Pemerintah Kaji Usulan Kenaikan HET

Pemerintah sedang mengkaji usulan Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) tentang kenaikan Harga Eceran Tetinggi (HET) dan penurunan Harga Pokok Penjualan (HPP) untuk Pupuk Subsidi.

“Atas dasar itu, saya sudah kirim surat kepada Menko Perekonomian untuk melakukan rapat terkait usulan KTNA tersebut,“ kata Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP), Kementerian Pertanian, Sarwo Edhy kepada Agro Indonesia, Jumat malam (19/6/2020).

Sebelumnya, Ketua Umum KTNA Winarno Tohir dalam rembug utama pupuk subsidi mengusulkan agar HET pupuk bersubsidi dinaikkan Rp300-Rp500/kg. “Petani tak keberatan kalau HET-nya dinaikkan, asalkan kuota pupuk bersubsidi jangan dikurangi,” katanya.

Menurut Winarno, jika kebutuhan pupuk tak terpenuhi, petani akan kesulitan untuk meningkatkan produksi padi. “Jadi, jangan sampai impor beras karena kekurangan pupuk di tingkat petani. Jadi, harus ada solusinya,” katanya.

Winarno juga berharap solusi yang ditawarkan KTNA untuk menaikkan HET bisa menjadi pertimbangan pemerintah dalam menyediakan pupuk bersubsidi sampai Desember 2020. “Bisa saja HET untuk urea bersubsidi dinaikkan menjadi Rp2.500/kg, NPK Rp3.500/kg dan Phonska Rp4.000/ kg,” ujarnya.

Sarwo Edhy mengatakan, anggaran pupuk subsidi tahun 2019 dan tahun 2020 mengalami pengurangan atau turun sekitar Rp2 triliun. Kementerian Pertanian (Kementan) sudah mengajukan tambahan alokasi pupuk subsidi ke Menteri Keuangan, namun volume pupuk subsidi tidak mungkin ditambah. Untuk itu, Kementan sedang  mencarikan solusinya.

KTNA sebagai organisasi petani terbesar tidak keberatan jika pemerintah menaikan HET pupuk dan menurunkan HPP. Bagi KTNA, yang terpenting pupuk subsidi tersedia di lapangan pada saat petani membutuhkan.

“Seharusnya tadi siang (Jumat, 19/6/2020) kita rapat, dipimpin Menko Perekonomian. Rapat ini membahas soal subsidi pupuk. Namun, rapat ditunda,” ungkap Sarwo.

Dia menyebutkan, khusus untuk HPP, besar kemungkinan turun 5%, karena berdasarkan hasil audit BPK dan BPKP, ada unsur-unsur yang mestinya tidak perlu dimasukan dalam HPP tersebut. “Unsur ini lah yang akan kita hapuskan,” kata Sarwo, tanpa merinci lebih lanjut.

Dia juga menyebutkan, tahun 2021 sudah dipastikan subsidi pupuk akan turun lagi. Memang, secara bertahap subsidi akan  dikurangi, sehingga petani kelak menjadi mandiri.

Meskipun demikian, lanjut Sarwo Edhy,  sampai sekarang ini belum terjadi kelangkaan pupuk di tingkat petani. Realisasi penyaluran pupuk subsidi hingga tanggal 19 Juni 2020 sudah mencapai sekitar 58%. Artinya, stok yang dimiliki PT Pupuk Indonesia masih tersedia cukup.

Berdasarkan data PT Pupuk Indonesia, stok pupuk subsidi hingga 5 Juni 2020 tercatat pupuk urea sebanyak 1.188.069 ton dengan rincian di lini I terdapat sebanyak 522.206 ton, lini II (102.985 ton), lini III (468.595 ton) dan lini IV (94.283 ton).

Untuk jenis NPK, stok tersedia sebanyak 387.971 ton,  SP-36 stok tercatat sebanyak 112.085 ton, pupuk ZA stok tersedia 145.941 ton dan pupuk organik tercatat 105.770 ton.

Menurut Sarwo Edhy, jika ada desa yang kekurangan pupuk subsidi, maka bisa dilakukan realokasi antardesa atau  kecamatan. Kewewenangan ini ada di dinas kabupaten. Jika kabupaten yang kurang pupuk subsidi, bisa realokasi  antarkabupaten.  Untuk realokasi tingkat kabupaten wewenangnya ada di dinas provinsi. Untuk realokasi antarprovinsi wewenang Dirjen PSP, Kementan.

Penyesuaian Dosis

Untuk mengantisipasi pengurangan pupuk subsidi, Ditjen PSP telah melakukan berbagai simulasi, di antaranya menyesuaikan dosis pemakaian. Misalnya, jika selama ini pemakaian pupuk NPK sebanyak 300 kg/hektare (ha), maka sekarang dikurangi menjadi 200 kg/ha.

“Standar atau rekomendasi Litbang Kementan adalah 200-300 kg/ha. Kita ambil dosis yang minimal, yaitu 200 kg/ha. Hasilnya tetap bagus. Artinya, tidak menurunkan produktivitas tanaman,” tegasnya.

Untuk pemakaian Urea, standar yang dianjurkan 150-300 kg/ha. Sekarang pemakaian urea dianjurkan cukup 200 kg/ha. Cara ini, kata Sarwo Edhy, merupakan salah satu untuk mengatasi kekurangan pupuk.

“Dari pengurangan pemakaian dosis ini bisa dijadikan tambahan volume pupuk subsidi. Untuk menutupi pengurangan anggaran pupuk subsidi senilai Rp2 triliun itu, salah satunya dengan mengurangi dosis pemupukan tadi,” tegasnya.

Menurut Sarwo Edhy, pemerintah tetap membantu petani, namun dengan cara yang berbeda. Subsidi pupuk secara bertahap terus dikurangi, karena orientasi ke depan adalah pupuk organik. “Untuk menerapkan pemakaian pupuk organik, kita butuh waktu cukup lama, karena petani sudah terbiasa menggunakan pupuk anorganik,” tegasnya.

Sarwo Edhy mengaku pemerintah sudah melakukan percepatan dan solusi terhadap berkurangnya pupuk bersubsidi di tingkat petani. Salah satunya dengan mengusulkan agar Pupuk Organik Cair (POC) masuk dalam kategori pupuk bersubsidi.

Dia mengatakan, dengan cara menaikan HET pupuk sekitar Rp200/kg-Rp300/kg serta menurunkan HPP sebesar 5%, maka volume pupuk subsidi bisa menjadi 9,3 juta ton atau sama dengan  volume tahun 2018. Tahun 2020 volume pupuk subsidi hanya 7,9 juta ton.

Seperti diketahui, HET pupuk bersubsidi untuk pupuk Urea adalah Rp90.000/sak (50 kg) atau Rp1.800/kg; pupuk NPK Phonska Rp115.000/sak (50 kg) atau Rp2.300/kg; dan pupuk organik Petroganik Rp20.000/sak (40 kg) atau Rp500/kg. Kemudian, pupuk ZA Rp70.000/sak (50 kg) atau Rp1.400/kg, dan pupuk SP-36 Rp100.000/sak (50 kg) atau Rp2.000/kg.

Anggota Komisi IV DPR, Endang S. Thohari mengatakan, karena banyak permasalahan yang dihadapi industri pupuk di dalam negeri,  Indonesia hingga kini masih harus bergantung pada kebutuhan pupuk impor. Padahal, dari dalam negeri ada perusahaan BUMN yang bisa memproduksi, yaitu holding PT Pupuk Indonesia.

“Tapi BUMN ini harus menghadapi kerasnya persaingan di industri pupuk dalam negeri,” ujar Endang dalam sebuah webinar di Jakarta, Rabu (10/6/2020).

Menurut Endang, terbatasnya pasokan gas sebagai bahan bagi industri pupuk, dan ketidakseimbangan antara kebutuhan riil pupuk yang semakin meningkat, sementara produksi pupuk terbatas, akhirnya membuat serbuan pupuk impor semakin menekan industri dalam negeri.

Data BPS menunjukkan, volume impor urea melonjak sebesar 555,85% dari 95,43 juta kg pada tahun 2015, menjadi 625,90 juta kg pada 2016. “Perbedaan biaya produksi membuat pupuk produksi dalam negeri kesulitan bersaing di pasar urea nonsubsidi,” ujarnya.

Dia mengatakan, tingginya harga gas sebagai salah satu komponen proses produksi pupuk juga berdampak terhadap harga jual pupuk menjadi tak kompetitif. Kemudian, panjangnya rantai distribusi, pupuk subsidi dinikmati petani kaya berlahan 0,75-2 ha, sementara sasaran utama adalah petani miskin, akhirnya berdampak terjadinya kelangkaan pupuk bersubsidi di sejumlah daerah.

Menurut Endang, terjadinya dualisme harga pupuk (subsidi dan non subsidi), pengoplosan pupuk subsidi dan nonsubsidi, terjadinya pemalsuan pupuk bersubsidi, lemahnya pengawasan, pemalsuan kuota pupuk, kerap kali masih menjadi kendala dalam industri pupuk nasional. Kendala juga terjadi pada penyaluran pupuk bersubsidi yang menggunakan kartu tani di sejumlah daerah.

“Kesimpangsiuran antara BPS, Kementan, BPN dalam penetapan data luas lahan dan pemakaian pupuk normal setiap hektare, serta terdistorsinya sistem distribusi pupuk kerap kali menjadi penyebab kelangkaan pupuk di pasaran,” paparnya.

Endang mengatakan, banyaknya kendala dalam industri pupuk dan tingginya ketergantungan terhadap impor pupuk harus ada solusinya. Salah satunya adalah harus ada penambahan kapasitas produksi. Pabrik yang sudah tua harus direvitalisasi dengan cara membangun pabrik baru, khususnya untuk produksi pupuk majemuk (NPK) guna mendukung program pemupukan berimbang yang lebih efisien dan dapat mengoptimalkan produksi pangan. “Agar tak bergantung pupuk impor, maka BUMN pupuk harus ditata ulang. Ini PR bagi kita,” ujarnya. Jamalzen/PSP