Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK), Universitas Padjadjaran (Unpad), Yudi Nurul Ihsan menyesalkan penggunaan keramba jaring apung (KJA) buatan Norwegia oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan.
“Pemerintah sebaiknya memanfaatkan teknologi KJA yang sudah dikembangkan anak-anak bangsa, sekaligus menjaga nasionalisme,” ujar Yudi sewaktu dihubungi Agro Indonesia, Kamis (12/7/2018).
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi IV DPR (F-PKB), Daniel Johan juga menyesalkan KJA teknologi Norwegia yang dibangun di 3 lokasi percontohan. “Sepertinya pemerintah nasionalis saat mau mengejar kekuatan lokal. Giliran proyek KJA malah jadi agen asing,” cetus Daniel.
Ketua Asosiasi Budidaya Ikan Laut Indonesia, Wajan Sudja juga menyesalkan kebijakan pemerintah yang memilih KJA buatan Norwegia di Pangandaran, Karimunjawa dan Sabang. “Kenapa menghabiskan devisa 10 juta dolar AS untuk impor KJA bulat dari Norwegia, jika produsen dalam negeri sudah bisa produksi KJA yang lebih kuat, lebih canggih dan 60% lebih murah, yang laku di pasar ekspor?” sergah Wajan.
Wajan pun merujuk kepada KJA produk Padalarang yang punya merk dagang AquaTec. Untuk 24 KJA bulat buatan anak negeri ini hanya Rp45 milyar atau 60% lebih murah dengan spesifikasi lebih bagus dengan diameter yang lebih besar, pipa yang tebal pula. Sehingga, mempunyai daya apung lebih tinggi dan siap menahan benturan dan gelombang yang lebih kuat.
“Di Indonesia ada 5 produsen KJA bulat. Bahkan produsen KJA Padalarang sudah mengekspor KJA submersible ke China,” kata Wajan.
Secara terpisah konsultan perikanan budidaya laut, Muhibbuddin Koto punya kecurigaan. “Diduga agen Norwegia ikut bermain dengan pemerintah. Pemerintah beralasan bahwa produk Norwegia berstandar FAO,” ungkapnya.
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Slamet Soebjakto menjelaskan harga menjadi salah satu alasan pemilihan KJA buatan Norwegia. Menurutnya, harga yang ditawarkan lebih murah dari teknologi buatan lokal seperti KJA merk AquaTec, Padalarang
“Kita sudah lelang, harganya untuk cages + net lebih murah. Dari Norwegia Rp7,9 miliar untuk 8 lubang, diameter 25,5 meter. Kalau nasional Rp8,3 miliar, diameter 20 m saja,” kata Slamet.
Slamet memastikan teknologi KJA offshore Norwegia tidak akan mematikan pengusaha dalam negeri. “Justru kita mendorong KJA-KJA dalam negeri bisa mencontoh. Kita memberi percontohan memberdayakan masyarakat dalam industri perikanan yang pro masyarakat karena tujuannya untuk sustainable.”
Dijelaskan, pemilihan teknologi Norwegia sudah melalui pertimbangan dan pengkajian yang matang serta dipilih berdasarkan lelang internasional. Norwegia dinilai berpengalaman melakukan budidaya di lepas pantai dan teknologi yang mereka miliki sudah menjadi acuan internasional.
“Di dunia Norwegia adalah the best untuk teknologi KJA offshore salmonnya. Kita belajar ke Norwegia,” kata Slamet.
Tidak hanya teknologi, Norwegia juga berperan dalam memberikan rekomendasi penentuan letak KJA yang disesuaikan dengan kondisi alam di lokasi pembangunan. Norwegia juga berbagi ilmu manajemen budidaya, penebaran benih hingga proses panen.
Menurut Slamet, meski pun teknologi yang digunakan berasal dari Norwegia, namun dalam proyek ini tenaga kerja yang dilibatkan adalah masyarakat Indonesia.
Ada pun pembangunan instalasi percontohan di tiga lokasi tersebut, KKP menyiapkan anggaran sebesar Rp131,451 miliar. Anggaran ini digunakan untuk pengadaan KJA mulai dari gudang pakan dan ruang kontrol (feed barge), kapal kerja, sistem pemberian pakan terintegrasi, sistem pemantauan KJA (camera system) dan rubber boat.
Fenny