Pintu Impor Dibuka, Meski Produk Cukup

HARGA CENGKEH KEMBALI TURUN

Kebijakan Kementerian Perdagangan mengeluarkan aturan baru yang memberikan kemudahan dalam kegiatan impor cengkeh sebagai implementasi dari paket deregulasi dan debirokratisasi yang diluncurkan pemerintah, menuai protes dari kalangan petani.

Protes itu muncul setelah Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong mengeluarkan Permendag Nomor 75/M-DAG/9/2015 tentang Pencabutan atas Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 528/MPP/Kep/7/2002 Tentang Ketentuan Impor Cengkeh. Melalui Permendag itu, importasi cengkeh menjadi lebih mudah lagi.

Ketika memberikan penjelasan terhadap penerbitan Permendag Nomor 75/M-DAG-7/2015 dan sejumlah aturan baru sebagai implementasi dari paket deregulasi dan debirokratisasi, Menteri Perdagangan Thomas Lembong menyatakan, paket deregulasi dan debirokratisasi sektor perdagangan bertujuan untuk menyederhanakan proses perizinan dan peraturan sehingga dapat mengurangi beban administrasi dan perizinan yang sulit bagi para pelaku usaha.

“Selain itu, juga sebagai pengaturan impor strategis dan produktif yang dapat menunjang industri ekspor dalam negeri,” jelasnya.

Mendag juga menyatakan, cengkeh menjadi  salah satu  ilustrasi bahwa Indonesia sudah memiliki kelas dunia. Menurutnya, bisa dibilang bahwa Indonesia telah swasembada cengkeh.

Dia juga cukup yakin bahwa rokok kretek Indonesia merupakan yang terbesar di dunia. Tetapi, mungkin kadang-kadang ada kejadian-kejadian seperti musim kemarau yang bisa merusak panen cengkeh, sehingga membuat produksi berkurang.

Atau jika pelaku usaha ingin bereskperimen terhadap produk dengan menggunakan cengkeh impor unik yang hanya bisa didapatkan di daerah tertentu. Maka pembatasan impor justru akan menghambat perkembangan industri dalam negeri.

“Apakah pemerintah harus hadir di situ? Kita bisa serahkan kepada pelaku usaha. Saya yakin kedewasaan pelaku usaha. Dengan mengatur malah akan bikin berantakan,” ujarnya.

Protes

Walaupun begitu, kebijakan ini langsung saja memunculkan akri protes dari petani cengkeh. Mereka menilai Permendag Nomor 75 itu merugikan para petani cengkeh di dalam negeri karena memberikan keleluasaan bagi importir untuk memasukkan cengkeh dari luar negeri.

Para petani khawatir kalau penerbitan Permendag baru itu akan menyebabkan pelaku industri pengguna cengkeh di dalam negeri lebih memilih impor ketimbang membeli cengkeh petani lokal. Terlebih jika harga cengkeh internasional bisa lebih murah ketimbang harga cengkeh lokal.

Kekhawatiran petani cengkeh terhadap pembebasan impor cengkeh itu diakui oleh Sesditjen Industri Agro Kementerian Perindustrian, Enny Ratnaningtyas. Pasalnya, selama ini, melalui SK Memperindag No. 528, impor cengkeh bisa dilakukan setelah adanya rekomendasi dari Dirjen Industri Agro, Kementerian Perindustrian.

Dalam SK Menperindag No. 528, pihak yang diperbolehkan melakukan impor cengkeh adalah industri pengguna cengkeh pemilik angka pengenal importir produsen (API-P) atau angka pengenal importir terbatas (API-T) — yang disetujui untuk mengimpor cengkeh yang diperlukan semata-mata untuk proses produksinya.

Untuk bisa melakukan impor, importir juga harus mendapatkan persetujuan impor yang dikeluarkan Dirjen PLN berdasarkan rekomendasi Dirjen IKAH dan sesuai dengan persetujuan Menteri Perindustrian dan Perdagangan.

Selain itu, importir cengkeh yang mendapat persetujuan impor wajib menyampaikan laporan realisasi impor secara tertulis kepada Dirjen PLN dengan tembusan kepada Dirjen IKAH dan Dirjen PDN.

Enny mengakui, sebelum diterbitkannya Permendag 75, pihak Kementerian Perindustrian telah dimintai pendapatnya mengenai akan adanya perubahan aturan tersebut.

Karena semangatnya adalah memudahkan kegiatan usaha sehingga tidak perlu lagi adanya rekomendasi dalam kegiatan impor cengkeh dan Kemenperin sendiri menyetujui kebijakan baru itu.

Apalagi, setelah tahun 2012 tidak ada kegiatan impor cengkeh yang dilakukan industri pengguna cengkeh di dalam negeri karena kebutuhan cengkeh telah dipenuhi oleh pasokan dari dalam negeri. “Selain itu, harga cengkeh lokal dan cengkeh impor juga saat ini tidak jauh berbeda,” ujar Enny.

Setuju

Kegiatan impor cengkeh juga tidak pernah terjadi sejak 2002 hingga tahun 2011. Cengkeh produksi dalam negeri mampu memenuhi kebutuhan industri untuk produksi rokok, kosmetik dan lainnya

Namun, di akhir 2011, impor cengkeh dilakukan karena saat itu terjadi anomali cuaca sehingga produksi cengkeh di dalam negeri nyaris tidak ada, sehingga industri penguna cengkeh di dalam negeri kekurangan pasokan.

“Dengan asumsi-asumsi di atas, akhirnya pihak Kemenperin menyetujui dihapusnya persyaratan adanya rekomendasi dalam kegiatan impor cengkeh,” papar Enny.

Terkait adanya penolakan dari petani cengkeh, Plt Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Karyanto Suprih menegaskan kalau pemerintah membuka diri untuk menampung keluhan dari pihak petani cengkeh di dalam negeri.

“Kami siap membuka diri terhadap masukan dari petani cengkeh jika mereka merasa dirugikan akibat peraturan baru yang dikeluarkan Kementerian Perdagangan,” ujarnya.

Dia menyebutkan, upaya dialog dengan petani akan melibatkan pihak istana mengingat Permendag 75 merupakan implementasi dari kebijakan deregulasi dan debirokratisasi yang ditetapkan Presiden Joko Widodo.

Kesempatan untuk menampung keberatan petani cengkeh masih terbuka lebar karena Permendag 75 belum diikuti petunjuk pelaksanaan yang komprehensif. B. Wibowo

Harus Ada Pembatasan

Keluarnya Permendag No. 75/M-DAG/9/2015 sebenarnya merupakan peluang besar bagi industri pengguna cengkeh, terutama industri rokok, untuk memasukkan cengkeh dari luar negeri. Namun, bagi Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), kebijakan tersebut bukanlah hal yang utama bagi pemenuhan kebutuhan cengkeh industri rokok.

“Bagi kami, yang terpenting adalah bagaimana terjadinya keseimbangan antara pasokan dan kebutuhan cengkeh di dalam negeri,” ujar Ketua Umum GAPPRI, Ismanu Sumiran kepada Agro Indonesia, akhir pekan lalu.

Ismanu mengakui pembebasan impor cengkeh akan menimbulkan kekhawatiran petani cengkeh di dalam negeri terhadap serbuan cengkeh impor karena non produsen pengguna cengkeh pun bisa melakukan impor. Apalagi, selama ini cengkeh menjadi andalan petani di beberapa daerah. “Kondisi ini memang membuat petani cengkeh menjadi khawatir akan adanya serbuan cengkeh impor,” jelasnya.

Sebagai jalan tengahnya, GAPPRI mengusulkan agar ada alokasi impor cengkeh yang bisa dilakukan importir selama satu tahun. Tentunya itu harus mengacu kepada berapa kebutuhan di dalam negeri dan berapa pasokan yang bisa dipenuhi oleh petani cengkeh lokal.

“Jadi, supply dan demand itu harus dilakukan secara objektif, normal dan berimbang sehingga tidak ada peluang terjadinya aksi penimbunan atau kerugian dari pihak-pihak yang terkait,” ujarnya.

Ismanu tidak memungkiri kalau ancaman anomali cuaca bisa saja mengakibatkan terjadinya penurunan pasokan cengkeh dari dalam negeri seperti yang terjadi pada tahun 2011 lalu, yang menyebabkan terjadinya impor cengkeh.

“Anomali cuaca susah ditebak, sehingga menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya penurunan produksi di dalam negeri. Apalagi, produksi cengkeh mencapai puncaknya setiap empat tahun sekali,” paparnya. Karena itu, kebijakan kemudahan impor cengkeh memang diperlukan sepanjang hal itu dilakukan secara objektif dan sesuai kebutuhan.

Ismanu sendiri mengakui saat ini GAPPRI masih mengutamakan pasokan dari petani dalam negeri walaupun dari segi penggunaan, cengkeh petani lokal masih kalah dengan cengkeh impor.

Sebagai contoh, selama ini produsen rokok membeli cengkeh petani lokal berupa cengkeh yang belum kering atau cengkeh sekali jemur. Agar bisa digunakan dalam kegiatan produksi rokok, produsen rokok terpaksa melakukan proses penjemuran kembali atau fermentasi dan cengkeh dari petani lokal baru bisa digunakan pada tahun berikutnya. Dengan kata lain, produsen harus melakukan stok selama setahun.

“Hal ini berbeda dengan cengkeh impor. Cengkeh impor adalah cengkeh yang siap digunakan untuk kegiatan produksi rokok,” tuturnya.

Adapun produsen utama cengkeh dunia saat ini adalah Zanzibar, Indonesia, Madagaskar dan India. B. Wibowo