Minta Perlindungan ke Istana

Langkah deregulasi perizinan yang diambil pemerintah ternyata tak selalu memicu respons positif. Kemunculan respons negatif salah satunya datang pada deregulasi impor cengkeh. Langkah Menteri Perdagangan Thomas Lembong yang mencabut Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Menperindag) Nomor 528/MPP/KEP/7/2002 tentang Ketentuan Impor Cengkeh lewat Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 75/M-DAG/PER/9/2015, menuai protes dari kalangan petani.

Maklum, ketentuan impor cengkeh yang baru sangat longgar. Dulu, hanya industri pengguna yang telah terdaftar dan memiliki angka pengenal impor yang bisa mengimpor cengkeh. Selain itu, impor juga baru bisa dilakukan jika ada rekomendasi dari instansi terkait.

Menurut Sekjen Asosiasi Petani Cengkeh Indonesia (APCI), I Ketut Budhiman, longgarnya ketentuan impor telah membuat petani khawatir akan membanjirnya cengkeh impor. “Jika impor banjir harga cengkeh di tingkat petani dipastikan akan jatuh,” kata Ketut, Kamis (14/1/2016).

Menurut Ketut, dibukanya lebar-lebar pintu impor cengkeh sebenarnya tak diperlukan. Pasalnya, produksi cengkeh di tanah air sesungguhnya sudah mencukupi untuk kebutuhan industri. Saat ini produksi cengkeh nasional berkisar 100.000-110.000 ton/tahun.

Impor, kata Ketut, memang sempat dibuka tahun 2011. Hal itu disebabkan adanya anomali iklim di tanah air yang membuat produksi cengkeh dalam negeri anjlok. “Anomali iklim itu tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi fenomena global. Itu sebabnya, produksi cengkeh dunia juga turun. Akhirnya dari kuota impor sebesar 40.000 ton yang diberikan, hanya berhasil direalisasikan kurang dari 20.000 ton,” katanya.

Sejak tahun 2011, tak ada lagi impor yang dilakukan. Industri di tanah air pun selalu menyerap habis berapapun produksi yang dihasilkan petani. Melihat situasi tersebut, muncul kesan bahwa pelonggaran impor seharusnya tak perlu direspons negatif.

Namun, Ketut beralasan, pelonggaran impor bisa memicu pedagang spekulan karena berdasarkan ketentuan yang baru, siapapun bisa melakukan impor cengkeh. Spekulan nantinya bisa mengimpor cengkeh besar-besaran kemudian menjualnya dengan harga yang lebih murah ketimbang produksi dalam negeri. “Akan muncul pemburu rente yang merugikan petani dan juga industri,” papar Ketut.

Ketut juga mengingatkan kemungkinan melonjaknya produksi cengkeh dalam beberapa tahun mendatang. Hal ini dikarenakan banyak petani yang kembali mengelola kebun cengkehnya secara intensif setelah sempat dibiarkan terbengkalai pasca eksistensi Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) sebelum era reformasi tahun 1997. Harga cengkeh yang menarik saat ini berkisar Rp110.000-Rp130.000/kg, hingga membuat petani kembali bergairah untuk berkebun cengkeh.

“Bisa dibayangkan, saat produk dalam negeri meningkat, pemerintah mempermudah impor, tentu harga akan anjlok,” ujar Ketut.

Protes petani terhadap tataniaga cengkeh coba diseret ke Istana dengan menyurati Presiden Joko Widodo. Untungnya, Presiden menyambut surat protes tersebut. Kamis (14/1/2016) digelar rapat pembahasan ketentuan impor cengkeh di Istana Negara yang difasilitasi Sekretariat Kabinet (Sekab).

Saat itu, kata Ketut, selain pejabat Sekab hadir perwakilan dari Kementerian Koordinator bidang Perekonomian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan perwakilan petani cengkeh.

Menurut Ketut, rapat berlangsung kondusif. Semua yang hadir menyepakati perlunya perlindungan bagi petani cengkeh, meski belum memutuskan soal akhir dari Permendag No 75/M-DAG/PER/9/2015. “Mudah-mudahan impor kembali diatur lebih ketat,” kata Ketut.

Perlindungan

Diseretnya isu impor cengkeh ke istana karena dalam pandangan APCI, petani cengkeh sejatinya butuh perlindungan dari pemerintah. Ada sekitar 2 juta kepala keluarga (KK) petani yang hidupnya bergantung pada perkebunan cengkeh. “Pemerintah harus memberi perhatian karena banyak yang menjadikan perkebunan cengkeh sebagai harapan hidup,” katanya.

Ketut menyatakan, perlindungan petani cengkeh juga diperlukan untuk menghadapi isu pembatasan rokok kretek. Isu tersebut saat ini membuat petani ketar-ketir karena sekitar 93% hasil produksi cengkeh nasional diserap oleh industri rokok.

Untuk itu, Ketut berharap pemerintah tidak meratifikasi FCTC (Framework Convention on Tobacco Control). Pasalnya, ada ketentuan dalam FCTC yang membatasi rokok beraroma, termasuk yang menggunakan cengkeh. “Jadi kalao FCTC diratifikasi, cengkeh produksi petani tak ada pembelinya karena 93% cengkeh diserap industri rokok,” katanya.

Di sisi lain, Ketut juga berharap pemerintah  bisa mengalokasikan pendanaan guna penelitian dan pengembangan pemanfaatan cengkeh selain untuk rokok. Menurut Ketut, cengkeh sesungguhnya bisa dimanfaatkan sebagai pengawet makanan alami. “Hanya perlu riset yang lebih dalam,” katanya. Sugiharto

Produksi Cengkeh Nasional Relatif Stabil

Tahun 1990-an, tanaman cengkeh pernah menjadi primadona, sehingga mengundang masuk Tommy Soeharto membentuk BPPC (Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh). Monopoli pembelian dan penjualan oleh BPPC ini akhirnya membuat petani cengkah enggan merawat tanamannya, bahkan malah mengganti dengan komoditi lain.

Akibatnya, produksi cengkeh Indonesia berkurang. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan industri rokok, produksi dalam negeri tidak mampu, sehingga harus impor.

Direktur Tanaman Tahunan dan Penyegar, Ditjen Perkebunan, Kementerian Pertanian, Dwi Praptomo Sudjatmiko, mengatakan produksi cengkeh nasional relatif stabil di angka 100.000 ton/tahun.

Dia menyebutkan, produksi cengkeh tahun 2013 tercatat sebanyak 108.694 ton, tahun 2014 produksi naik sedikit menjadi 110.576 ton, tahun 2015 produksi diperkirakan mencapai 111.516 ton. “Antara produksi dan kebutuhan pabrik rokok hampir seimbang, sehingga impor relatif kecil. Bahkan, tahun 2014 kita tidak impor cengkeh sama sekali,” tegasnya kepada Agro Indonesia di Jakarta, pekan lalu.

Tahun 2013 Indonesia memang impor sebanyak 308 ton dengan nilai 3.299 dolar AS. Namun, di tahun yang sama Indonesia juga mengekspor cengkeh sebanyak 5.177 ton senilai 25.399 dolar AS. Tahun 2014 impor cengkeh tidak terjadi. Bahkan Indonesia ekspor sebanyak 6.302 ton dengan nilai 24.089 dolar AS.

Dwi mengatakan, cengkeh merupakan salah satu komoditi penting bagi Indonesia. Luas areal tanaman cengkeh tahun 2013 tercatat 501.378 hektare (ha) dengan rincian tanaman belum menghasilkan (TBM) seluas 118.803 ha, tanaman menghasilkan (TM) 313.027 ha, tanaman tidak menghasilkan dan tanaman rusak (TTM/TR) 76.547 ha.

Tahun 2014, luas areal tanaman cengkeh 502.563 ha dengan rincian TBM 112.495 ha, TM 313.721 ha dan TTM/TR 76.348 ha. Untuk tahun 2015, luas areal tercatat 503.500 ha. “Tanaman cengkeh 99% adalah kebun rakyat, sehingga produktivitasnya masih rendah, yaitu rata-rata 350 kg/ha,” katanya.

Dwi menyebutkan, mayoritas atau 90% dari produksi cengkeh nasional digunakan pabrik rokok. Pengaturan pasok dan permintaan cengkeh menjadi penting agar petani memperoleh harga yang menguntungkan dan pihak pabrik rokok dapat menjalankan perusahaannya secara ekonomis.

“Sekarang ini harga cengkeh ditingkat petani di Sulawesi Utara sekitar Rp110.000/kg. Dengan harga yang cukup baik dan stabil, petani cengkeh terdorong untuk melakukan pemeliharaan tanaman,” tegasnya.

Sentra tanaman cengkeh nasional terdapat di Provinsi Sulawesi Utara dengan luas 75.297 ha, Sulawesi Tengah (52.637 ha), Sulawesi Selatan (49.242 ha), Maluku (44.422 ha).

Sedangkan di Jawa Tengah dengan luas 41.403 ha, Jawa Timur luas tanaman cengkeh sekitar 41.069 ha, Jawa Barat luas tanamannya 32.704 ha, Aceh tercatat seluas 21.366 ha, Maluku Utara seluas 18.705 ha dan Sulawesi Tengara seluas 18.180 ha (Lihat Tabel).

Dwi mangatakan, ada tiga masalah dalam pengembangan tanaman cengkeh, yaitu produktivitas, mutu hasil dan pemasaran serta kelembagaan petani.

Masalah produktivitas tanaman cengkeh, katanya, masih rendah dengan rata-rata 350 kg/ha dari potensi sekitar 500-600 kg/ha. Rendahnya produktivitas ini disebabkan antara lain tanaman tua/rusak akibat serangan hama/penyakit, belum optimal menggunakan benih unggul, belum intensifnya pemeliharaan tanaman dan terbatasnya permodalan.

“Kalau petani masih menggunakan benih asalan tentu akan menghasilkan tanaman cengkeh dari berbagai tipe dan rentan terhadap hama,” katanya.

Terkait dengan upaya untuk mendapatkan benih cengkeh unggul, maka diperlukan sumber benih yang memenuhi syarat, seperti Blok Penghasil Tinggi (BPT) dan Pohon Induk Terpilih (PIT).

Untuk mendapatkan BPT dan PIT dilakukan seleksi yang didasarkan pada beberapa kriteria penting yang harus dipenuhi agar sumber benih cengkeh yang dihasilkan jelas asal-usul dan potensi produksinya.

Menurut dia, tahun lalu, sudah dilakukan penilaian Blok Penghasil Tinggi (BPT) dan Pohon Induk Terpilih (PIT) di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Dari penilaian ini benih yang baik untuk dikembangkan.

Sedangkan menyangkut masalah mutu hasil dan pemasaran, Dwi mengatakan mutu cengkeh nasional mutunya rendah karena persentase gagang masih cukup tinggi dan kadar minyak atsiri baru mencapai syarat untuk mutu II dan III. Sementara, rantai tataniaga belum efisien.

Pengembangan tanaman cengkeh oleh Ditjen Perkebunan, Kementerian Pertanian (Kementan) memang tidak terlalu luas. Tahun 2007, misalnya, pengembangan tanaman cengkeh hanya 275 ha yang dilakukan di dua provinsi, tiga kabupaten. Tahun 2008 naik menjadi 475 ha. Tahun 2009 pengembangan seluas 1.175 ha di 5 provinsi 7 kabupaten.

Tahun 2010, pengembangan tanaman cengkeh meningkat menjadi 2.752 ha, tahun 2011 dilakukan rehabilitasi tanaman cengkeh seluas 5.892 ha dan peremajaan 400 ha.

Tahun 2012 dilakukan rehabilitasi tanaman cengkeh seluas 2.560 ha, tahun 2013 kegiatan rehabilitasi tanaman cengkeh turun menjadi 700 ha, tahun 2014 dilakukan lagi rehabilitasi tanamanan cengkeh seluas 750 ha dan kegiatan perluasan tanaman 200 ha.

Dwi mengatakan kebijakan pemerintah dalam pengembangan tanaman cengkeh antara lain peningkatan produktivitas dan mutu hasil cengkeh. Selain itu juga pemberdayaan petani dan penguatan kelembagaan. “Yang terpenting memberikan dukungan penyediaan modal melalu kredit murah,” katanya.

Dia mengatakan, peningkatan produktivitas seperti yang dilakukan selama ini dengan intensifikasi, rehabilitasi, diversifikasi usaha dan pengembangan benih.

Sedangkan untuk pengolahan dan pemasaran hasil, membangun fasilitas sarana dan prasarana baik berupa alat pengering maupun pengolahan sederhana. “Peningkatan mutu hasil baik hasil utama maupun produk turunannya,” tegasnya. Jamalzen