Produksi Kayu Lestari Dukung Indonesia’s FOLU Net Sink

Silvikultur intensif

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terus memastikan penegakan aspek kelestarian dalam produksi hasil hutan kayu. Selain untuk keberlanjutan usaha pemanfaatan hutan, kebijakan itu juga untuk mendukung tercapainya agenda Indonesia’s FOLU Net Sink 2030.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari KLHK, produksi kayu bulat di Indonesia hingga Agustus 2022 mencapai 29,8 juta m3. Sebagian besar produksi tersebut bersumber dari hutan tanaman dengan produksi mencapai 24,9 juta m3. Sementara produksi kayu dari hutan alam sebanyak 3,3 juta m3 dan ditambah oleh sumber-sumber produksi legal lainnya.

Direktur Pengendalian Usaha Pemanfaatan Hutan (PUPH) KLHK, Khairi Wenda memproyeksikan produksi kayu bulat setidaknya akan menyamai tahun lalu yang mencapai 55,55 juta m3.

“Produksi kayu bulat itu bisa memenuhi kebutuhan industri pengolahan, sehingga ekspor tumbuh, ekonomi bergerak dan lapangan kerja terbuka,” katanya di Jakarta, Jumat (23/9/2022).

Khairi Wenda

Wenda menjelaskan, banyak faktor yang ikut mempengaruhi produksi kayu bulat tahun ini. Di antaranya soal cuaca yang relatif basah dengan hujan hampir sepanjang tahun. Hal ini membuat perusahaan pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) kesulitan melakukan aktivitas pemanenan dan pengangkutan hasil hutan kayu.

Di sisi lain, konflik yang terjadi antara Rusia dan Ukraina ikut mempengaruhi pasar produk kayu global yang berdampak pada volatilitas harga log di tanah air. Menurut Wenda, situasi tersebut ikut mempengaruhi produksi kayu bulat di tanah air. Meski demikian, dia tetap optimis kinerja produksi hasil hutan kayu tetap bisa stabil hingga akhir tahun nanti.

Pelayanan Perizinan

Untuk memastikan produksi kayu bulat sesuai dengan proyeksi, Wenda menjelaskan pihaknya memberikan pelayanan perizinan sesuai dengan ketentuan. Selain itu, sejumlah kemudahan juga diberikan kepada perusahaan pemegang PBPH.

Misalnya saja soal pengesahan Rencana Kerja Tahunan (RKT) secara self approval. Dalam prosesnya, layanan yang diberikan kepada pemegang PBPH menggunakan sistem informasi yang memudahkan dan meningkatkan efisiensi.

“Di era yang serba terbuka dan transparan seperti saat ini, semua perizinan menggunakan sistem informasi, sehingga efisien dan menghindari adanya biaya tinggi,” tandas Wenda.

Meski memberi banyak kemudahan, namun pemegang PBPH diingatkan untuk selalu bekerja sesuai dengan prinsip pengelolaan hutan lestari. Dia mengatakan, perusahaan PBPH harus mengikuti ketentuan yang diatur oleh pemerintah c.q. KLHK.

Menurut Wenda, jika perusahaan PBPH tidak mengikuti ketentuan, KLHK tidak segan untuk memberi sanksi. “Tujuan dari regulasi yang dibuat adalah agar pengelolaan hutan lestari dalam pengelolaan PBPH bisa dilaksanakan,” katanya.

KLHK sudah membuktikan keseriusan pemberian sanksi bagi yang melanggar. Salah satunya adalah lewat Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No SK.01 tahun 2022 tentang Pencabutan Izin Konsesi Kawasan Hutan pada 5 Januari 2022. Berdasarkan ketentuan tersebut, ada sejumlah PBPH yang dicabut dan ada juga yang dievaluasi.

“Adanya SK itu menunjukkan KLHK tidak ragu untuk menjatuhkan sanksi jika ada PBPH yang tidak mengikuti regulasi,” tegas Wenda.

Wenda menekankan, penegakkan regulasi dilakukan KLHK untuk memastikan aspek pengelolaan hutan lestari diterapkan oleh PBPH. Apalagi, kini ada agenda besar Indonesia’s FOLU Net Sink 2030.

“Pengelolaan hutan lestari oleh PBPH menjadi salah satu pilar untuk melaksanakan agenda Indonesia’s FOLU Net Sink 2030,” kata Wenda.

Indonesia’s FOLU Net Sink adalah kondisi di mana tingkat serapan emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya (forestry and other land use/FOLU) pada tahun 2030 akan seimbang atau bahkan lebih tinggi dari tingkat emisi.

Berdasarkan dokumen Rencana Operasional Indonesia’s FOLU Net Sink, tingkat emisi GRK dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan ditargetkan minus 140 juta ton CO2e pada tahun 2030.

Multiusaha Kehutanan

Wenda menjelaskan, untuk mendukung agenda Indonesia’s FOLU Net Sink, PBPH didorong untuk mengimplementasikan multiusaha kehutanan. Ini berarti bisnis PBPH diarahkan untuk tidak hanya fokus pada kayu, melainkan mengoptimalkan seluruh potensi yang ada.

“PBPH bisa memanfaatkan potensi hasil hutan non kayu melalui kegiatan agroforestri juga bisa memanfaatkan jasa lingkungan dan wisata,” kata Wenda.

Kegiatan agroforestri yang dijalankan misalnya pengembangan sagu, silvopastura, silvofishery, atau potensi agroforestri lainnya. Pemegang PBPH sudah tidak perlu lagi mengajukan izin baru seperti sudah diatur dalam Undang-undang Cipta Kerja dan peraturan pelaksananya.

Sementara pemanfaatan hasil hutan kayu tetap bisa dijalankan dengan aktvitas yang sejalan dengan agenda Indonesia’s FOLU Net Sink. Aktivitas pemanfaatan kayu itu misalnya implementasi Reduced Impact Logging (RIL)-Carbon, lalu silvikultur intensif (Silin), pengembangan hutan tanaman, dan restorasi dan rehabilitasi gambut.

Wenda mengatakan, untuk mendukung implementasi multiusaha kehutanan, perusahaan pemegang PBPH sudah diinstruksikan untuk mengubah dokumen Rencana Kerja Usaha (RKU)-nya. “Dengan multiusaha kehutanan, maka prduktivitas hutan yang dikelola PBPH akan meningkat sekaligus mendukung agenda Indonesia’s FOLU Net Sink,” katanya. *** Sugiharto

Promosi Kayu untuk Peningkatan PNBP Kehutanan

Produksi hasil hutan kayu berdampak langsung pada penerimaan negara melalui Dana Reboisasi (DR) dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) yang dibayarkan dari perusahaan pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH).

Untuk tahun ini, sampai Agustus, nilai DR dan PSDH yang telah diterima pemerintah mencapai Rp558,6 miliar dan 46,5 juta dolar AS. Penerimaan ini secara tren cukup stabil, di mana pada tahun lalu secara total penerimaan DR dan PSDH sebesar Rp1,26 triliun dan 116,79 juta dolar AS.

Direktur Iuran dan Penatausahaan Hasil Hutan KLHK, Ade Mukadi menjelaskan, kondisi setoran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari pemanfaatan kayu dipengaruhi produksi kayu dan permintaan di pasar Internasional.

“Penerimaan PNBP diproyeksikan akan mengalami peningkatan mulai November nanti jika cuaca mendukung untuk produksi dan pasar Interasional stabil,” kata Ade, Jumat (23/9/2022).

Ade menjelaskan, ada beberapa strategi yang sedang dilaksanakan untuk meningkatkan PNBP. Salah satunya adalah dengan memperkenalkan kayu komersial dari jenis-jenis kurang terkenal (lesser known species) ke konsumen.

“Saat ini pasar masih terlalu fokus pada kayu jenis meranti, merbau, atau yang sudah terkenal sebelumnya. Kita perlu kenalkan jenis-jenis lain yang sesungguhnya potensial dan juga memiliki kualitas yang tidak kalah,” kata Ade.

Ade Mukadi

Untuk peningkatan PNBP, KLHK saat ini juga sedang menggodok perubahan Peraturan Pemerintah (PP) No. 12 tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif PNBP yang Berlaku pada Kementerian Kehutanan. Nantinya akan ada penyesuaian tarif terhadapkayu bulat yang dikenakan PNBP.

Revisi PP itu juga akan mengubah mata uang yang digunakan untuk pembayaraan DR dari dolar AS ke Rupiah. *** Sugiharto