Pengelolaan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam (IUPHHK) atau dulu populer dengan HPH, kerap diidentikan dengan perusakan hutan. Namun, implementasi praktik pembalakan berdampak rendah (Reduced Impact Logging/RIL) bisa menjawab tudingan miring tersebut.
RIL mampu mengurangi kerusakan tegakan tinggal, mengurangi kayu yang tak dimanfaatkan, mengurangi kerusakan tanah, dan mengurangi pembukaan hutan di areal produksi. Ini berarti praktik RIL bisa mendukung pencapaian target pengurangan emisi gas rumah kaca sebagai kontribusi Indonesia yang tertuang dalam Persetujuan Paris.
RIL juga bisa menjadi harapan bagi industri pengusahaan hutan yang berada di titik terendah seperti saat ini. Praktik RIL meningkatkan efisiensi sehingga bisa mendongkrak kinerja sebuah unit manajemen HPH.
Nana Suparna, penasihat Lestari, sebuah proyek untuk mendorong aksi mitigasi perubahan iklim yang didanai lembaga hibah Amerika Serikat USAID, menyatakan, hasil kajian yang dilakukan di 2 HPH yang dikelola Alas Kusuma Grup, implementasi RIL berhasil meminimalkan kerusakan areal produksi. “Kerusakan tegakan tinggal di lokasi pembalakan berkurang 18%-32%. Limbah kayu juga berhasil ditekan hingga 10%-12%,” katanya saat mendampingi Dirjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) IB Putera Parthama meninjau areal HPH PT Dwimajaya Utama di Tumbang Mangu, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah, Senin (7/8/2017).
Nana juga mengungkapkan, hasil kajian yang dilakukan oleh The Nature Conservancy (TNC), praktik RIL mampu menekan emisi gas rumah kaca (GRK) dari kegiatan pembalakan hingga 40%.
Dengan manfaat yang begitu besar dari praktik RIL untuk perbaikan pengusahaan hutan alam, layak rasanya jika praktik ini diterapkan secara luas. Sayangnya, lanjut Nana, jumlah pemegang izin HPH yang sudah mengimplementasikan RIL masih sedikit. Dari sekitar 265 unit manajemen HPH yang ada, hanya sekitar 22 yang sudah menerapkan praktik RIL. Salah satu penyebabnya adalah sebagian besar pengelola HPH masih menilai praktik RIL menaikan ongkos produksi, terutama pada proses inventarisasi tegakan.
Untuk itu, Nana menyatakan, perlu dukungan kebijakan yang tepat dari pemerintah agar implementasi RIL semakin luas. Salah satu opsi yang bisa dipertimbangkan adalah membuka keran ekspor log dari HPH yang sudah mengimplementasikan RIL. Maklum, saat ini ada anomali harga hasil hutan kayu di pasar internasional dimana log bisa lebih mahal dari beberapa jenis produk kayu olahan.
“Insentif ini bisa mendorong HPH untuk menerapkan RIL. Ini berarti akan ada perbaikan pengelolaan hutan alam sekaligus peningkatan kinerja HPH,” katanya.
Bisnis HPH belakangan memang terus lesu. Jika pada tahun 1992 terdapat 580 unit manajemen HPH dengan areal kerja 61 juta hektare, pada tahun 2016 jumlahnya tersisa 265 unit saja dengan luas areal kerja sekitar 20 juta hektare. Itupun hanya sekitar 75% yang aktif beroperasi.
Menurut Nana, bisnis HPH yang menggeliat akan mencegah terjadinya open acces pada kawasan hutan yang berarti secara langsung akan mencegah terjadi deforestasi.
Lebih Irit
Tambahan insentif dari Kementerian LHK bisa dipastikan akan semakin memperluas implementasi praktik RIL. Apalagi sejatinya, praktik RIL tak hanya meminimalkan kerusakan hutan tapi juga terbukti meningkatkan efisiensi pengelolaan HPH.
Wakil Area Manager PT Dwimajaya Utama Lasmari mengungkapkan adanya kenaikan biaya dalam praktil RIL. Namun hanya pada saat survei blok rencana kerja tahunan (RKT). Pasalnya, survey harus dilakukan 100%. Biaya survei pun naik dari sebelumnya sekitar Rp300.000/hektare menjadi sekitar Rp690.000/hektare. “Survei 100% diperlukan agar perencanaan kegiatan produksi akurat,” katanya.
Berbekal dengan perencanaan yang akurat, efisiensi produksi justru bisa meningkat. Lasmari mengungkapkan, sejak implementasi RIL produktivitas Dwimajaya Utama bisa meningkat. Hal itu terlihat dari produktivitas setiap traktor yang naik dari sebelumnya 3,9-7,7 batang/hari menjadi 11,7 batang/hari. “Atau mencapai 5,97 batang/hari,” katanya.
Dihitung volumenya, maka produksi kayu setiap traktor bisa meningkat dari 22-39,6 m3/hari menjadi 61,52 m3/hari atau naik hingga 30,7 m3/hari.
Lasmari juga mengungkapkan, efisiensi terjadi pada sarana produksi. Penggunaan BBM misalnya. Dulu pemanfaatan BBM setiap traktor mencapai 4,22 liter/m3. Pasca implementasi RIL penggunaan BBM hanya 3,26 liter/m3 atau hemat hingga 1,08 liter/m3.
“Jadi sarana produksi lebih awet dan irit,” kata Lasmari.
Demikian juga untuk penggunaan oli. Dulu penggunaan oli setiap traktor mencapai 0,12 liter/m3 maka pasca implementasi RIL, penggunaan oli hemat hingga 0,11 liter/m3 atau hanya sebanyak 0,01 liter/m3. Sementara itu untuk pemanfaatan sling baja setiap traktor, dari 0,0086 pieces/m3 menjadi 0,0014 pieces/m3 atau hemat 0,0072 pieces/m3.
Sementara itu Direktur Utama PT Dwimajaya Utama Eko Pratomo menegaskan, pihaknya merasakan manfaat efisiensi dari implementasi praktik RIL. “Dulu kami juga bertanya-tanya, tapi ternyata terjadi efisiensi dalam pembalakan,” katanya.
Dwimajaya Utama mengelola HPH seluas 127.000 hektare. Perusahaan tersebut pertama kali memperoleh izin HPH pada tahun 1971. Pengelolaan hutan di areal HPH Dwimajaya Utama sudah mencapai rotasi ketiga. Dwimajaya Utama mulai mengimplementasikan RIL sejak tahun 2012.
Eko menegaskan, selain soal efisiensi, faktor utama pihaknya mau mengimplementasikan RIL adalah komitmen untuk tetap mengelola hutan produksi secara berkelanjutan. Komitmen ini, kata dia, ada pada level pemegang saham hingga pelaksana di lapangan. “Komitmen ini yang menjadikan RIL bisa dipraktikan secara baik,” katanya. Sugiharto
Pengusahaan Hutan Dukung Pencapaian Target Pengurangan Emisi Karbon
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berencana untuk mewajibkan seluruh pemegang izin HPH untuk mengimplementasikan praktik RIL.
“Kami sedang mengkaji untuk membuat regulasi yang mewajibkan manajemen HPH untuk mengimplementasikan RIL,” kata Dirjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) KLHK IB Putera Parthama.
Dia menjelaskan, RIL sejatinya juga terbukti meningkatkan efisiensi HPH sehingga diharapkan bisa memicu perbaikan kinerja HPH dan pengelolaan hutan produksi secara umum. Sayangnya, kata Putera, belum banyak unit manajemen HPH yang sudah mengimplementasikan praktik tersebut.
Putera menyatakan, implementasi RIL mampu mendukung pencapaian target pengurangan emisi Indonesia sebesar 29% pada tahun 2020 seperti tertuang dalam dokumen kontribusi pengurangan emisi GRK yang diniatkan (NDC) terkait Persetujuan Paris. “Sebanyak 17,2% dari target pada NDC berasal dari sektor kehutanan. Pengelolaan hutan produksi berkelanjutan tentu saja sangat menentukan tercapainya target tersebut,” katanya.
Putera menyatakan, pengurangan emisi pada setiap HPH nantinya bisa dihitung untuk mendapatkan pendanaan dari kegiatan mitigasi perubahan iklim global. Ini bisa menjadi insentif dari kenaikan biaya produksi yang terjadi dengan penerapan RIL.
Lebih lanjut Putera menjelaskan, regulasi untuk mewajibkan pemegang izin HPH sedang dibahas dengan multipihak. Dia juga memastikan sosialiasi kepada publik akan dilakukan secara menyeluruh. “Ibu Menteri (Siti Nurbaya) berpesan agar setiap peraturan dikomunikasikan terlebih dulu kepada publik agar tidak ada gejolak,” katanya.
Sementara itu Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) bidang Sosial dan Lingkungan Bambang Widyantoro menyatakan pembahasan multipihak sedang dilakukan saat ini terkait rencana wajib RIL bagi HPH. “Sudah ada beberapa kali diskusi terfokus. Mudah-mudahan dalam waktu dekat pedoman implementasi RIL sudah ada,” katanya. Sugiharto
Perkembangan Usaha HPH
Tahun | Jumlah HPH (unit) | Luas Areal | Produksi (X Juta M3) | Produktivitas*) Hutan alam (m3/ha/th) | ||
(x Juta Ha) | ||||||
SK | Efektif | Kuota | Realisasi | |||
1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 (6/4) |
1992 | 580 | 61.38 | 42.97 | – | 26.05 | 0.61 |
2000 | 362 | 39.16 | 27.41 | – | 3.45 | 0.12 |
2001 | 351 | 36.42 | 25.49 | 5.6 | 1.81 (32%) | 0.07 |
2002 | 270 | 28.08 | 19.66 | 5.3 | 3.02 (57%) | 0.15 |
2003 | 267 | 27.80 | 19.46 | 6.1 | 4.10 (67%) | 0.21 |
2004 | 287 | 27.82 | 19.47 | 6.7 | 3.51 (52%) | 0.18 |
2005 | 285 | 27.72 | 19.40 | 7.2 | 5.72 (79%) | 0.29 |
2006 | 322 | 28.78 | 20.15 | 9.1 | 5.59 (61%) | 0.28 |
2007 | 323 | 28.16 | 19.71 | 9.1 | 6.11 (67%) | 0.31 |
2008 | 308 | 25.90 | 18.13 | 9.1 | 4.69 (52%) | 0.26 |
2009 | 304 | 25.66 | 19.96 | 9.1 | 5.42 (60%) | 0.27 |
2010 | 304 | 24.95 | 17.46 | 9.1 | 5.75 (63%) | 0.33 |
2011 | 295 | 23.24 | 16.27 | 9.1 | 6.28 (69%) | 0.39 |
2012 | 294 | 23.90 | 16.73 | 8.72 | 5.07 (58%) | 0.30 |
2013 | 286 | 22.80 | 15.96 | 8.72 | 3.68 (42%) | 0.23 |
2014 | 275 | 20.69 | 11.48 | 10.55 | 5.35 (51%) | 0.34 |
2015 | 269 | 20.62 | 14.43 | 10,98 | 5.83 (53%) | 0.40 |
2016 | 265 | 20.88 | 14.62 | 11.69 | 5.4 (46%) | 0.37 |
Sumber: Presentasi Nana Suparna, pada peninjauan HPH PT Dwimajaya Utama