Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo mengingatkan semua pihak, khususnya pejabat daerah, agar berhati-hati dalam menandatangani alih fungsi lahan pertanian. Pasalnya, alih fungsi lahan saat ini sudah cukup mengkhawatirkan.
“Alih fungsi lahan pertanian cukup mengkhawatirkan dan alih fungsinya itu sangat besar,” tegas Mentan Syahrul saat membuka Rapat Koordinasi Pengawasan Bidang Ketahanan Pangan di Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa (7/3/2023).
Mentan menyebutkan pentingnya menjaga lahan pertanian untuk generasi mendatang. Syahrul juga menjelaskan, kecenderungan meluasnya alih fungsi lahan pertanian ke bukan pertanian saat ini telah menyebabkan susutnya lahan pertanian secara progresif.
Oleh karena itu, dia mengingatkan para kepala daerah ataupun pejabat lainnya agar memperhatikan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
“Inti dari UU 41/2009 itu, siapa pun yang mengalihkan lahan secara tidak normatif dan tidak mempertimbangkan aturan ini, ancaman hukuman bisa 5 hingga 8 tahun, khususnya pejabat yang tanda tangan,” paparnya.
Meski mengakui adanya alih fungsi lahan saat ini, namun dirinya tidak ingin menyebutkan data riil berapa jumlah lahan yang telah beralih fungsi selama beberapa tahun terakhir.
“Saya tidak mau menyebut angka karena nantinya itu bias. Datanya tetap ada kami pegang. Yang pasti, alih fungsi lahan itu mengkhawatirkan,” terangnya.
Mantan Gubernur Sulsel dua periode itu menyatakan, Kementerian Pertanian saat ini telah secara aktif melakukan upaya pencegahan alih fungsi lahan secara masif melalui pemberian insentif bagi pemilik lahan, di antaranya dengan memberikan berbagai bantuan saprodi, seperti alat mesin pertanian, pupuk, dan benih bersubsidi.
Selain itu, pemerintah saat ini tengah mengupayakan pencegahan alih fungsi lahan dengan single data lahan pertanian dalam jangka pendek.
“Data pertanian itu harus satu, sehingga data yang dipegang presiden, gubernur, bupati, camat sampai kepala desa semuanya sama. Termasuk masalah lahan dan produksi,” tegasnya.
Sinergi dengan APIP dan APH
Syahrul memang tegas menolak alih fungsi lahan pertanian di berbagai daerah. Untuk itu, Kementan melalui Inspektorat Jenderal (Itjen) terus memperkuat sinergi dan komitmen lintas kementerian/lembaga hingga aparat hokum, yakni Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) dan Aparat Penegak Hukum (APH) guna mencegah dan mengendalikan alih fungsi lahan pertanian.
“Kita dihadapkan dengan ancaman krisis pangan global dan mudah-mudahan Indonesia tidak ada krisis ini. Kita juga dihadapkan dengan climate change yang membuat kita harus atur strategi. Saya bahagia banget hari ini karena kita sepakat, satu hati untuk tidak main-main dengan alih fungsi lahan,” katanya.
Dia menambahkan, salah satu yang harus dijaga adalah bagaimana akselerasi pertanian bisa berjalan dengan dengan baik, tidak stagnan bahkan tidak mundur.
Untuk itu, salah satu yang harus dijaga adalah lahan lahan strategis pertanian, lahan produktif pertanian, lahan yang sudah memiliki irigasi pertanian hingga lahan yang masuk dalam peraturan daerah.
“Untuk itu, tentu saja bersama aparat pengamanan, aparat hukum kita berharap penegakan aturan-aturan yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan bisa kita terus dorong,” tuturnya.
Mentan Syahrul juga meminta adanya tindakan tegas bagi pihak yang melakukan alih fungsi lahan pertanian atau melanggar undang- undang perlindungan lahan pertanian. Dengan demikian, luas lahan pertanian di Indonesia tidak semakin tergerus lagi.
“Kalau lahan pertanian dibiarkan dialihfungsikan menjadi lahan industri, perumahan, maka nanti generasi yang akan datang akan tanam pangan di mana? Ini bisa memicu persoalan pangan,” ucapnya.
“Hari ini, Itjen (Inspektorat Jenderal) Kementan turun tangan membuat koordinasi per pulau dan kita mulai dari Sulawesi. Mudah-mudahan Pak Kejari, Pak Kejati, Panglima, Kapolda, Kabareskrim, ini bahu-membahu antara aparat pemerintah dan aparat hukum bisa menjaga kelestarian lahan lahan stategis pertanian,” ungkapnya.
Inspektur Jenderal (Irjen) Kementan, Jan Samuel Maringka menambahkan, pihaknya terus berupaya meningkatkan pengawalan terhadap program pembangunan pertanian. Salah satu langkah yang diambil dengan melakukan kolaborasi melalui Program Jaga Pangan, Jaga Masa Depan.
“Rakorwas yang dilakukan ini juga untuk membangun sinergi antara aparat pengawasan intern pemerintah (APIP) dan Aparat penegak Hukum (APH) dalam melakukan pengawasan internal pemerintah, sekaligus mewujudkan program menjaga pangan,” ujarnya.
Jan Maringka mengatakan, kolaborasi dan sinergi yang baik antara Kementan — khususnya APIP — dengan pemerintah daerah serta unsur APH di daerah cukup efektif untuk mendukung keberhasilan pembangunan pertanian.
Komitmen bersama ini menjaga pertanian sekaligus mengendalikan alihfungsi lahan dalam rangka ketahanan pangan menuju kedaulatan pangan.
“Sulawesi menjadi perhatian khusus mengingat wilayah ini merupakan lumbung pangan nasional, terutama di wilayah Indonesia Timur. Sehingga perlu dilakukan pengawalan yang memadai agar tidak mengganggu stabilitas pangan nasional,” katanya.
Penting, Adanya Perda LP2B
Sementara itu Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementan, Ali Jamil menyebutkan, Pemerintah Daerah (Pemda) telah banyak menetapkan Kawasan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (K/LP2B) di dalam Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Selain itu, ada pula Pemerintah Daerah/Kota yang menetapkan Perda LP2B tersendiri. Begitu juga ditingkat provinsi, norma K/LP2B juga ditetapkan dalam Perda RTRW.
Dirjen menyebutkan, pemerintah kabupaten/kota dan provinsi sudah banyak yang tetapkan LP2B. “Penetapan oleh Pemda bisa dilakukan melalui Perda LP2B tersendiri atau penetapan K/LP2B dalam Perda RTRW,” tegasnya.
Data Agro Indonesia mencatat, hingga bulan Oktober 2021, sedikitnya sudah 263 Kabupaten/Kota telah menetapkan K/LP2B di dalam Perda RTRW. Dari jumlah itu, sebanyak 138 kabupaten/kota menetapkan Perda LP2B tersendiri.
Untuk tingkat provinsi, Ali Jamil menyebutkan ada 18 provinsi telah menetapkan norma K/LP2B dalam Perda RTRW. Sedangkan 18 provinsi telah menerbitkan Perda LP2B tersendiri,
Dia mengatakan, jika pemerintah kabupaten/kota menyusun dan menerbitkan Perda PLP2B, diharapkan mengakomodir muatan lokal dan operasional yang disesuaikan dengan kebutuhan provinsi, kabupaten dan kota yang bersangkutan.
Menurut dia, ketersediaan lahan untuk usaha pertanian merupakan syarat mutlak dalam mewujudkan kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan nasional.
“Apresiasi komitmen terhadap penyediaan lahan pertanian pangan berkelanjutan kami sampaikan kepada semua pihak. Ini penting karena Pemda sudah mengupayakan Penetapan LP2B,” tegasnya.
Ali Jamil menyebutkan, perlindungan LP2B tidak hanya menjadi tanggung jawab sektor pertanian, tetapi hal ini merupakan tanggung jawab bersama. Baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah dan seluruh pemangku kepentingan.
Kementan, lanjutnya, menghargai Pemda Kabupaten/Kota yang telah berupaya mengendalikan alih fungsi lahan pertanian, melalui penetapkan Perda LP2B yang didukung dengan peta.
“Ini tentunya sangat baik untuk kelangsungan pertanian di suatu wilayah. Jika tidak ada Perda LP2B, lahan makin habis dan petani tidak akan bisa berusaha tani lagi,” ungkapnya.
Jika petani tidak bisa bertani, maka akan mengancam ketahanan pangan, kebutuhan pangan tidak bisa dipenuhi dari dalam negeri. Untuk itu, alih fungsi lahan harus dikendalikan.
Di samping itu, strategi untuk mengatasi kebutuhan lahan pangan yang terus meningkat adalah tidak boros pangan, termasuk tidak membuang makaman. “Dengan cara ini, kebutuhan pangan bisa kita ditekan yang pada akhirnya kebutuhan untuk lahan pangan juga bisa ditekan atau dikendalikan,” tegasnya. SW