yang negatif pada perkembangan lebah hutan. Hal ini belum lagi ditambah pengaruh dari asap akibat dari kebakaran lahan dan hutan yang sempat “mengusir” lebah hutan di kecamatan Kampar Kiri sampai pada kecamatan Gunung Sahilan pada tahun 2015-2016. Tulisan ini hanya membatasi pada pengaruh alih fungsi hutan terhadap lebah hutan.
Berdasarkan hasil studi yang dilakukan pada kabupaten Kampar, hutan alam memiliki pengaruh sebesar 28,17% terhadap keberadaan lebah hutan. Sehingga dapat dianalogikan bahwa apabila kawasan berhutan telah hilang seluruhnya maka jumlah koloni lebah hutan mengalami penurunan sebesar 28,17% dibandingkan dengan apabila kawasan tersebut tetap berhutan. Berdasarkan peta tutupan lahan kabupaten Kampar, beberapa kecamatan yang pernah menjadi sentra penghasil madu hutan pada tahun sebelum 2000-an seperti Tapung, Kampar Kiri Hilir, Gunung Sahilan, dan Kampar Kiri Tengah telah kehilangan hampir 90% daerah berhutannya pada tahun 2007 yang kemudian memicu terjadinya penurunan populasi lebah hutan sebanyak 28,17%.
Penurunan populasi lebah hutan ini memiliki dampak yang signifikan bagi para petani pemungut madu hutan. Sebagai analoginya adalah jika 1 koloni lebah hutan menghasilkan rata-rata 10 kg madu/bulan dan di kabupaten Kampar terdapat 10.000 koloni, maka akan ada kehilangan madu hutan sekitar 28,17 ton/bulan sebagai akibat dari hilangnya keberadaan hutan alam. Nilai ini sangatlah besar jika dihubungkan dengan potensi ekonomi dan kegiatan usaha lain yang masih berkaitan dengan kegiatan ini, seperti produksi lilin dan usaha penyewaan perlengkapan dan peralatan pemanenan. Dampak langsungnya adalah berkurangnya pendapatan petani pemungut madu hutan yang jika dikalikan dengan harga madu yang per kilogramnya sekarang mencapai Rp100.000, akan mencapai angka Rp2,8 miliar lebih setiap bulannya. Hitungan tersebut mungkin bisa jadi bias karena belum memasukkan faktor lain seperti penerapan teknik panen yang berwawasan lingkungan dan lain-lain. Akan tetapi, beberapa petani pemungut madu hutan sudah menyadari terjadinya fenomena tersebut dan bahkan tidak sedikit yang mencari madu sampai ke wilayah kabupaten lain di Riau.
Kehilangan hutan bukan hanya berpengaruh terhadap musnahnya pohon-pohon sialang, tetapi dampak yang diberikan lebih luas lagi, seperti berubahnya struktur ekosistem dan iklim mikro yang kemudian diduga membuat lebah hutan merasa tidak lagi nyaman untuk tinggal di pohon sialang tersebut. Telah disebutkan di atas bahwa untuk dapat dihuni oleh lebah hutan, mayoritas pohon sialang haruslah hidup di tengah areal berhutan yang disebut hutan kepungan. Telah banyak studi yang menunjukkan bahwa keberadaan hutan di sekitar areal pertanian atau perkebunan dapat meningkatkan populasi serangga penyerbuk yang salah satunya adalah lebah dan kemudian akan berdampak positif terhadap produksi pertanian yang dihasilkan. Sehingga jika fungsi hutan dihilangkan maka akan berdampak negatif pada keberadaan lebah.
Pembukaan lahan hutan menjadi areal perkebunan dan HTI sering kali dijadikan sumber permasalahan tentang fenomena ini. Hasil studi kami akan hal ini menunjukkan bahwa keberadaan perkebunan dan HTI memang berpengaruh negatif terhadap perkembangan koloni lebah hutan. Melalui permodelan kami mencoba menganalisa pengaruh tersebut dan mendapatkan hasil bahwa populasi lebah hutan di pohon sialang pada suatu lokasi yang terdiri atas hutan alam, sungai, perkebunan kelapa sawit, HTI, dan perkebunan karet akan mengalami penurunan jika luas kebun karet lebih dari 4.000 ha dan bahkan hampir tidak ditemukan lagi lebah hutan yang menghuni pohon sialang jika luasnya lebih dari 12.000 ha. Hal serupa juga terjadi pada pohon sialang yang berada pada areal HTI yang lebih dari 7.000 ha dan tidak ditemukan lebah hutan pada pohon sialang jika luasnya lebih dari 14.000 ha. Dua contoh ini saja telah dapat menjelaskan pengaruh negatif akibat dari alih fungsi hutan tersebut.
Meskipun ada beberapa studi yang menyebutkan bahwa pohon karet juga menghasilkan nektar yang merupakan salah satu pakan lebah melalui pucuk daunnya ketika gugur daun, diduga iklim mikro yang terbentuk oleh suatu hamparan tanaman karet tidak disukai oleh lebah hutan. Hal serupa terjadi pada jenis tanaman HTI yang didominasi oleh jenis Acacia mangium dan Eucalyptus sp. Beberapa hasil penelitian menjelaskan bahwa jenis A. mangium juga memiliki kemampuan yang sama dalam menghasilkan nektar sebagai pakan lebah, namun jenis ini akan ditebang untuk kebutuhan industri pulp dan kertas pada waktu umur tanaman mencapai sekitar 5 tahun sehingga terjadi perubahan iklim mikro yang drastis. Telah banyak kami temukan pohon-pohon sialang di tengah tanaman HTI yang tidak lagi dihuni atau hanya dihuni oleh sedikit lebah hutan.
Berbeda dengan A. mangium, beberapa hasil penelitian mengungkapkan bahwa Eucalyptus meskipun menghasilkan lebih banyak nektar melalui bunganya, praktek manajemen HTI yang tidak menginginkan tanaman ini berbunga menjadikan hal ini dapat memperburuk lingkungan untuk tempat hidup lebah hutan. Pembentukkan bunga merupakan salah satu perkembangbiakan alami yang dilakukan secara generatif. Beberapa hasil penelitian mengungkapkan perkembangbiakan secara generatif membutuhkan banyak energi dan sementara energi tersebut dapat digunakan untuk pertumbuhan vegetatif (seperti penambahan diameter dan tinggi batang). Oleh manajemen HTI, terkadang tanaman Eucalyptus diperlakukan agar tidak berbunga atau ditebang sebelum mereka berbunga. Kondisi seperti inilah yang terkadang membuat pohon sialang yang berada di antara kepungan HTI jenis Eucalyptus lebih parah kondisinya dibandingkan di antara kepungan HTI A. mangium.
Usaha konservasi pohon sialang telah banyak dilakukan, mulai dari peningkatan kepedulian masyarakat lokal terhadap pentingnya pohon sialang, penguatan hukum adat terhadap pembagian hasil dan penerapan denda terhadap penebang pohon sialang, dan sampai pada peningkatan kapasitas kemampuan para petani pemungut madu hutan. Hasilnya adalah mulai terlihat pada tahun 2007 dimana para petani madu hutan telah mengenal sistem panen lestari dan masyarakat sudah mulai menyadari mengenai aspek pentingnya pohon sialang. Salah satu contohnya adalah desa Gunung Sahilan yang berada di kecamatan Gunung Sahilan kabupaten Kampar, Riau yang sempat mengalami penurunan produksi madu sampai 57,6 % pada periode tahun 2000-2007 dan sekarang berhasil mengerem penurunan produksi madunya sebesar 35,9% pada rentang tahun 2007-2014. Faktor ini juga didukung oleh membaiknya harga madu seiring dengan meningkatnya kesadaran para konsumen madu untuk lebih memilih madu hutan dibanding jenis madu yang lain.
Penulis yakin bahwa hal tersebut tidaklah cukup jika untuk memperbaiki populasi lebah hutan. Perbaikan kondisi atau restorasi dan revitalisasi fungsi hutan merupakan sesuatu yang mutlak yang harus dilakukan. Kegiatan revitalisasi dan pengembalian fungsi hutan diharapkan tidak hanya mampu mengembalikan produksi madu hutan yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, tetapi juga melestarikan keberadaan berbagai jenis pohon sialang dan lebah hutan. Sebaliknya, usaha restorasi dan revitalisasi hutan justru akan berhadapan dengan banyak permasalahan, salah satunya adalah perizinan pembukaan perkebunan dan HTI yang juga memberikan kesempatan kerja yang lebih luas.