Oleh: Pramono Dwi Susetyo (Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan)
Salah satu kesulitan dalam membangun IKN Nusantara yang akan menjadi ibukota masa depan Indonesia di P. Kalimantan dan tepatnya di Kabupaten Kutai Kertanegara dan Penajam Paser Utara, Provinsi Kalimantan Timur adalah menjadikan IKN sebagai forest city. IKN akan dibangun dengan konsep kota pintar, kota hutan dan kota spons. Kota pintar salah satunya mencakup akses dan mobilitas. Presiden Jokowi menyebut IKN sebagai kota 10 menit (ten minutes), yang artinya kota yang untuk menempuh dari satu titik ke titik lain membutuhkan waktu sekitar 10 menit dengan 80 persen transportasi publik. Lebih jauh, presiden menginginkan agar transportasi yang ada di IKN nantinya tidak menggunakan kendaraan berbahan bakar fosil. Bisa menggunakan bahan bakar dengan energi listik atau bio nabati. Kota hutan dipilih karena IKN berlokasi diwilayah yang di dalamnya terdapat kawasan hutan dan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Dalam konsep Bappenas, IKN dibangun dan dikembangkan hanya menggunakan 20 persen kawasan lahan yang ada, sisanya akan dipertahankan sebagai kawasan hijau berupa kawasan hutan. IKN Nusantara, juga bagian dari komitmen Indonesia dalan penanggulangan perubahan iklim dengan pengurangan temperatur 2 derajat. Sementara itu, kota spons memiliki sistem perairan sirkuler yang menggabungkan arsitektur, desain tata kota, infrastruktur dan prinsip keberlanjutan.
Kenapa IKN yang akan dibangun sebagai forest city akan menghadapi banyak kesulitan dan hambatan dibandingkan dengan smart city dan spon city?. Alasannya sederhana, membangun forest city dengan luas ratusan ribu hektar membutuhkan waktu dan proses yang panjang. Secara normatif saja, proses menanam sebuah tanaman hutan dari anakan (seedling) menjadi pohon dewasa (tree) membutuhkan waktu mininimal 15 sampai 20 tahun melalui empat tahapan yakni anakan (seeding), sapihan (sapling), tiang (pole) dan pohon (tree). Apalagi, Presiden Joko Widodo, melalui Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya; menghendaki adanya forest city IKN dengan mengembalikan hutan tropika basah asli Kalimantan atau dengan kata lain menanam tanaman hutan dengan jenis endemik setempat yang didominasi oleh keluarga (family) Dipterocarpaceae (Meranti-merantian). Harapan Presiden untuk menjadikan forest city dengan jenis tanaman hutan tropika basah (humida) asli Kalimantan memang sangan ideal namun apakah logis dan masuk akal?
Tulisan berikut ini mencoba untuk menganalisis bebagai kemungkinan harapan Presiden tersebut dari aspek ekologis, silvikultur, kesiapan teknologi, strategi lanskap tata hutan dan pendanaan yang perlu disiapkan untuk mewujudkannya.
Strategi Lanskap Tata Hutan
Secara keseluruhan wilayah IKN, luasnya mencapai 256.143 hektar, yang terdiri dari tiga wilayah perencanaan yakni Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) yang merupakan bagian dari KIKN dengan luas 6.671 hektar (2,60 %), Kawasan IKN (KIKN) dengan luas wilayah 56.181 (19,34 % tidak termasuk KIPP) hektar dan Kawasan Pengembangan IKN (KP IKN) dengan luas wilayah 199.962 hektar (78,06 %) (Kompas, 24/02/2022). Eksisting Tata Guna Lahan IKN pada saat ini adalah terdiri dari hutan lindung 0 %, hutan produksi terbatas 1 %, hutan produksi yang dapat dikonversi 16 %, hutan produksi biasa 17 %, hutan konservasi 25 % dan areal penggunaan lain (APL) 41 %. Sementara itu, berdasarkan peta tutupan lahan skala 1 : 5000 tahun 2019; kawasan IKN yang masih berhutan seluas 42,31 % (hutan lahan kering 38,95 %, hutan mangrove 2,15 % dan hutan rawa gambut 1,21 %), semak belukar dan tanah kosong 13,74 %, perkebunan 29,18 %, tanaman campuran dan tegalan/ladang 8,97 %. Sisanya berupa sawah, padang rumput, pertambangan dan sebagainya dengan luasan yang relatif kecil rata- rata dibawah 1%. KLHK telah melakukan proses alih fungsi lahan hutan produksin biasa menjadi hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 41.493 hektar tahun 2019. Kawasan hutan ini yang akan menjadi KIKN melalui proses pelepasan kawasan hutan menjadi APL dan akan dilakukan atas usul otorita IKN. Tutupan hutannyapun, secara ekologis luasnya masih sangat memadai yakni 42,31 %. Sebagai kota yang mengusung konsep kota hutan (forest city) dan berbasis lingkungan yang sesedikit mungkin atau tidak ada penebangan hutan, luasan tutupan hutan 42,31 % ini dirasa belum cukup dan harus ditingkatkan lagi luasannya menjadi 70 – 80 %. Untuk itu lahan yang tidak mempunyai tutupan hutannya yang harus dihutannya kembali seluas 28 -38 persen.
Aspek Ekologis
Secara ekologis bentang alam di Provinsi Kalimantan Timur, khususnya di hutan produksi sudah tidak tersisa lagi adanya hutan alam primer tropika basah, sejak adanya izin konsesi hak pengusahaan hutan (HPH) yang dizinkan oleh pemerintah melalui peraturan pemerintah no. 21/1970 tentang hak pengusahaan hutan (HPH) dan hak pemungutan hasil hutan (HPHH). Dalam periode 1967-1980, Orde Baru Soeharto tercatat menerbitkan 519 HPH dengan luas lahan konsesi sekira 53 juta hektar. Per 1995, pemerintah tercatat telah mengeluarkan 586 HPH dengan luas keseluruhan 63 juta hektar. Provinsi yang tercatat mempunyai jumlah HPH terbanyak dan terluas adalah Kalimantar Timur, Riau dan Kalimantan Tengah. Tak kurang dari 200 HPH diterbitkan di Kalimantan Timur dengan luas areal lebih dari 10 juta hektar. Mengingat, secara geografis Kabupaten Kutai Kertanegara dan Penajam Paser Utara sangat dekat dengan Samarinda dan Balikpapan, secara otomatis tidak ada areal hutan produksi yang lepas dari perizinan HPH ini, kecuali hutan konservasi yang tersisa 25 %. Jadi tutupan hutan yang masih tersisa dengan kawasan fungsi hutan produksi seluas 17,31 % pun juga sudah bukan lagi sebagai hutan primer tropika basah dan boleh jadi sebagian telah berubah menjadi hutan tanaman industri yang telah ditanamani dengan jenis ekaliputus yang monokultur atau hutan sekunder dari jenis aslinya.
Hutan alam tropika basah di Kalimantan yang terbentuk melalui proses ratusan tahun untuk menjadi klimaks (establish ecosystem), sesungguhnya merupakan ekosistem yang fragile (mudah rusak), apabila dieksploitasi kayunya seperti melalui konsesi HPH ini. Tanahnya yang pada umumnya adalah berjenis podzolik merah kuning (PMK) yang merupakan tanah yang relatif mempunyai kesuburan rendah. Dengan dibukanya hutan alam primer tropika basah di Kalimantah Timur ini, apalagi doiganti dengan hutan tanaman indisutri dengan jenis eksotik seperti ekaliptus, otomatis akan merubah ekosistem bentang alam dan juga akan mempercepat penurunan kesuburan tanahnya.
Sementara itu, untuk lahan yang tidak mempunyai tutupan hutan dan akan masuk dalam rehabilitasi untuk forest city seluas 28 -38 persen, terdiri dari semak belukar dan tanah kosong, padang rumput, bekas pertambangan dan perkebunan yang secara ekologis berubah total ekosistemnya dari aslinya, tantangan untuk menjadikan hutan alam tropika asli Kalimantan akan lebih berat lagi tantangannya.
Aspek Silvikultur
Sudah bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa hingga saat ini, teknik silvikultur pengembangan jenis-jenis tanaman hutan tropika basah khususnya family Dipterocarpaceae beluim dikuasai sepenuhnya oleh ahli-ahli kehutanan khususnya ahli silvikultur baik di Indonesia apalagi didunia. Pasalnya biji/benih jenis family Dipterocarpaceae merupakan benih/biji yang tergolong dalam jenis yang tidak dapat disimpan lama dan cepat berkecambah (rekalsitran). Bahkan pada jenis-jenis tertentu biji/benih ini sudah berkecambah saat jatuh ketanah. Lain halnya dengan jenis tanaman hutan yang telah dikuasi silvikulturnya sejak zaman colonial dulu seperti jati, pinus dan seterusnya adalah jenis tanaman yang mempunyai benih yang dapat disimpan lama (ortodoks). Jadi masuk akal apabila jenis tanaman hutan yang digunakan untuk hutan tanaman indusdtri adalah jenis ekosotik (bukan jenis lokal/endemik) yang cepat tumbuh dan pionir seperti ekaliputus, acasia, agathis dan seterusnya. Karakteristik lain yang menjadi faktor penghambat jenis-jenis endemik ini, disamping pertumbuhannya sangat lambat, juga merupakan jenis tanaman hutan yang intoleran yang butuh naungan.
Meskipun pemerintah (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan/KLHK) sudah menyiapkan lahan seluas 16 hektar untuk pembangunan persemaian Mentawir yang akan menyediakan 15 juta pohon setiap tahun, sudah dapat dipastikan bahwa bibit-bibit yang disiapkan tersebut merupakan anakan yang diambil dari bawah pohon endemik tersebut dan dipindahkan dalam polybag. Masalah lain dipersemaian Mentawir ini meskipun luasnya besar, sistem pengelolaan persemaiannya masih konvensional. Dalam dalam penyediaan bibit dengan jumlah yang cukup banyak dengan karakteristik jenis yang berbeda-beda seperti di Mentawir diperlukan adanya persemaian modern yang tidak saja untuk menghasilkan bibit yang berkualitas tinggi tetapi juga bibit dalam jumlah yang massal.
Salah satu ciri khas persemaian modern adalah bibit yang dihasilkan dari biji tidak menggunakan media tanah dan polybag (kantong plastik) tetapi dengan media khusus (seperti serabut kelapa, ampas tebu, dan sejenisnya) yang dicampur dengan hara tanaman yang berdosis tinggi yang dimasukkan dalam tabung-tabung plastik. Bila saat bibit siap tanam, bibit-bibit tersebut dapat langsung dicabut dari tabungnya dan yang tersisa dalah bibit dan akarnya yang menempel pada media tumbuh yang telah menyatu dengan hara tanaman. Berat bibit dari persemaian modern ini akan lebih ringan 10 kali dibanding dengan bibit dengan media tanah dan polybag. Ciri lain persemaian modern adalah kebutuhan air untuk tanaman tidak akan pernah putus dan selalu tersedia sprinkle air yang selalu menyemprot setiap saat. Di samping itu, cahaya matahari yang masuk dapat diatur dengan net (jaring) khusus sesuai dengan prosentase cahaya yang dikehendaki jenis tanaman. Beberapa jenis Dipterocarpaceae merupakan jenis intoleran dari sejak anakan sudah tentu membutuhkan cahaya yang terbatas dibanding dengan jenis-jenis yang toleran. Teknologi persemaian modern ini telah dikenal di Indonesia pada saat Departemen Kehutanan bekerja dengan pemerintah Finlandia di awal tahun 90-an dengan membangun persemaian modern di beberapa daerah di Indonesia (Baca Kolom Pramono Dwi Susetyo dengan judul Persemaian Mentawir Modern tetapi Konvensional, 27/02/2023).
Klasterisasi Penanaman
Dalam konsep menanam pohon dalam suatu areal seperti kawasan IKN Nusantara, pemilihan jenis dan jumlah pohon yang ditanam tergantung dari karakteristik pohon itu sendiri, agroklimat dan fungsi kawasannya. Tidak semua bibit pohon dapat serta merta ditanam di tempat terbuka. Untuk tanaman pohon yang mempunyai karakteristik intoleran (membutuhkan cahaya yang terbatas) dalam pertumbuhannya, seperti jenis meranti, membutuhkan nauangan (pengaturan cahaya dalam pertumbuhannya). Sebaliknya untuk jenis bibit pohon yang toleran (membutuhkan cahaya penuh), sangat cocok untuk ditanam di tempat terbuka seperti jenis pionir pinus, misalnya, atau beberapa jenis pohon yang masuk dalam katagori cepat tumbuh (fast growing species).
Sebaiknya dalam penanaman jenis tanaman endemik di IKN nanti, dapat dibuat klaster sesuai dengan kondisi tutupan hutan yang ada. Terdapat tiga klaster penanaman yang dapat dilakukan sesuai dengan tingkat gradasi kesulitan yang ada yakni klaster dengan tutupan hutan sekunder, klaster tutupan hutan monokultur (bekas tanaman hutan industri) dan klaster non tutupan hutan. Dalam rehabilitasi dan penanaman hutan sekunder yang sudah ada jenis endemiknya penanaman dilakukan dengan pengayaan (enrichment planting) dengan tetap menerapkan karakteristik jenis toleran/intoleran yang membutuhkan naungan dan pencahayaan sinar matahari yang tidak berlebihan. Semetara untuk klaster tutupan hutan tanaman industri (HTI) seperti jenis ekaliptus tidak serta merta harus diganti dengan jenis endemik dengan cara menebang tanaman HTI , karena menebang pohon haram hukumnya dan sedapat mungkin dilakukan seminimal mungkin. Dalam klaster tutupan HTI ini diperlukan sentuhan intervensi teknologi misalnya rekayasa dan manipulasi ruang (space) dan lingkungan juga pengaturan cahaya. Atau dalam klaster HTI ini dapat dilakukan campuran (mix) antara jenis endemik dan eksotik dengan bobot yang lebih besar pada jenis endemik tanpa meninggal prinsip prinsip karakteristik jenis masing-masing dan dapat menjamin proses pertumbuhan secara beriringan. Klaster yang mempunyai kesulitan paling tinggi adalah klaster non tutupan hutan. Jenis endemik yang akan ditanam di lahan/kawasan ini secara murni pasti dijamin tidak akan dapat tumbuh ditempat terbuka seperti ini. Yang paling realistis adalah mencampur (mixing) antara jenis endemik dengan jenis eksotik dengan bobot fifty-fifty (50 :50). Jenis-jenis yang cepat tumbuh (fast growing species) ini juga nantinya juga dapat dijadikan sebagai pohon pelindung naungan bagi jenis ekdemik yang intoleran.
Pengetahuan silvikultur jenis endemik yang intoleran dengan tingkat gradasi prosentase cahaya masing-masing jenis mutlak diperlukan untuk menjamin keberhasilan pertumbuhannya. Prioritas penanaman harus dilakukan pada daerah KIPP dan KIKN. Sementara itu, untuk daerah KPIKN dapat dilakukan penanamannya tahap berikutnya atau secara stimultan (bersamaan) dengan KIPP dan KIKN tergantung dari kesiapan penggangaran, SDM dan sarana dan prsarana yang mendukungnya.
Pemeliharan tanaman yang terkait dengan pemupukan, penyulaman, pendangiran dan pemangkasan dan penjarangan mutlak diilakukan sampai dengan anakan/tanaman menjadi pohon dewasa., bukan dilakukan sampai tahun ketiga sebagaimana yang selama ini dilakukan oleh pemerintah.
Pendanaan
Untuk melaksanakan dan membangun forest city di IKN , tanggung jawab pendanaan mutak ditangan pemerintah. Terserah kepada pemerintah skema yang akan digunakan, apakah dari APBN, dana DR, pajak karbon (bila sudah berlaku pada 2025) atau mengajak pihak swasta dengan skema Public-Private Partnership. Meski dapat melibatkan masyarakat dalam menanam pohon endemik ini, namun pemerintah jangan terlalu berharap banyak kepada mereka karena intervensi teknologi mutak diperlukan dan itu tidak dapat dikerjakan oleh masyarakat sendiri. Standar biaya pembuatan persemaian dan penanaman untuk kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) yang biasa diterbitkan oleh KLHK setiap tahunnya tidak berlaku dalam membangun forest city di IKN Nusantara, karena standar, operasi dan prosedur (SOP) nya sangat berbeda. Yang jelas untuk kegiatan pembuatan persemaian dan penanaman untuk membangun forest city IKN Nusantara jauh berlipatkali dibandingkan dengan standar biaya yang biasa dilakukan.
Kesimpulan
Membangun forest city di IKN Nusantara dengan jenis-jenis endemik memang logis dilakukan ditempat asalnya tumbuh, namun tidak masuk akal apabila dipaksakan harus berhasil dalam jangka waktu yang cepat 16-20 tahun sebagaimana jenis yang ekosotik yang cepat tumbuh. Minimal satu generasi (60 tahun) baru dapat disebut berhasil. Itupun dengan pemeliharaan yang intensif dan intervensi teknologi yang terus menerus yang membutuhkan biaya yang tudak sedikit. Kita tunggu saja, progres pembangunan forest city yang diharapkan banyak pihak.