Membaca Kesepakatan Global Pertama Transisi dari Bahan Bakar Fosil

Presiden COP-28 Sultan Al Jaber (tengah). Foto: Guiseppe Cacace/Getty

Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC) atau biasa disebut conference of parties (COP) — yang kali ini untuk ke-28 kalinya (COP-28) — mencetak sejarah penting mengenai transisi atau peralihan dari bahan bakar fosil. Hanya saja, kesepakatan dalam COP-28 ini dinilai kurang spesifik dan lemah secara bahasa soal pendanaan iklim, sehingga akan membatasi dampak kesepakatan itu secara keseluruhan.

KTT iklim PBB tahun ini telah usai dengan penandatangan kesepakatan global yang pertama kalinya untuk mengurangi seluruh konsumsi bahan bakar fosil. Dalam kesepakatan akhir COP-28 yang diumumkan 13 Desember 2023 setelah melalui perundingan panjang, lebih dari 200 negara sepakat untuk memulai “transisi dari bahan bakar fosil dalam sistem energi, dengan cara yang adil, teratur dan merata, mempercepat tindakan dalam dasawarsa yang kritis ini, guna mencapai net zero emisi pada tahun 2050 sesuai dengan ilmu pengetahuan.”

Meski kesepakatan itu tidak mencakup penggunaan bahasa mengenai penghapusan hidrokarbon yang diinginkan negara-negara Barat dan negara-negara kepulauan kecil, namun perjanjian akhir masih tetap lebih kuat ketimbang rancangan naskah sebelumnya, yang tidak ada kalimat sedikitpun merujuk perlunya mengurangi konsumsi bahan bakar fosil.

Perjanjian bersejarah ini juga menandai pertama kalinya negara-negara sepakat untuk beralih dari bahan bakar fosil dalam perjanjian iklim global. Namun, perjanjian tersebut tetap dikritik karena tidak cukup memenuhi kebutuhan pendanaan negara-negara berkembang, mengingat naskah terakhir tidak mencantumkan pernyataan sebelumnya yang menyerukan kepada negara-negara maju untuk membantu mendanai ambisi iklim negara-negara miskin, demikian seperti ditulis di laman intelijen geopolitik stratfor.com.

  • Sebagai bagian dari kesepakatan COP-28, negara-negara juga sepakat untuk mengurangi emisi kendaraan dan mendukung “penyebarluasan secara cepat” kendaraan rendah emisi dan nol emisi.
  • Negara-negara juga sepakat untuk meningkatkan tiga kali lipat kapasitas energi terbarukan secara global pada tahun 2030, dan mempercepat penggunaan teknologi rendah emisi dan nol emisi, termasuk tenaga nuklir, energi terbarukan, dan teknologi pemanfaatan dan penangkapan penyimpanan karbon (CCUS).
  • Selain itu, kesepakatan juga menyerukan kepada negara-negara untuk memperbarui target kontribusi yang ditetapkan secara nasional (NDC) tahun 2030 untuk mengurangi emisi sesuai dengan Perjanjian Paris 2015 pada akhir 2024.

Pernyataan atau bahasa yang membahas seputar pengurangan konsumsi bahan bakar fosil muncul setelah adanya penilaian terhadap kemajuan yang dicapai dalam mitigasi perubahan sejak Perjanjian Paris 2015 atau dikenal dengan sebutan global stocktake. Hasilnya, negara-negara belum mencapai kemajuan memadai dalam memerangi perubahan iklim. Global stocktake adalah bagian penting dari Perjanjian Paris yang digunakan untuk menilai kemajuan kolektif pada penandatangannya dalam menerapkan dan mencapai tujuan yang digariskan dalam traktat iklim 2015.

Laporan teknis dari global stocktake yang dirilis awal tahun ini menemukan bahwa ambisi iklim global “tidak berada pada jalur yang tepat” untuk mencapai tujuan Perjanjian Paris, yang membatasi pemanasan global hingga 1,50 Celsius atau 20C di atas era pra-industri. Temuan-temuan ini memberikan amunisi politik buat negara-negara Barat untuk mendorong perjanjian COP-28 memasukkan bahasa terkuat yang pernah ada mengenai penghapusan bahan bakar fosil — yang dalam perundingan ditolak negara-negara lain seperti Arab Saudi dan produsen minyak lainnya.

Inventarisasi atau stocktake tersebut juga menemukan bahwa akses negara-negara berkembang terhadap pendanaan iklim perlu ditingkatkan untuk mencapai tujuan perjanjian tersebut, di mana rancangan perjanjian COP-28 sebelumnya berupaya untuk mengatasinya dengan meminta negara-negara maju menyediakan pendanaan dan teknologi jangka panjang kepada negara-negara berkembang. Namun, pernyataan tersebut juga diringankan di tengah tekanan dari para perunding Barat, dengan teks akhir kesepakatan COP-28 malah hanya menyerukan ”peningkatan dukungan internasional.”

Dana Kerugian dan Kerusakan

Pada awal COP-28, para perunding juga menyetujui pembentukan dana kerugian dan kerusakan (loss and damage fund), yang bertujuan memberikan dukungan keuangan bagi negara-negara berkembang yang menghadapi dampak perubahan iklim. Namun, pada akhir KTT PBB, dana tersebut hanya mampu menarik kontribusi sebesar 650 juta dolar AS. Padahal, total dana yang diperlukan untuk membantu negara-negara berkembang diperkirakan mencapai miliaran dolar AS.

Ini bukan pertama kalinya negara-negara Barat mengabaikan komitmen keuangan yang konkret dan membiarkan seruan pendanaan tidak terpenuhi, karena mereka juga gagal memenuhi tujuan tahun 2009 untuk meningkatkan pendanaan iklim secara global menjadi 100 miliar dolar AS/tahun pada 2020. Kekurangan dana bukanlah hal mengagetkan mengingat untuk mencapai persetujuan pemerintah melakukan pendanaan iklim senilai miliaran dolar untuk negara lain sudah lama dianggap hal yang sulit secara politik. Hal ini terutama berlaku di Amerika Serikat, yang hanya setuju untuk menyumbang 17,5 juta dolar AS untuk dana kerugian dan kerusakan, karena mengetahui bahwa pendanaan yang lebih besar tidak akan disetujui oleh Kongres — dan khususnya, DPR yang dikuasai Partai Republik.

Perjanjian COP-28 kemungkinan juga hanya akan menghasilkan sedikit pengurangan konsumsi bahan bakar fosil secara global dibandingkan dengan penurunan yang diperkirakan sebelumnya. Itu semua akibat bahasa yang dipakai tidak jelas dan berbagai celah lainnya.

Sebelum KTT COP-28, sebagian besar perkiraan meramal konsumsi minyak dan gas alam akan mencapai puncaknya sekitar tahun 2030 dan kemudian mencapai titik tertinggi pada dekade berikutnya. Sementara itu, konsumsi batubara diperkirakan sudah mencapai puncaknya.

Namun, naskah perjanjian COP-28 hanya menyerukan negara-negara untuk mulai beralih dari bahan bakar fosil pada dasawarsa ini, tanpa memasukkan persyaratan pengurangan yang spesifik. Dengan dunia yang sudah mulai mengurangi konsumsi bahan bakar fosil, hal itu pada dasarnya bakal memungkinkan negara-negara memenuhi tujuan perjanjian COP-28 tanpa harus mengambil tindakan yang lebih agresif.

Perilaku Tidak akan Berubah

Mengingat perjanjian ini tidak mengamanatkan penghentian konsumsi hidrokarbon secara absolut, pernyataan tersebut juga tidak jelas sehingga konsumen minyak terbesar di dunia (seperti China dan India) mungkin tidak perlu mengubah perilaku mereka untuk memulai transisi dari bahan bakar fosil. Negara-negara seperti India, misalnya, dapat berargumen bahwa mereka mengurangi porsi kendaraan berbahan bakar fosil dari keseluruhan armada kendaraan (yang terus bertambah) untuk memenuhi persyaratan perjanjian.

Selain itu, naskah akhir dari kesepakatan COP-28 mencakup beberapa ketentuan yang selanjutnya akan membatasi dampak aktualnya terhadap pengurangan konsumsi bahan bakar fosil global. Misalnya, perjanjian tersebut sangat mendukung penggunaan teknologi penangkapan karbon baru sebagai cara untuk terus menggunakan bahan bakar fosil yang sekaligus mengurangi emisi.

Naskah yang ada juga menyerukan agar peralihan dari bahan bakar fosil dilakukan melalui cara yang ”adil, teratur dan merata,” yang menyiratkan bahwa negara-negara kaya harus mengurangi konsumsi bahan bakar fosil lebih cepat dibandingkan negara-negara berkembang, sehingga negara-negara berkembang dapat menunda atau bahkan memperlemah komitmen iklim konkret mereka.

Selain itu, negara-negara Barat kemungkinan besar tidak akan mengubah perilaku mereka terkait konsumsi bahan bakar fosil berdasarkan perjanjian akhir COP-23. Hal ini terjadi karena komitmen iklim yang dibuat selama KTT COP — dan semua perundingan PBB — hampir selalu lebih lemah dibandingkan dengan komitmen yang dibuat di forum yang dipimpin negara-negara Barat seperti Uni Eropa (yang menandatangani Kesepakatan Hijau UE yang ambisius pada tahun 2020) dan Kelompok 7 (yang anggotanya telah sepakat untuk melakukan dekarbonisasi secara dominan pada sektor energi mereka pada tahun 2035).

Selain itu, meningkatnya skeptisisme terhadap ilmu pengetahuan iklim dan transisi energi di kalangan politisi sayap kanan di negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat, kemungkinan besar akan mengikis dampak perjanjian COP-28, seiring berjalannya waktu — terutama jika mantan Presiden AS Donald Trump kembali memenangkan masa jabatannya pada tahun 2024, yang kemungkinan akan menyebabkan AS kembali menarik diri dari Perjanjian Paris dan perundingan iklim. AI