Membangun Hutan Tanaman Bersama Masyarakat

Mengubah Ancaman Menjadi Peluang

Tumpangsari di kawasan hutan
Endro Siswoko

Oleh: Endro Siswoko (Praktisi Kehutanan)

Pandemi Covid-19, benar-benar merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.  Menjadi petaka bagi dunia usaha dan mengakibatkan PHK dan kerawanan sosial lainnya.  Pemerintah mesti bekerja extraordinary karena permasalahan yang diakibatkan Covid-19 memang extraordinary. Tidak bisa memakai cara-cara lama, yang biasa, tetapi musti luar biasa.  Pengangguran akibat PHK, tentu harus dicarikan solusi.  BLT bersifat sementara, sekadar meringankan beban sesaat, tapi tidak berjangka panjang, padahal kita belum tahu kapan akhir pandemi.

Keterbatasan lapangan kerja dan meningkatnya pengangguran akibat PHK, akan meningkatkan potensi serbuan ke kawasan hutan, baik yang telah dibebani perizinan melalui Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Hutan Alam (HA)/Hutan Tanaman (HT) dan Restorasi Ekosistem (RA) maupun melalui skema Pehutanan Sosial (PS) serta areal yang dikelola Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH).  Sebelum datangnya pandemi Covid-19, perambahan terjadi hampir di seluruh di areal kerja IUPHHK dengan berbagai tingkat kerawanan. Sekarang, perambahan berpotensi semakin meningkat.  Beberapa pemegang IUPHHK bahkan sudah menyerah karena tidak lagi dapat melakukan kegiatan operasional karena maraknya perambahan di areal kerjanya.

Pengusaha sebenarnya mempunyai naluri bisnis untuk selalu survive di setiap zaman dan keadaan, asalkan Regulator dapat membantu memfasilitasi ”diskresi” sehingga memudahkan kreasi dan pendekatan operasional yang lebih ramah sosial, lingkungan dan bisnis.  Jika hal ini dapat dilakukan, maka terdapat potensi besar bahwa kawasan hutan, baik dalam kelola IUPHHK maupun kelola KPH, dapat menjadi kontributor bagi penyediaan lapangan kerja baru, peningkatan pendapatan masyarakat sekitar hutan, dukungan ketahanan pangan, membantu operasionalisasi perusahaan IUPHHK serta memberikan multiplier effect.

Beberapa gagasan yang dapat dikembangkan saat ini antara lain: Penyederhanaan pola kerja sama dengan masyarakat (Kemitraan Kehutanan), pengurangan/penghapusan PNBP/PSDH komoditi pangan/kebun dari kawasan hutan, perluasan komoditi pangan/kebun, kemudahan perizinan industri dalam kawasan hutan.

Dengan demikian maka diharapkan terjadi pengembangan kegiatan Multiusaha Kehutanan, yang ramah sosial, lingkungan dan bisnis sehingga tercapai tujuan utama pengelolaan hutan yaitu Masyarakat Sejahtera dan Hutan Lestari.   Terlebih saat ini, sudah terdapat regulasi yang mendukung dilakukannya kegiatan Multiusaha Kehutanan  melalui PerMenLHK No. P.62/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2019 tentang Pembangunan HTI dan PerDirjen PHPL No P.1/PHPL/SET/KUM.1/5/2020 Tentang Tata Cara Permohonan, Penugasan dan Pelaksanaan Model Multiusaha Kehutanan Bagi Pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Produksi, yang merupakan tindak lanjut dari Kebijakan Ibu Menteri LHK yang dicanangkan pada 10 Mei 2019 Tentang Multiusaha Kehutanan sebagai Back Bone perekonomian baru sektor KLHK.

Salah satu ilustrasi bagaimana PT Inhutani V, mengelola perambahan hutan yang masif dan kondisi perusahaan yang tidak operasional, dapat kembali bangkit, beroperasi kembali dan menghasilkan keuntungan melalui pengelolaan hutan yang melibatkan masyarakat perambah hutan sebagai mitra kerja perusahaan melalui Kemitraan Kehutanan.

Mengubah Stigma Perambah Hutan menjadi Petani Hutan

Inhutani V bergerak di bidang Kehutanan. Sejak diterbitkannya PP No 73 tanggal 17 September 2014, PT. Inhutani V menjadi anak perusahaan Perum Perhutani. Wilayah kerja di Sumatera Bagian Selatan (Sumbagsel). Areal kerja di Provinsi Lampung seluas 56.547 ha.  Pada tahun 1997 areal kerja PT. Inhutani V Lampung mengalami kebakaran hutan secara masif, mengakibatkan hampir seluruh areal tanaman seluas ±40.218,53 ha (karet dan akasia), musnah terbakar. Dengan datangnya eforia reformasi pada tahun 1998, hampir seluruh areal kerja (± 85%) diokupasi masyarakat sejumlah ±12.000 Kepala Keluarga (KK) dengan prioritas penanaman tanaman semusim (singkong).

Sejak Juli 2012, Direksi PT Inhutani V yang baru, mencoba pendekatan yang berbeda, turun langsung ke lapangan menemui perambah hutan (masyarakat yang melakukan aktivitas penanaman tanaman semusim), dalam rangka resolusi konflik lahan melalui pendekatan sosial, budaya dan agama.  Selanjutnya, sebutan ”perambah hutan” diganti dengan ”petani hutan” dan diposisikan sebagai ”mitra kerja” dalam membangun hutan tanaman melalui tumpangsari maupun agroforestry.

Perubahan paradigma dengan berpikir positif yakni menganggap perambah hutan sebagai petani hutan dan mitra kerja dalam membangun hutan tanaman, memberikan efek positif pada ide-ide dan solusi berikutnya. Misalnya,  Bagaimana cara memberikan akses legal petani hutan ke areal kerja (kawasan hutan) tetapi bukan status kepemilikan,  kerja sama yang win-win solution,  bagi hasil yang proporsional sesuai kontribusi dan kesepakatan bersama, dan lain-lain.

Pada intinya pendekatan represif dengan cara pengusiran dan penggusuran menggunakan aparat keamanan sangat dihindarkan, karena penyelesaian dengan cara demikian hanya bersifat sementara.  Dengan membangun hutan tanaman melalui pola Kemitraan Kehutanan yang melibatkan masyarakat di dalan dan sekitar hutan, maka akan dicapai pembangunan hutan tanaman berkelanjutan yang ”pro poor, pro job, pro growth dan pro enviroment”

Petani hutan sesuai dengan kemampuannya (tenaga, dana), diberikan akses melakukan kegiatan penanaman tanaman semusim (singkong, jagung dan tebu) maupun tanaman pokok kehutanan (karet dan sengon) dalam areal kerja perusahaan, yakni pada areal tanaman pokok dan areal tanaman kehidupan.  Tanaman pokok karet dipilih karena dapat memberikan hasil sampingan berupa getah yang dapat dipungut sampai tanaman siap tebang pada umur 25 tahun. Sedangkan pilihan tanaman pokok sengon dipilih karena termasuk jenis fast growing spesies atau jenis cepat tumbuh, dipanen pada umur 5 tahun- 6 tahun.

Kesepakatan bersama dituangkan di dalam perjanjian kemitraan kehutanan.  Saat ini, total luas areal kemitraan petani hutan sebesar 24.846 ha (bruto), dengan anggota kemitraan sebanyak 35 Kelompok Petani Hutan atau sebanyak 5.289 KK.

Dengan adanya Kemitraan Kehutanan, petani hutan memperoleh akses areal kerja dan lapangan kerja menetap sehingga memperoleh kepastian pendapatan guna peningkatan kualitas kehidupannya (Nawacita 5).  Petani hutan juga diberikan pilihan/kesempatan menanam tebu dan jagung sebagai upaya peningkatan produktivitas lahan sekaligus bernilai jual tinggi (Nawacita 6).  Selanjutnya, dengan luasnya potensi kawasan hutan perusahaan  yang bisa dikembangkan untuk penanaman tebu maupun jagung maka upaya pencapaian swasembada gula maupun jagung sebagai pakan ternak berpeluang besar untuk dicapai (Nawacita 7).  Hal ini juga sesuai dengan keinginan Pemerintahan Oresiden Joko Widodo untuk membangun dari pinggiran dan desa.

Usulan Percepatan Pengembangan Kemitraan Kehutanan

Upaya pemenuhan pangan melalui pemanfaatan kawasan hutan dan pelibatan masyarakat setempat merupakan suatu keniscayaan.  Namun demikian ada beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian dan dukungan, agar capaiannya lebih optimal, sebagai berikut :

  1. Membangun hutan bersama masyarakat sebagai upaya Resolusi Konflik Lahan melalui Kemitraan Kehutanan bisa dilakukan karena sudah ada model nyata di lapangan. Namun demikian dalam rangka dukungan kontribusi pangan dari kawasan hutan, penanaman pangan juga bisa dikembangkan sebagai salah satu bisnis perusahaan (swakelola maupun B to B), khususnya pada lokasi yang jauh dari pemukiman (area remote).
  2. Pelaksanaan kemitraan dengan masyarakat berdasarkan P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 Tentang Perhutanan Sosial Pasal 44, harus meminta persetujuan kepada Menteri LHK. Hal ini dirasa memberatkan karena saat ini Kemitraan dengan masyarakat masih dianggap sebagai beban bukan peluang.  Pengaturan kerjasamanya juga terlalu rigid, semestinya lebih longgar sehingga memudahkan inovasi kemitraan sesuai situasi dan kondisi setempat. Tidak bisa seragam penyelesaiannya.
  3. Insentif dari Kementerian LHK maupun Kementerian Pertanian diperlukan sebagai rangsangan pelaksanaan Kemitraan Kehutanan, misalnya menjadi salah satu persyaratan PHPL terkait kepedulian sosial maupun pemberian penghargaan (award) peduli pangan.
  4. Harus ada hubungan hulu dengan hilir, sehingga hasil panenan sudah jelas pasarnya (off taker). Pembangunan industri hilir di sekitar lokasi perlu dipikirkan jika panenan berlimpah, misalnya:  indutri pakan ternak, tapioka, gula, maupun industri pengolahan kayu (sengon, karet, akasia).
  5. Penanaman tanaman semusim pada areal tanaman pokok bisa dilakukan sampai tajuk tanaman kehutanan menutup, sedangkan pada areal tanaman kehidupan bisa dilakukan selamanya. Pengaturan jenis dan sistem tanam di areal tanaman kehidupan semestinya sepenuhnya diserahkan kepada pemegang ijin karena ada perbedaan yang signifikan pengelolaan tanaman kehutanan dan tanaman semusim, misalnya tebu.
  6. Upaya penambahan luas tanaman semusim masih dimungkinkan jika penyiapan lahan dimajukan dari 1 tahun menjadi 2 tahun, sehingga memberikan kesempatan 1 tahun penuh memanfaatkan areal untuk penanaman tanaman semusim sebelum dilakukan penanaman tanaman pokok kehutanan. Diberikan pada pemegang izin yang berminat memberi kontribusi pangan  dan punya potensi lahan yang memadai.
  7. Pemerintah/Kementerian terkait, mendorong penyelesaian perambahan hutan di areal berijin melalui Kemitraan Kehutanan, sehingga Masyarakat dapat akses legal, Perusahaan pemegang ijin dapat beroperasi, Pajak (PAD, PBB dll) dan PNBP (PSDH) dapat dibayarkan, kawasan hutan dapat diselamatkan dengan adanya pengakuan melalui kerjasama kemitraan Kehutanan

 

Mengapa Multi Usaha Kehutanan

 

  • Nilai Ekonomi Riil Lahan Hutan Sangat Rendah

Estimasi nilai lahan per m2/tahun

  • Hutan Rp400
  • Sawah Rp1.500
  • Sawit Rp3.800
  • Perumahan Rp40.000
  • Hortikultura Rp48.000
  • Agroforestry? Berpotensi sangat besar (Durian, kopi, atsiri, alpukat, kelengkeng, jengkol, pete, pinang, aren, macadamia, dsb)

 

  • Persentase Areal Efektif Sangat Rendah

IUPHHK-Kegiatan hanya terfokus di blok tebangan (sesuai RKT) dan sekitarnya

  • Pasar Kayu yang Berasal Dari Hutan Alam Cenderung Menurun
  • Sebagai Alternatif Sumber PNBP selain Hasil HUtan Kayu