Tekanan Penundaan EUDR Terus Menguat

Tekanan terhadap aturan baru Uni Eropa yang akan berlaku Desember 2024, yakni UU Deforestasi Uni Eropa (EUDR), terus berdatangan.

Sejumlah negara produsen komoditi baru-baru ini mempertanyakan keakuratan dan definisi yang digunakan dalam pemetaan yang dilakukan untuk penegakan EUDR oleh European Observatory (Observatorium Eropa). Pasalnya, peta itu digunakan untuk mengidentifikasi kawasan hutan yang mengalami deforestasi maupun degradasi.

Seperti diketahui, UEDR akan berlaku efektif mulai 31 Desember 2024. Berdasarkan aturan ini, maka tujuh komoditi, termasuk kayu, yang diimpor ke blok ekonomi 27 negara Eropa ini harus melakukan uji tuntas guna menjamin tak ada sepotong kayu pun maupun enam komoditi lainnya (karet, minyak sawit, kakao, kedele, daging sapi, dan kopi) — komoditi hutan dan berisiko lingkungan (FERCs) — yang masuk ke pasar UE maupun dieskpor dari UE terkait dengan deforestasi dan degradasi hutan yang terjadi sejak tahun 2020.

EUDR juga menetapkan aturan bahwa pelaku usaha harus memberikan koordinat geolokasi lahan asal komoditi itu. EUDR akan diperluas pemberlakuannya untuk perusahaan kecil dan menengah (UKM) enam bulan berselang.

Australia dan Brasil

Tuntutan penundaan pemberlakuan EUDR belakangan ini makin kencang disuarakan Australia dan Brasil, demikian menurut laporan Financial Times (FT). Keberatan terbaru mereka adalah soal pemetaan yang dilakukan oleh Observatorium Eropa dalam mengidentifikasi lahan hutan terdeforestasi maupun lahan hutan yang terdegradasi, yang akan jadi salah satu pilar penegakan hukum EUDR, tidak bisa dianggap sebagai sesuatu yang pasti (definitif).

“Peta UE bukanlah sumber kebenaran tunggal, namun hanya sebagai salah satu sumber informasi buat operator UE dan pihak berwenang yang kompeten untuk menentukan apakah deforestasi telah terjadi,” ujar jubir Kedubes Australia di Brussels kepada FT.

Australia sendiri menunjukkan adanya perbedaan antara peta Hutan Australia 2023 dengan peta Observatorium Eropa karena mereka menggunakan definisi yang berbeda mengenai kawasan hutan.

Baca pula:- Uni Eropa Tunda Klasifikasi dalam EUDR

UE Menolak Tekanan Penundaan EUDR

Duta Besar Brasil untuk UE, Pedro Miguel da Costa, juga mengangkat masalah ini. Menurutnya, sektor swasta Brasil telah mengidentifikasi beberapa kasus perkebunan coklat, kopi serta kesalahan identifikasi pohon sebagai hutan dalam pemetaan Observatorium Eropa. Kanada dan Kolombia juga mempertanyakan validitas pemetaan tersebut.

“Operator dan pihak berwenang Uni Eropa seharusnya bekerja sama dengan pemerintah produsen komoditi untuk menggunakan sistem pemantauan lokal yang tingkat presisinya jauh lebih tinggi,” ujar Da Costa e Silva kepada FT. Dia menambahkan, Brasil memiliki sistem pamantauan “canggih” yang bisa digunakan gratis. Dia juga menambahkan, UE memberlakukan standar dan norma Eropa kepada negara lain tanpa bekerja sama dan negara-negara produsen harus mengeluarkan dana jutaan euro demi sistem kepatuhan sektor swasta.

Bahkan, Institut Studi Hidrologi, Meteorologi dan Lingkungan Kolombia mengatakan, pemetaan deforestasi mereka mirip dengan yang dilakukan UE, namun definisi deforestasi Uni Eropa “juga akan mencakup wilayah yang tidak dianggap sebagai deforestasi di Kolombia, misalnya konversi wilayah vegetasi sekunder”.

Pihak Kedubes Australia di Brussels juga menyoroti perlunya klarifikasi dari UE mengenai apa yang dimaksud dengan “penggunaan lahan yang sebagian besar untuk pertanian” dalam EUDR. Australia, katanya, telah meminta penundaan pemberlakuan EUDR “sampai semua pengaturan yang diperlukan bisa dipahami dan diberlakukan secara efektif”, seraya menambahkan bahwa beberapa negara UE sendiri belum menunjuk Otoritas Berwenang yang Kompeten untuk mengawasi peraturan baru tersebut.

Mengenai masalah pemetaan, Komisi Eropa menegaskan bahwa peta Observatorium Eropa adalah “alat untuk membantu perusahaan memastikan kepatuhan”. Informasi itu tidak bersifat wajib, dan informasi lain yang “lebih mendalam atau detil” bisa dipakai sebagai pedoman.

Tantangan Industri Kopi Afrika

Sementara dalam sebuah artikel The Economist berjudul “Bagaimana perilaku baik UE membahayakan petani kecil Afrika” dipaparkan tantangan yang ditimbulkan EUDR terhadap industri kopi Afrika. Laporan itu mengutip perwakilan dari industri kopi Ethiopia dan Uganda, yang mengaku harus berjuang keras dan kesulitan untuk memberikan koordinat geolokasi jutaan bidang tanah tempat kopi ditanam yang hasilnya dipasarkan ke UE. Yang membuat masalah jadi makin rumit adalah, rantai pasok kopi dan kakao Afrika sangat kompleks, di mana biji kopi dikumpulkan dan dioplos dari beragam sumber.

Enveritas, ahli dalam masalah jaminan kelestarian, mengusulkan pendekatan alternatif, yakni menggunakan citra satelit untuk mengidentifikasi kawasan-kawasan yang pepohonannya telah ditebang, tanpa mewajibkan koordinat geolokasi pada setiap lahan pertanian. Ethiopia dan Uganda, menurut Economist, mendukung model tersebut. Pertanyaannya adalah, apakah UE mau menerima model itu?

Ketidakpuasan Internal UE

Sementara FT dalam laporannya mengatakan, Komisaris Lingkungan Hidup Eropa saat itu, Virginijus Sinkevičius mengatakan tidak ada rencana penundaan pemberlakuan EUDR. Namun, dia kemudian mengundurkan diri dan masuk jadi anggota Parlemen Eropa. Jabatannya itu kemudian dipegang sementara oleh Maroš Šefčovič, Wakil Presiden Eksekutif Komisi Eropa untuk Kesepakatan Hijau Eropa.

Dalam artikel FT lainnya, Koresponden Perdagangan Senior Alan Beattie mengatakan bahwa ‘kejengkelan’ terhadap EUDR di dalam Komisi Eropa ‘kini sudah terungkap’. Laporan tersebut mengutip pernyataan Sabine Weyand, direktur jenderal direktorat perdagangan, yang mengatakan “Saya pikir kita harus mengakui bahwa kita telah menyingkirkan sejumlah mitra yang kita butuhkan melalui peningkatan penggunaan langkah-langkah perdagangan otonom. Kita semakin sering mendengarnya melalui langkah-langkah seperti aturan deforestasi.”

Dia menyarankan perlunya perluasan dukungan terhadap UE di negara-negara berkembang, antara lain melalui “Gerbang Global” UE, yakni strategi untuk meningkatkan investasi, terutama demi transisi iklim dan khususnya di Afrika.

Artikel itu juga mengutip Odrek Rwabwogo, penasehat perdagangan senior presiden Uganda. Dia mendesak perlunya dukungan yang lebih besar kepada Uganda untuk meningkatkan rantai nilai ke industri pengolahan lebih lanjut, ketimbang hanya sekadar mengekspor komoditi mentah. Misalnya perbesar produksi kopi sangrai di dalam negeri ketimbang menggunakan lebih banyak lahan hanya untuk meningkatkan produksi biji kopi ramah lingkungan (green bean) yang bernilai rendah. “(Tapi) pembicaraan kami dengan Eropa tidak berada pada tingkatan yang kami inginkan,” ujarnya. “Kami mau mereka bicara pertmubuhan, tapi mereka hanya ngomong soal kepatuhan saja.”

Artikel di FT sendiri menyimpulkan bahwa penundaan EUDR “nampaknya bijaksana.”

“Namun, UE harus menggunakan waktu (penundaan) tersebut tidak hanya untuk mengatasi hambatan kepatuhan, tapi juga memikirkan bagaimana kebijakan iklim, perdagangan dan pembangunan dapat digabungkan menjadi strategi yang lebih koheren,” katanya. AI