Keputusan pemerintah mengalokasikan impor beras 2 juta tahun sampai akhir tahun 2023 memang membingungkan. Apalagi, keputusan itu dibuat saat panen raya beras sedang berlangsung. Pada saat yang sama, pemerintah juga membuat kebijakan penyaluran bantuan sosial (bansos) beras untuk 21,3 juta kepala keluarga selama tiga bulan dan kemungkinan diperpanjang sampai Agustus.
Keputusan pemerintah membuka alokasi impor beras 2 juta ton memang mengejutkan. Meski belum tentu dilakukan semua, namun Bulog sendiri sudah siap memasukkan 500.000 ton, di mana 80.000 ton sudah masuk dan 270.000 ton dalam perjalanan.
Pada saat yang sama, petani di dalam negeri masih melakukan panen. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), potensi produksi beras pada Januari-April 2023 diperkirakan mencapai 13,79 juta ton atau mengalami kenaikan 77,39 ribu ton (0,56%) dibandingkan produksi pada periode yang sama tahun lalu sebesar 13,71 juta ton beras.
Memang, secara hitungan potensi, produksi beras pada Januari sebanyak 1,33 juta ton masih terjadi defisit sekitar 1,2 juta ton, mengingat konsumsi beras bulanan mencapai 2,53 juta ton. Namun, defisit itu tertutupi dari produksi tiga bulan berikutnya saat panen raya, yakni Februari-Maret-April dengan produksi masing-masing 3,68 juta ton, 5,27 juta ton dan 3,51 juta ton.
Hanya saja, potensi surplus sebesar 77,39 ribu ton pada Januari-April memang tidak besar. Tidak heran jika harga beras sejak awal tahun sampai kini masih tinggi dan jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang sudah diperbarui pemerintah.
Yang mengejutkan, dengan perkiraan surplus yang tipis, ditambah posisi Cadangan Beras Pemerintah (CBP) di Bulog juga tipis, pemerintah malah memutuskan melakukan penyaluran bantuan sosial (bansos) beras untuk 21,3 juta kepala keluarga (KK) di 38 provinsi. Dengan masing-masing keluarga penerima manfaat (KPM) memperoleh 10 kg, maka dalam tiga bulan atau tiga tahap penyaluran Bulog harus menguras beras di CBP sebanyak 630.000 ton.
Hal ini yang dikritik pengamat pertanian, Khudori. Dia mengaku tidak paham apa alasan persis di balik keputusan penyaluran bansos beras kali ini. Mempertahankan daya beli masyarakat, seperti yang diklaim pemerintah?
“Jika itu, idealnya bansos disalurkan saat paceklik, terutama bansos beras. Karena saat paceklik harga biasanya tinggi. Tapi ini bansos disalurkan pada saat panen raya. Ini tidak biasa dan aneh,” ujar Khudori kepada AgroIndonesia, Sabtu (6/5/2023).
Dia menduga penugasan bansos beras ke Bulog dalam rangka memperbesar penyaluran beras Bulog di hilir. Hanya saja, pengaruhnya bisa bagus, bisa juga tidak buat Bulog. Pasalnya, program ini sifatnya insidentil, bukan program rutin. “Jadi, baik buat Bulog karena makin banyak penyaluran, makin banyak kompensasi yang diperoleh Bulog. Ini penting dan strategis buat membiayai operasional Bulog,” papar Khudori.
Namun, karena insidentil, manajemen Bulog juga akan sulit mengantisipasi atau mempersiapkan secara baik. Apalagi, katanya, stok CBP Bulog juga tipis. “Pengadaan dalam negeri dari produksi petani juga tidak mudah,” tambahnya.
Itu sebabnya, Khudori menilai impor 500.000 ton dari 2 juta ton alokasi yang ada — di mana 80.000 ton sudah masuk dan 270.000 ton dalam perjalanan — bukan opsi yang tepat. Bahkan, dia menilai impor itu tidak mendesak dilakukan jika saja tidak ada penugasan bansos beras ke Bulog.
“Kita perlu impor, iya. Tapi tidak saat panen raya ini, jika tidak ada penugasan bansos,” tegas Khudori.
Yang menyedihkan, dalam kondisi penyerapan beras dalam negeri yang rendah, Presiden Jokowi malah ingin memperpanjang penugasan bansos sampai Agustus. Hal ini jelas membuat impor pun harus segera dilakukan. “Jika tidak, dari mana asal berasnya? Sampai saat ini penyerapan dalam negeri masih rendah. Dan itu pasti tidak mampu menutupi jumlah penugasan bansos.”
El Nino
Keputusan pemerintah membuka keran impor tahun ini secara matematis memang bisa dimaklumi jika melihat kondisi iklim maupun perdagangan beras internasional saat ini. Yang paling utama adalah prediksi munculnya fenomena alam El Nino. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprediksi 50%-60% fenomena El Nino berpeluang terjadi pada semester II-2023.
Bahkan, Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) mengumumkan bahwa peluang 60% terjadinya El Nino pada Mei-Juli. Probabilitas itu meningkat sampai 70%-80% antara Juli dan September. Dengan munculnya El Nino, maka curah hujan di wilayah Indonesia berkurang dan berpotensi menimbulkan kekeringan meteorologis.
Menurut pengamat ekonomi pertanian Bayu Krisnamuthi, kemarau panjang bisa terjadi akibat El Nino dan bisa berdampak buruk untuk pertanian. Bahkan, dia memperkirakan produktivitas pertanian bisa menurun antara 15%-45% di beberapa tempat jika dibandingkan dengan kondisi normal.
“Dampak dari El Nino, produktivitas bisa berkurang, antara 15%-45% di beberapa tempat. Pengalaman yang lalu, kondisi kekeringan sampai menyebabkan puso (gagal panen),” ujar Bayu dalam keterangnnya, Rabu (3/5/2023).
Dia menjelaskan, tahun ini El Nino kemungkinan akan lebih berdampak terhadap wilayah di Indonesia yang berada di selatan khatulistiwa, seperti Pulau Jawa, NTB, Bali, atau Sumatera Selatan. Wilayah tersebut merupakan sentra produksi pertanian terbesar di Indonesia.
Selain itu, El Nino kemungkinan baru akan terasa dampaknya pada hasil panen pada musim tanam kedua, yaitu setelah April atau Mei — yang saat ini tengah memasuki panen raya.
“Kalau dilihat dari laporan BMKG, Indonesia sudah masuk El Nino. Sekitar 41% daerah di Indonesia akan masuk musim kering lebih awal, sejak bulan Mei, dan 47% daerah di Indonesia akan mengalami musim kering yang lebih kering,” kata Bayu.
Menurutnya, dampak dari adanya kondisi penurunan produktivitas pertanian ini dikhawatirkan juga merembet pada harga jual produk pangan di pasar, alias inflasi. “El Nino belum masuk saja sudah ada dampaknya ke pasar. Bahkan harga beras, dibandingkan dengan tahun lalu, sudah terjadi kenaikan 20%-21%, padahal saat ini baru akan masuk El Nino,” kata Bayu.
Pada intinya, El Nino bakal mengancam sektor pertanian Indonesia. Itu sebabnya, Bayu meminta pemerintah menambah stok beras nasional.
Bayu berharap pemerintah bisa meningkatkan stok cadangan beras yang dimiliki untuk memastikan ketersediaan dan kualitas pangan yang baik, dari sisi harga maupun kualitasnya. Namun demikian, pada awal tahun 2023, berdasarkan pengamatan Bayu, Cadang Beras Pemerintah (CBP) sangat terbatas, sehingga masih cukup rentan untuk menghadapi El Nino.
“Awal tahun 2023 ini, CBP menjadi salah salah satu yang terendah dalam sejarah. Kita harus menambahkan stok di gudang-gudang kita, sehingga pemerintah memiliki stok cadangan yang cukup,” ujarnya.
Volume Perdagangan
Selain El Nino, kondisi perdagangan beras di pasar internasional juga sedikit mengkhawatirkan. Pasalnya, produksi beras mulai dari China sampai Uni Eropa diprediksi menurun dan bakal mendorong naik harga, yang akan mempengaruhi 3,5 miliar konsumennya di seluruh dunia, terutama Asia-Pasifik — yang mengkonsumsi 90% beras dunia.
Menurut Fitch Solutions, pasar beras internasional akan mengalami penurunan terbesar dalam 20 tahun, yakni 8,7 juta ton pada periode 2022-2023 atau terbesar sejak 2003-2004. Ketika pasok tak bisa memenuhi permintaan, otomatis harga akan terkerek naik.
Perang di Ukraina, serta rontoknya produksi beras Pakistan akibat banjir dan cuaca buruk menjadi penyumbang turunnya produksi beras yang diperdagangkan. “Mengingat beras adalah komoditas pangan pokok di banyak negara Asia, maka harga menjadi faktor penentu inflasi harga pangan dan ketahanan pangan, terutama untuk rumah tangga miskin,” ujar Charles Hart, analis komoditas dari Fitch Solutions seperti dikutip CNBC.
Pada semester II-2022, sawah-sawah di China, produsen beras terbesar di dunia, terendam banjir di musim panas akibat hujan deras. Menurut perusahaan analisis pertanian Gro Intelligence, akumulasi curah hujan di Provinsi Guangxi dan Guangdong, dua sentra produksi beras China, tercatat tertinggi dalam 20 tahun terakhir.
Sementara Pakistan, yang menyumbang 7,6% perdagangan beras global, juga mengalami penurunan produksi tahunan 31% akibat banjir besar tahun lalu, demikian laporan Deptan AS (USDA), yang menyebut dampak banjir itu “lebih buruk dari perkiraan awal.”
Menurunnya volume beras yang diperdagangkan juga karena “memburuknya hasil panen China yang disebabkan panas dan kekeringan yang intens, serta dampak buruk banjir di Pakistan,” ujar Hart.
Sementara Deptan AS (USDA) menyebut produksi beras global (2022-2023) ditaksir sekitar 509,4 juta ton atau turun 0,4 juta ton dari perkiraan sebelumnya dan masih 1% di bawah rekor setahun sebelumnya dan menjadi penurunan tahun ke tahun yang pertama sejak 2015-2016.
Deptan AS juga memprediksi produksi beras Indonesia menurun 1,2% dari tahun sebelumnya. Penurunan terjadi karena sedikit menurunnya perkiraan luas panen dan produktivitas. Khusus soal produktivitas, pernurunan terjadi karena berkurangnya pemupukan oleh petani. B Wibowo/Attiyah Rahma