Semula, ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dipandang sebelah mata. Ketika mereka masuk ke Indonesia beberapa dekade yang lalu, minat masyarakat terhadap jenis catfish yang satu ini cenderung negatif. Waktu itu orang jarang yang suka menyantap lele karena badannya yang berlendir mengingatkan kita pada sesuatu yang menjijikkan.
Namun, belakangan persepsi masyarakat terhadap lele berubah. Seiring melemahnya daya beli akibat berbagai tekanan ekonomi, lele jadi diminati. Selain murah meriah, kandungan proteinnya pun tinggi.
Konsumen lele memang sudah meluas. Bukan cuma wong ndeso saja namun orang kota juga menyukainya. Munculnya menu pecel lele kian mendongkrak citranya di mata masyarakat. Mengkonsumsinya tidak lagi memalukan. Dari rakyat jelata yang makan di warung-warung tenda dengan sambal terasi dan lalapan, hingga masyarakat menengah atas juga menyantap lele di restoran-restoran resik berpendingin ruangan.
Perubahan status sosial komoditas lele ini lah yang merangsang tumbuhnya berbagai inovasi usaha dalam teknologi pengolahan pangan. Ada lele goreng kremes, bakso lele, mie basah lele, lele asap, abon lele, rolade lele hingga pizza lele.
Berkembangnya industri lele dumbo berbasis kerakyatan memang secara tidak sengaja tumbuh dari bawah. Kini komoditas perikanan air tawar ini telah menjelma jadi industri kerakyatan di berbagai penjuru negeri.
Bahkan dewasa ini permintaan lele tidak melulu berasal dari dalam negeri. Konsumen dari negeri tetangga seperti Singapura dan Malaysia sudah meliriknya. Begitu pula Amerika Serikat dan Eropa.
Berkat potensinya yang besar itu pemerintah cq Kementerian Kelautan dan Perikanan ikut mendukung dan menyokong pengembangan usaha berbasis lele dumbo. Kampanye makan lele pun gencar dilakukan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti dan jajarannya.
Itu sebabnya, Ketua Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas) Jawa Barat (Jabar), Rudy Kurniawan setuju ketika disodori proposal membudidayakan lele oleh alumni resimen mahasiswa (menwa) Universitas Widyatama, Bandung yang memang sudah berpengalaman dalam pembinaan teritorial di sekitar Jabar.
Adalah Kampung Kahuripan, Desa Nagrog, Cicalengka, Kabupaten Bandung terpilih untuk program desa asuh Perbanas dan menwa Universitas Widyatama. Pasalnya, masyarakat di sana tergantung pada musim hujan. Mereka biasa bercocok tanam antara lain jagung, singkong dan tembakau.
Rudy pun yakin dengan keputusannya untuk menggerakkan ekonomi kerakyatan lewat budidaya lele. Apalagi, selain mendapat dukungan dari civitas Universitas Widyatama, Pemerintah Provinsi Jabar juga siap memberi bantuan. Termasuk, mahasiswa Institut Teknologi Bandung, Emireza Farhan Adib selaku penyuluh.
“Perbanas Jabar peduli terhadap kesejahteraan masyarakat pedesaan melalui program desa asuh di Kampung Kahuripan,” ujar Rudy kelahiran Bandung.
Untuk mengetahui seputar program desa asuh yang notabene pilot project Perbanas Jabar berikut bincang-bincang Agro Indonesia dengan bankir BCA ini pekan lalu.
Bisa dijelaskan keputusan Perbanas mewujudkan ide desa asuh di Kampung Kahuripan?
Perbanas peduli dengan pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan usaha mikro, kecil & menengah (UMKM), seiring dengan misi perbankan di Indonesia. Untuk itu kita siapkan semuanya. Mulai dari penyediaan air yang kita filterisasi. Kemudian, kita siapkan 10 kolam terpal yang setiap saat bisa dibongkar pasang. Juga buku panduan, bibit, pelet, obat-obatan dan baskom untuk menyortir lele. Termasuk edukasi dan pendampingan oleh penyuluh perikanan dari mahasiswa Institut Teknologi Bandung. Hingga penjualan atau pemasaran panen lelenya ke bandar & konsumen.
Semangat apa yang ingin dibangun Perbanas di desa asuh Kampung Kahuripan?
Kami ingin membuat terobosan alternatif usaha yang dibangun, khususnya untuk masyarakat Jabar dengan membudidayakan ikan lele. Apalagi, kebutuhan lele di Jabar saat ini sebagian besar masih dipasok dari Jawa Tengah.
Kami ingin menciptakan peluang usaha baru bagi masyarakat desa. Mulai dari menyerap tenaga kerja, menambah penghasilan, menciptakan unit usaha baru sampai diversifikasi lainnya dari budidaya lele ini. Syukur-syukur bisa memasok lele provinsi lain dan bahkan ekspor seperti sidat.
Sejauh mana Perbanas akan mengawal desa asuhnya?
Kita akan terus membina desa ini sehingga nantinya dapat dikembangkan ke daerah lain di sekitarnya.
Jadi setelah Kampung Kahuripan dengan lelenya, akan ada desa lainnya yang segera diasuh?
Untuk sementara, kita masih fokus pada pengembangan Kampung Kahuripan ini. Tapi harapannya, minimal Jabar bisa menghasilkan lele untuk mencukupi kebutuhannya sendiri.
Yang jelas, program ini yang pertama kali diadakan oleh Perbanas Jabar dalam rangka membantu meningkatkan ekonomi masyarakat kecil (UMKM). Diharapkan program ini bisa menjadi acuan kerja Perbanas Pusat dan Perbanas wilayah lainnya. Apalagi, kami pun disupport oleh Otoritas Jasa Keuangan Jabar dan Badan Musyawarah Perbankan Daerah Jabar.
Apa yang ada di benak Anda ketika menyaksikan langsung panen perdana lele, 5 Oktober 2018 lalu?
Saya sangat bangga, karena edukasinya berhasil diterapkan dan hasil panennya juga cukup menggembirakan. Dengan budidaya lele, masyarakat juga mulai menanam berbagai jenis sayuran yang sistem penyiramannya berasal dari air kolam lele. Dimana airnya sudah mengandung nutrisi yang cukup dari kotoran lele. Jadi tidak perlu memberikan tambahan pupuk kimia lainnya.
Apa Anda akan ikut mengkampanyekan makan ikan, termasuk lele?
Pastinya. Karena ikan khususnya lele selain lebih murah, lebih sehat, juga mudah didapat. Sebelumnya, sebagian penduduk desa ini belum pernah makan ikan lele. Setelah panen, masyarakat menyukainya karena enak, segar dan gurih. Kita juga akan edukasikan pakan lele yang harus benar benar dari pelet. Jadi pakannya tidak boleh dari limbah seperti ayam tiren.
Fenny YL Budiman