Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk menekan harga daging sapi di dalam negeri adalah dengan meluncurkan kapal khusus pengangkut ternak. Asumsinya, dengan adanya kapal khusus pengangkut ternak, biaya angkut ternak sapi bisa berkurang sehingga berdampak pada harga jual bahan pangan itu di masyarakat.
Pengoperasian kapal khusus pengangkut ternak telah direalisasikan pada akhir tahun 2015 lalu. Satu unit kapal angkut khusus ternak sapi telah diluncurkan pada tanggal 11 Desember 2015 oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.
Kapal tersebut merupakan bagian dari lima kapal khusus pengangkut ternak yang akan dibuat pemerintah hingga akhir tahun 2016 ini. Pada pelayaran pertama, kapasitas kapal sebanyak 500 ekor terisi penuh. Namun, perkembangan perjalanan kapal khusus ternak yang kedua ini, tidak berjalan mulus.
Pada pengiriman kedua yakni dari Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) ke Jakarta, kapasitas tidak terisi penuh alias sepi. Saat berangkat, kapal angkut ternak hanya membawa 100 ekor, padahal kapasitas kapal sebanyak 500 ekor. Selanjutnya, sapi itu tetap dibawa ke Surabaya, Cirebon, dan Jakarta
Ketidakmaksimal kapal pengangkut ternak dalam dalam menjalankan kegiatannya itu tentu saja merugikan negara dan masyarakat konsumen. Psalnya, operasional kapal tersebut dibiaya atau disubsidi oleh pemerintah. Selain itu, minimnya jumlah sapi yang diangkut juga akan menyebabkan pasokan sapi ke daerah yang membutuhkan menjadi berkurang sehingga bisa memicu lonjakan harga daging sapi.
Ketidakmaksimalan operasi kapal khusus pengangkut ternak ini memang sudah diduga banyak pihak sebelum kapal tersebut dioperasikan. Beberapa pihak mengakui kalau keberadaan kapal khusus ternak itu akan membuat ongkos distribusi sapi lokal menjadi lebih efisien. Namun, keberadaan kapal ternak ini bakal mubazir karena populasi sapi lokal masih belum memadai.
Terlebih jika hanya mengandalkan pasokan sapi dari satu wilayah saja. Sapi lokal di NTT akan habis bila kapal ternak terus mondar-mandir mengirim sapi ke Jakarta. Jumlah sapi di NTT pun amat terbatas, bisa-bisa kapal ternak tak mendapatkan sapi suatu saat.
Selain itu, banyak peternak sapi di NTT yang juga enggan menjual sapinya kepada pemerintah karena harga jualnya tidak menarik. Hal itu terjadi karena adanya perbedaan harga antara yang dipatok pemerintah dan yang diminta para pengusaha. Misalnya, para pengusaha sapi NTT meminta agar harga sapi sebesar Rp 34.000 per kilogram timbang hidup di Karantina dan Rp 41.000-Rp 42.000 per kilogram timbang hidup sampai di Jakarta.
Sedangkan pemerintah hanya mematok harga murah yakni sebesar Rp 31.000 – Rp 32.000 per kilogram di Karantina dan Rp 35.000 per kilogram sampai di Jakarta. Dengan harga tawaran itu, pengusaha sapi memilih tidak menjual sapi ke pemerintah.
Dengan melihat kondisi yang ada, maka pemerintah perlu mengambil terobosan jitu agar operasional kapal khusus pengangkut ternak bisa berdampakpositif. Kapal tersebt tidak boleh hanya terpaku melayani satu wilayah saja. Selain itu, pemerintah juga harus memperhitungan dengan baik harga pembelian dari peternak sapi.