Pemerintah akhirnya resmi memperpanjang kebijakan moratorium hutan dengan terbitnya Instruksi Presiden (Inpres) No 6 tahun 2017 tentang Penundaan dan Penyempurnaan tata Kelola pemberian Izin Baru Hutan alam primer dan Lahan Gambut. Meski ada jeda sebulan sejak inpres lama kadaluarsa, pemerintah memastikan kebijakan tersebut tak pernah kendur diterapkan.
“Ya Inpresnya sudah terbit,” kata Pelaksana Tugas Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan hidup dan Kehutanan (LHK) Yuyu Rahayu di Jakarta, Jumat (28/7/2017).
Sekadar mengingatkan, kebijakan moratorium terbit pertama kali tahun 2011 melalui Inpres No 10/2011 pada 20 Mei 2011. Dua tahun kemudian, terbit perpanjangan melalui Inpres No 6/2013 pada 13 Mei 2013. Dua kebijakan itu diteken Presiden Susilo bambang Yudhoyono. Kebijakan yang berdurasi dua tahunan itu kembali diperpanjang melalui Inpres Inpres No 8 tahun 2015 yang diteken Presiden Joko Widodo.
Inpres tersebut sejatinya telah berakhir masa berlakunya 13 Mei 2017 lalu. Ini berarti ada jeda waktu sekitar satu bulan, sebab Inpres No 6 tahun 2017 baru diteken Presiden Jokowi pada 17 Juli 2017.
Meski ada jeda waktu antar inpres, Yuyu memastikan kebijakan moratorium hutan tetap ditegakkan. Pasalnya ada Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) tentang Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPPIB) yang tak kadaluarsa. “Jadi kebijakan penundaan izin baru sebenarnya tidak putus,” katanya.
Yuyu menambahkan, merespons Inpres moratorium yang baru, Kementerian LHK juga sudah menyiapkan revisi ke 12 PIPPIB. Sesuai amanat inpres, Kementerian LHK memang diinstruksikan untuk merevisi PIPPIB setiap enam bulan sekali.
Selain soal perpanjangan moratorium, Inpres No 6 tahun 2017 memuat hal yang sama dengan inpres moratorium lama. Soal jangka waktu misalnya, Inpres No 6 tahun 2017 juga punya masa berlaku untuk dua tahun mendatang.
Dalam Inpres No 6 tahun 2017, juga terdapat pengecualian untuk permohonan yang telah mendapat persetujuan prinsip sebelum inpres moratorium pertama diterbitkan, izin untuk pemanfaatan panas bumi, minyak, dan lahan untuk pangan. Moratorium juga tidak berlaku untuk perpanjangan izin yang sudah terbit sebelumnya plus penerbitan izin baru Restorasi Ekosistem.
Instruksi Presiden paling banyak ditujukan kepada Menteri LHK. Selain Menteri LHK, instruksi juga diberikan kepada Menteri Dalam Negeri, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Menteri Pertanian, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kepala Badan Informasi Geospasial, serta Gubernur dan Walikota/Bupati seluruh Indonesia.
Moratorium Berdampak Negatif
Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB Profesor Yanto Santosa menyatakan, meski punya niat baik, namun kebijakan moratorium hutan justru berdampak negatif bagi pengelolaan hutan. Kebijakan tersebut membuat banyak kawasan hutan open acces yang akhirnya malah rentan terhadap aktivitas ilegal seperti perambahan dan kebakaran hutan.
“Tujuannya mulia, tapi meleset karena berdampak pada banyaknya kawasan hutan open acces,” katanya ketika dihubungi dari Jakarta, Jumat (28/7/2017).
Yanto menuturkan, bukti dampak negatif itu adalah pada kasus-kasus kebakaran yang terjadi saat ini dan tahun-tahun sebelumnya. Kasus kebakaran hutan, kata dia, banyak terjadi pada kawasan hutan open acces. “Saya sejak awal tak setuju dengan kebijakan moratorium,” katanya.
Kebijakan moratorium izin baru di kawasan hutan juga berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Menurut Yanto, terjadi jeda investasi yang akhirnya merugikan bangsa Indonesia. “Tidak ada investasi berarti tidak ada pertumbuhan ekonomi, tidak ada penyerapan tenaga kerja,” kata dia.
Yanto meyayangkan, kebijakan moratorium membuat hutan kini dipandang sebagai sesuatu yang harus dimuseumkan. Artinya hanya bisa dilihat dan tidak bisa dimanfaatkan. Padahal hutan sebagai sumber daya alam bisa dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Apalagi, katanya, sejauh ini tujuan moratorium untuk memperbaiki tata kelola hutan belum berhasil. Banyak tempat di kawasan hutan yang dimoratorium justru dirambah untuk berbagai aktivitas non kehutanan. “Jadi belum ada ada prestasi moratorium hutan,” katanya.
Belum adanya capaian yang signifikan atas kebijakan moratorium lahan membuat Indonesia sampai saat ini belum mendapat kompensasi senilai 1 miliar dolar AS yang dijanjikan Norwegia. Situasi ini disayangkan Yanto, mengingat Indonesia sudah berkorban besar dengan kebijakan tersebut.
Yanto menegaskan, kawasan hutan selayaknya ‘dikeloni’. Artinya tidak boleh dibiarkan tanpa ada pengelola yang menjaganya. Jika pemerintah tak mampu mengelola dan menjaganya karena berbagai keterbatasan yang ada, maka pengelolaannya bisa diserahkan kepada pihak swasta atau masyarakat.
Pemutihan
Sementara itu juru kampanye Forest Watch Indonesia Linda Rosalina menilai, Inpres No 6 tahun 2017 menunjukan pemerintah belum serius memperbaiki tata kelola dan menyelamatkan hutan dan gambut. “Buktinya Inpres yang sekarang sekarang hanyalah perpanjangan, bukan penguatan. Isinya masih sama seperti yg lalu seperti subtansi soal obyek pengecualian, dan capaian berbasiskan waktu,” katanya.
Linda menyatakan, perpanjangan kebijakan moratorium hutan sejatinya adalah hal yang baik. Meski demikian, jika sekadar perpanjangan maka ada kekhawatiran kebijakan tersebut tak bisa menyelamatan hutan dan lahan gambut. “Bila melihat isi inpres yg tidak ada penguatan, kekhawatiran kami inpres ini tidak bisa menyelamatkan hutan dan lahan gambut,” katanya.
Dia menyatakan, sebelum memperpanjang kebijakan moratorium, pemerintah seharusnya melakukan evaluasi terlebih dahulu terhadap efektivitasnya dalam dua tahun terakhir. Kelemahan yang ditemukan, seharusnya bisa dijawab dengan inpres yang baru. Jadi tidak lagi sekedar pembaharuan dari sisi waktu saja. “Itulah kenapa kami di FWI dan koalisi LSM selalu meminta agar perpanjangan inpres bukan berbasis waktu tetapi melihat outputnya,” kata Linda.
Dia menuturkan kajian FWI terhadap efektivitas inpres moratorium tahun 2013 dan 2015 mengungkap adanya kehancuran hutan alam di wilayah moratorium. “Itu artinya inpres belum efektif dlm upaya penyelamatan hutan dan gambut,” katanya.
Di sisi lain, Linda menyatakan, inpres yang ada belum benar-benar dipatuhi oleh pejabat diberi instruksi oleh Presiden. Inpres, kata Linda, belum mampu memaksa pemerintah daerah untuk berkomitmen dalam upaya penyelamatan hutan alam dan gambut. Di beberapa daerah, masih ada izin baru yang diterbitkan.
Untungnya, ada Peraturan Pemerintah (PP) No 57 tahun 2016 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Ekosistem Gambut yang lebih kuat dibandingkan inpres. Linda menyatakan, kebijakan moratorium hutan pun seharusnya dibuat dalam bentuk PP sehingga bisa lebih kuat dan mengikat secara hukum. “Sudah seharusnya inpres yg baru ini dapat lebih kuat dalam menjaga dan melindungi hutan alam,” katanya.
Soal adanya jeda waktu antar inpres moratorium Linda menyatakan kemungkinan adanya penerbitan izin baru saat itu. Jeda waktu bisa memberi ruang untuk pemutihan atau bahkan penerbitan izin baru.
“Saat masih belaku saja masih ada izin baru yang terbit. Jadi kemungkinan bocor itu pasti sangat mungkin. Karena Inpres ini adalah himbauan presiden yang sesungguhnya tidak memberikan efek yg sangat signifikan untuk proses perizinan di pusat, provinsi maupun daerah,” katanya. Sugiharto