Paket kebijakan ekonomi yang digulirkan pemerintah kembali diprotes ketika bergesekan dengan kepentingan petani kecil. Bukannya melindungi, liberalisasi yang dilakukan pemerintah itu dikhawatirkan juga bisa melahirkan para pemburu rente. Itulah yang diprotes keras petani cengkeh.
Berapa sebetulnya kebutuhan cengkeh di dalam negeri? Ternyata, tidak mudah menjawabnya. Yang jelas, produksi cengkeh dalam negeri dalam lima tahun terakhir (2011-2015) terus meningkat. Data statistik Ditjen Perkebunan, Kementerian Pertanian mempelihatkan, produksi tahun 2011 sebesar 72.207 ton, meningkat jadi 111.516 ton tahun lalu (perkiraan) atau naik separuh lebih (54,4%).
Dari produksi itu, industri rokok dalam negeri adalah pembeli utama, kalau bukan penyerap habis. Menurut Sekjen Asosiasi Petani Cengkeh Indonesia (APCI), I Ketut Budhiman, industri rokok menyerap 93% produksi cengkeh nasional. Hebatnya, berapapun produksi cengkeh petani, pasti diserap oleh mereka. Sejauh ini, hanya tahun 2011 ketika produksi cengkeh mencapai 72.207 ton saja impor skala besar terjadi, yakni 14.979 ton. Kondisi ini terjadi karena ada anomali cuaca hingga produksi lokal menurun. Namun demikian, ekspor juga terjadi, bahkan stabil di kisaran 5.000-6.000 ton sampai 2014.
Dengan keragaan demikian, tidak aneh petani cengkeh protes keras ketika paket kebijakan ekonomi pemerintah mendadak melonggarkan impor cengkeh lewat Permendag No. 75/M-DAG/9/2015 yang mencabut SK Menperindag No. 528/MPP/Kep/7/2002. Impor cengkeh kini tak perlu lagi rekomendasi dan importir umum boleh melakukannya.
Belakangan, Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) — penyerap terbesar cengkeh — juga mengakui perlu adanya pengaturan keseimbangan antara pasokan dan kebutuhan cengkeh dalam negeri. Bahkan, Ketua Umum GAPPRI, Ismanu Sumiran mengaku kualitas cengkeh impor lebih baik dibanding cengkeh lokal. Cengkeh impor biasanya dari Zanzibar, Madagaskar atau India.
Pelonggaran aturan ini yang dinilai Ketut berbahaya. Karena siapa saja bisa mengimpor, maka dia khawatir pedagang spekulan bermunculan. Karena importir umum, mereka bisa bebas impor dan melepasnya di dalam negeri dengan harga lebih murah. “Akan muncul pemburu rente yang merugikan petani dan juga industri,” papar Ketut.
Itu sebabnya, dia menyambut baik ketika Presiden Joko Widodo menjawab surat protes petani dengan membahas pembebasan impor cengkeh di Istana, Kamis (14/1/2016). Meski belum ada keputusan pencabutan Permendag 75/2015, namun peserta rapat yang difasilitasi Sekretaris Kabinet ini menyepakati perlunya perlindungan bagi petani cengkeh. “Mudah-mudahan impor kembali diatur lebih ketat,” kata Ketut. AI