
Oleh: Hermudananto (Lecturer of Forest Management at Universitas Gadjah Mada, PhD Student at University of Florida)
Setelah lebih dari dua setengah dekade produksi kayu bulat Indonesia dari hutan alam mengalami penurunan menjadi 27 persen-nya sejak tahun 1990an hingga 2019, inisiatif untuk optimalisasi pemanfaatan hutan muncul melalui Peraturan Dirjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengenai Multiusaha Kehutanan.
Tantangan usaha kehutanan
Sebagai negara terbesar ketiga di dunia yang kehilangan rata-rata tahunan kawasan hutan (Global Forest Resource Assessment, 2020), dunia kehutanan di Indonesia penuh dengan lika-liku dalam pengelolaan dan pemanfaatannya. Pernah juga dinobatkan sebagai negara produsen kayu bulat tropis terbesar di dunia oleh International Tropical Timber Organization (2011), namun kenyataannya jumlah unit manajemen hutan alam turun hingga lebih dari setengahnya sejak tahun 1990-an menjadi 250-an pada tahun 2019, meskipun di sisi lain adanya penambahan luasan hutan tanaman sekitar tiga kalinya sejak 20 tahun silam menjadi sekitar 12 juta ha pada tahun yang sama.
Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia/APHI (2020) setidaknya mencatat ada enam permasalahan utama dalam industri kehutanan di Indonesia selama ini, yaitu ketidakpastian usaha, konflik lahan, biaya produksi yang tinggi, produktivitas lahan yang rendah, distorsi harga kayu bulat dalam negeri, daya saing industri pengolahan kayu rendah. Terlebih lagi pemanfaatan hutan masih didominasi oleh eksploitasi kayu bulat saja.
Situasi pagebluk COVID-19 semakin memukul dunia kehutanan pada semester pertama tahun 2020 ini yang berkontribusi pada penurunan kinerja ekspor kayu olahan sebesar 10%, serta kinerja produksi kayu bulat alam sebesar 20%.
Potensi hutan selain kayu bulat
Belum lama ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Direktorat Jenderal PHPL menerbitkan pedoman multiusaha kehutanan untuk menjawab tantangan dunia kehutanan yang masih didominasi produksi kayu bulat. Perdirjen No. P.1/PHPL/SET/KUM.1/5/2020 yang terbit akhir Mei 2020 setidaknya menawarkan tiga opsi yaitu (i) usaha pemanfaatan kawasan, (ii) usaha jasa lingkungan, atau (iii) usaha hasil hutan bukan kayu (HHBK), dengan harapan untuk mengoptimalkan hasil hutan selain kayu, serta meningkatkan nilai ekonomi hutan yang pada akhirnya dapat mengurangi konversi hutan menjadi perkebunan yang saat ini dianggap memiliki nilai ekonomi lebih tinggi dari hutan.
Bukan perkara mudah, implementasi konsep multiusaha kehutanan ini perlu untuk memperhatikan kesesuaian tipologi hutan dan karakteristik dari biografis, biofisik, sosial, ekonomi, dan budaya, sehingga tidak sembarangan menentukan jenis komoditas yang diunggulkan untuk diproduksi nantinya dimana kesemuanya itu perlu dituangkan dalam revisi Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (RKUPHHK).
Pengembangan HHBK dan jasa lingkungan juga tersurat dalam revisi Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) tahun 2011-2030. Opsi pengembangan HHBK, dari 556 jenis daftar komoditas yang terdaftar di KLHK, hanya sekitar dua persennya saja (APHI, 2020) yang potensial dan prioritas untuk dikembangkan karena sudah memiliki pasar yang cukup luas. Jenis-jenis tersebut yaitu gaharu, karet, jelutung, pinus, bambu, rotan, kayu putih, sereh wangi, madu, kopi, aren dan damar melalui pola agroforestri atau silvopastur. Sedangkan untuk opsi pengembangan jasa lingkungan, masih menjadi andalan sektor ekowisata selain daripada jasa karbon, air, atau keanekaragaman hayati dari hutan, dimana analisis APHI memproyeksikan hingga 2045, Produk Domestik Bruto dari sektor kehutanan mencapai Rp 1.210,17 triliun (atau 3,27 kalinya dari tahun 2020).
Studi yang dilakukan oleh Guillaume Lescuyer, peneliti CIFOR, dan timnya di Kongo, Afrika Tengah tahun 2015 menyebutkan bahwa meskipun pengelolaan hutan multiusaha masih kurang diimplementasikan di hutan tropis, namun skema ini berpotensi untuk dapat menyelesaikan atau mengurangi konflik pemanfaatan hutan dengan masyarakat, terutama terkait pertanian, perburuan, penggergajian ilegal ataupun pengumpulan kayu bakar.
Apakah inisiasi multiusaha kehutanan di Indonesia terlambat?
Salah satu perusahaan hutan terbesar di Swedia, Sveaskog, dengan luasan 3 juta ha untuk area produksi pinus atau cemara, mengembangkan usaha selain kayu yaitu biomassa untuk energi dan HHBK seperti penyewaan lahan untuk turbin, lisensi berburu dan memancing yang menghasilkan 15% dari penjualan bersih tahunannya. Hingga akhir tahun 2019, sudah ada sekitar 25 ribu orang yang mendapatkan lisensi untuk berburu di lahan konsesi tersebut. Selain itu, pasar karbon juga diliriknya melalui berbagai langkah pengelolaan hutan untuk memaksimalkan penyerapan karbon, dimana tahun 2019 berhasil menurunkan emisi karbon sebesar 23% dibandingkan dengan tahun 2010. Semua dimulai pada tahun 2002, sejak perusahaan membuat ketentuan konservasi alam jangka panjang yang sesuai dengan 20% dari lahan hutan produktifnya.
Bahkan tahun 1984-1985, FAO sudah membuat analisis pengelolaan hutan tropis dengan multiusaha yang intensif [dikenal dengan konsep multiple-use forest management (MFM)] di Kerala (India), Ghana (Afrika), dan Honduras, Trinidad dan Tobago (Amerika Latin).
Tantangan yang muncul misalnya dalam hal perlindungan daerah aliran sungai, fungsi perlindungan berkurang ketika tutupan hutan dieksploitasi, terutama untuk kayu, dan perubahan pola penggunaan lahan umumnya ditentukan oleh tekanan sosial-ekonomi dan komersial (pasar), bukan sebagai hasil dari penilaian kesesuaian lahan.
Catatan ini menjadi penting bahwa analisis kesesuaian dan karakteristik lahan untuk pengembangan komoditas benar-benar perlu diperhatikan, termasuk monitoring dan evaluasi pelaksanaannya untuk meminimalisir hambatan pada isu teknis, administrasi, atau bahkan ekonomi.
Mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs)
Konsesi hutan berperan sebagai instrumen kebijakan untuk mengatur produksi hutan alam, konservasi keanekaragaman hayati, dan penyediaan layanan ekosistem, di satu sisi juga berkontribusi pada sosial kemasyarakatan dalam mencapai agenda 2030. Dengan multiusaha kehutanan, diharapkan kelestarian pada konsesi hutan dapat terjaga dan memberikan kontribusi khususnya pada SDGs 1 (mengakhiri kemiskinan), 5 (kesetaraan gender), 7 (energi bersih dan terjangkau), 8 (pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi), 12 (konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab), 13 (penanganan perubahan iklim) dan 15 (ekosistem daratan) (FAO, 2020).
Setidaknya ada tiga rekomendasi untuk merealisasikan segera multibisnis kehutanan di tingkat tapak yaitu (i) demarkasi kawasan hutan permanen dan pengembangan rencana penggunaan lahan nasional yang akan meningkatkan investasi dalam pengelolaan hutan jangka panjang dan memberikan dukungan kepada multiusaha kehutanan, (ii) meningkatkan nilai hutan bekas tebangan melalui perawatan silvikultur yang akan meningkatkan peluang hutan tersebut dikelola untuk berbagai penggunaan seperti HHBK dan jasa ekosistem, (iii) sosialisasi, pelatihan dan peningkatan kesadaran untuk mengubah pola pikir para pemangku kepentingan kehutanan yang akan mendorong inisiasi multiusaha kehutanan di konsesi hutan.