
Oleh: Diah Suradiredja (Mahasiswa Program Doktoral, IPB University)
Cross Finger! Dua kata yang terlontar pada saat menerima kabar pengumuman usulan penundaan Peraturan Deforestasi – European Union Deforestation Regulation (EUDR) Uni Eropa. Berita baik di saat Indonesia memikirkan bagaimana produksi minyak sawit Indonesia, pada Mei 2024, menghadapi tantangan signifikan akibat perubahan cuaca dan fluktuasi pasar global. Berdasarkan data dari GAPKI, produksi Crude Palm Oil (CPO) menurun sebesar 5,59% dari 4,115 ribu ton di April menjadi 3,885 ribu ton pada Mei 2024. Palm Kernel Oil (PKO) juga mengalami penurunan, menambah tekanan terhadap industri sawit.
Di sisi lain, konsumsi domestik naik 2,64%, didorong oleh peningkatan konsumsi biodiesel sebesar 7,72%, meski konsumsi untuk pangan menurun. Ekspor sawit juga mengalami penurunan drastis, khususnya ke pasar India dan Pakistan, sementara ekspor ke Eropa justru meningkat, terutama ke Spanyol dan Italia. Dengan stok akhir yang meningkat menjadi 4,092 ribu ton pada Mei 2024, tantangan industri sawit Indonesia semakin kompleks, terlebih dengan kehadiran regulasi EUDR.
Dinamika Respon Penolakan EUDR dan Resistensi EU
Meskipun mendapat kritik dari berbagai pihak internasional, termasuk Direktur Jenderal WTO Ngozi Okonjo-Iweala, Kongres AS, serta negara mitra dagang seperti India dan China, Uni Eropa tetap meluncurkan EUDR pada 30 Desember 2024. Peraturan ini bertujuan untuk mencegah barang-barang terkait deforestasi memasuki pasar Eropa. Walaupun industri kayu Swedia dan banyak pihak lainnya khawatir bahwa EUDR dapat memperumit rantai pasok global dan menambah beban birokrasi, Uni Eropa tetap berpegang pada pendiriannya, dengan alasan bahwa penundaan hanya akan menambah ketidakpastian bagi bisnis.
Bahkan India memandang EUDR sebagai hambatan non-tarif yang dapat mengganggu kesepakatan perdagangan bebas senilai €124 miliar dengan Uni Eropa. Swedia juga mengusulkan penundaan karena sistem pelacakan geolokasi yang diperlukan belum siap. Sementara itu, organisasi lingkungan seperti Earthsight mendukung implementasi tepat waktu, menyatakan bahwa perusahaan besar telah diberikan cukup waktu untuk menyesuaikan rantai pasokan mereka dengan standar EUDR.
Salah satu masalah utama yang dihadapi dalam mengimplementasikan EUDR adalah kesiapan negara-negara produsen, termasuk Indonesia. Tantangan ini mencakup kemampuan perusahaan, terutama usaha kecil, dalam memenuhi persyaratan teknis yang rumit, seperti dokumentasi dan pelacakan geolokasi produk yang dianggap membebani. Banyak perusahaan di sektor kecil kesulitan menyiapkan data yang diperlukan untuk mematuhi regulasi ini, terutama terkait pelacakan dan verifikasi rantai pasok yang sangat detail.
Di Indonesia, hal ini menjadi perhatian besar, khususnya bagi petani kecil yang jumlahnya mencapai jutaan dan memiliki keterbatasan dalam hal sumber daya untuk memenuhi tuntutan dokumentasi yang diperlukan oleh EUDR. Pemerintah Indonesia telah berupaya untuk mempersiapkan Dasbor Nasional yang diharapkan mampu mengatasi masalah pelacakan, tetapi permasalahan hukum terkait privasi data geospasial tetap menjadi hambatan utama dalam penerapan aturan ini.
Beban Administratif dan Konflik Hukum: Penghalang Bagi Petani Kecil
EUDR memperkenalkan prosedur yang rumit, mengharuskan pelaku usaha untuk melacak seluruh rantai pasok, dari produksi hingga distribusi, dengan data yang lengkap dan terverifikasi. Bagi petani kecil di Indonesia, ini berarti peningkatan beban administratif yang sulit ditanggung, mengingat keterbatasan teknologi dan akses informasi. Selain itu, regulasi EUDR menimbulkan konflik dengan aturan hukum yang ada di negara-negara produsen, termasuk Indonesia, di mana hukum privasi domestik bertentangan dengan persyaratan data geolokasi yang dituntut oleh EUDR.
Potensi diskriminasi juga menjadi perhatian, di mana beberapa pihak menganggap bahwa EUDR memberlakukan aturan yang lebih ketat bagi negara-negara berkembang, sementara minyak nabati yang diproduksi di Uni Eropa, seperti rapeseed dan bunga matahari, tidak dikenakan regulasi yang serupa.
Respons Indonesia terhadap EUDR dan Upaya Menghadapinya
Indonesia memandang EUDR sebagai ancaman bagi ekonomi, terutama petani kecil. Dr. Musdalifah Machmud dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menyatakan bahwa regulasi ini akan membebani petani kecil dengan persyaratan pelacakan dan dokumentasi yang rumit. Meskipun Indonesia telah melakukan upaya signifikan dalam mengurangi deforestasi, EUDR dipandang sebagai tindakan sepihak yang tidak mempertimbangkan kondisi negara produsen.
Upaya Indonesia dalam merespons EUDR tidak berhenti pada kritik semata. Pemerintah telah mengembangkan Dasbor Nasional untuk menyediakan data geolokasi guna membantu pelacakan produk. Meski begitu, Uni Eropa tetap menuntut informasi geolokasi lengkap, yang berpotensi melanggar hukum privasi Indonesia. Indonesia juga mendesak agar sistem sertifikasi nasional seperti ISPO diakui, serta memberikan waktu dan biaya yang realistis bagi petani kecil untuk memenuhi standar EUDR.
Indonesia terus mengadvokasi peraturan yang lebih seimbang dan adil, dengan menyerukan proses konsultasi global untuk memperbaiki kesenjangan dalam pembuatan kebijakan ini. Dalam pertemuan dengan Joint Task Force Ad Hoc untuk EUDR, Indonesia mendorong penundaan implementasi bagi petani kecil, mengingat dampaknya yang bisa merugikan jutaan petani yang bergantung pada ekspor ke pasar Eropa.
Langkah Konkret dalam Persiapan Menghadapi EUDR
Sebagai bagian dari kesiapan menghadapi EUDR, Indonesia telah menunjuk PT Surveyor Indonesia untuk mengoperasikan Dasbor Nasional, yang diharapkan dapat memfasilitasi pelacakan ekspor produk non-deforestasi seperti minyak sawit, karet, kopi, coklat, kayu, dan kedelai. Dasbor ini juga bertujuan untuk menjaga komunikasi dengan otoritas Uni Eropa, sehingga Indonesia dapat tetap mematuhi standar yang ditetapkan sambil mempertahankan kedaulatan dan kepentingan nasional.
Dalam rapat bersama, Direktur BPDPKS, Eddy Abdurrachman, menegaskan bahwa Indonesia siap untuk memenuhi standar internasional dengan tetap menjaga keseimbangan antara kepentingan lingkungan dan ekonomi nasional. Meskipun EUDR akan segera diberlakukan, Indonesia terus mendorong skema transisi yang lebih realistis dan inklusif, terutama untuk mendukung petani kecil yang akan terdampak langsung oleh kebijakan ini.
Dengan langkah-langkah ini, perpanjangan EUDR seharusnya tidak hanya dipandang sebagai ancaman, tetapi juga sebagai momentum bagi Indonesia untuk meningkatkan daya saing dan keberlanjutan rantai pasokannya di pasar global.
Penundaan Implementasi EUDR: Peluang dan Tantangan bagi Indonesia
Pada 2 Oktober 2024, Komisi Eropa mengumumkan penundaan pelaksanaan EUDR selama 12 bulan, memberikan perusahaan besar waktu hingga 30 Desember 2025 dan usaha kecil hingga 30 Juni 2026. Penundaan ini disambut positif oleh negara-negara mitra dagang yang sebelumnya khawatir tentang kesiapan mereka dalam menghadapi peraturan tersebut.
Perpanjangan waktu ini diambil setelah umpan balik dari berbagai pihak menunjukkan bahwa banyak negara dan pemangku kepentingan belum siap untuk memenuhi persyaratan teknis yang kompleks. Komisi Eropa juga merilis panduan tambahan untuk membantu perusahaan dan otoritas penegak hukum memfasilitasi penerapan aturan ini. Meskipun demikian, beberapa pihak khawatir bahwa penundaan ini justru dapat melemahkan komitmen Eropa terhadap agenda lingkungan dalam European Green Deal.
Guidance Document untuk EUDR
Panduan terbaru EUDR yang baru dirilis oleh Komisi UE menyoroti pentingnya memahami kompleksitas rantai pasokan dalam menilai risiko ketidakpatuhan terhadap regulasi ini. Semakin banyak tahap pemrosesan atau penggunaan komoditas dari berbagai negara, semakin besar risiko yang harus dikelola oleh perusahaan. Penilaian risiko dan mitigasi lebih intensif diperlukan untuk memastikan kepatuhan, terutama ketika rantai pasokan mencakup berbagai negara dan proses. Selain itu, panduan ini menekankan bahwa legalitas produk harus diatur berdasarkan undang-undang negara produksi, termasuk hak atas tanah, perlindungan lingkungan, serta hak masyarakat adat. Ini sejalan dengan prinsip Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang mencakup berbagai aspek hukum di luar kepemilikan lahan, termasuk hak masyarakat adat dan penggunaan lahan tradisional.
Panduan ini juga menyoroti pentingnya berbagi data geolokasi antar negara untuk mendukung kepatuhan terhadap EUDR. Sistem ini memungkinkan otoritas kompeten di EU untuk memastikan bahwa operator atau importir memenuhi persyaratan legalitas. Jika negara produksi, seperti Indonesia, menganggap bukti kepemilikan lahan tidak wajib untuk sertifikasi legal, maka aturan yang sama akan diakui oleh negara-negara EU, menjadikan e-STDB sebagai skema yang relevan dan legal untuk produk terkait.
Panduan terkait uji tuntas legalitas mengharuskan operator untuk mengumpulkan dan memverifikasi dokumen yang membuktikan kepatuhan terhadap hukum di negara asal produksi. Dokumen ini bisa berupa sertifikasi pihak ketiga, izin resmi, kontrak dengan masyarakat adat, atau laporan audit. Jika negara asal memiliki tingkat korupsi yang tinggi, operator diwajibkan melakukan verifikasi tambahan, seperti audit independen atau metode forensik, untuk memastikan keabsahan dokumen dan menghindari risiko ketidakpatuhan.
Selain itu, operator hilir dan pedagang non-UKM juga diwajibkan untuk memastikan bahwa uji tuntas dilakukan oleh operator hulu, sambil tetap mematuhi aturan perlindungan data dan persaingan yang berlaku. Ini menambah lapisan pengawasan lebih lanjut dalam memastikan bahwa seluruh rantai pasok bebas dari deforestasi dan sesuai dengan regulasi EUDR.
3rd FAQ on Implementation of EUDR
Berdasarkan FAQ ke-3 mengenai implementasi EUDR, wood chips dan sawdust yang dihasilkan sebagai produk sampingan dari penggergajian tetap berada dalam cakupan regulasi EUDR, karena produk ini dapat digunakan sebagai bahan bakar (fuelwood) dan belum menyelesaikan siklus hidupnya. Namun, jika wood chips atau sawdust tersebut digunakan secara eksklusif sebagai bahan kemasan untuk mendukung atau melindungi produk lain, mereka akan dikecualikan dari regulasi ini. Hal ini juga mengindikasikan bahwa produk sampingan lain, seperti cangkang sawit, termasuk dalam cakupan EUDR dan harus memenuhi semua kriteria regulasi.
Selain itu, panduan ini juga menjelaskan bahwa peta referensi yang disediakan oleh EU Observatory on deforestation and forest degradation tidak bersifat wajib atau mengikat secara hukum. Peta ini hanya merupakan alat tambahan yang disediakan oleh Komisi Eropa, sehingga operator dan otoritas kompeten dapat menggunakan peta lain yang lebih relevan dalam menilai risiko deforestasi. Meskipun peta observatorium ini berguna, tidak ada jaminan bahwa suatu produk otomatis patuh atau tidak hanya berdasarkan kehadiran geolokasi di area tersebut. Hal ini memberikan fleksibilitas lebih bagi perusahaan untuk menjalankan proses due diligence secara independen dengan alat-alat yang mereka pilih.
Klarifikasi lain dalam FAQ ini adalah tentang legislasi relevan di negara produksi. Komoditas yang dipasarkan di Uni Eropa harus memenuhi tiga syarat utama: bebas deforestasi, mematuhi undang-undang negara asal, dan dilengkapi dengan pernyataan due diligence. Meski peraturan EUDR tidak merinci undang-undang spesifik per negara, undang-undang yang relevan mencakup perlindungan hutan, pengurangan emisi gas rumah kaca, dan perlindungan keanekaragaman hayati. Operator harus mengumpulkan dan memverifikasi dokumen resmi seperti perjanjian kontraktual, audit, atau keputusan pengadilan untuk memastikan kepatuhan terhadap undang-undang ini, terutama di negara-negara dengan tingkat korupsi tinggi.
FAQ juga memberikan penjelasan penting terkait akses informasi geolokasi dalam sistem informasi terkait due diligence. Operator hulu dapat memutuskan apakah data geolokasi mereka akan dapat diakses oleh operator hilir melalui pernyataan due diligence yang direferensikan. Ini memberikan fleksibilitas bagi operator hulu dalam menjaga kerahasiaan data sensitif seperti geolokasi, serta melindungi kepentingan bisnis mereka dalam rantai pasokan
Mengoptimalkan Waktu Penundaan untuk Kesiapan yang Lebih Baik
Penundaan implementasi EUDR membuka peluang bagi Indonesia untuk lebih mempersiapkan diri. Gabungan Asosiasi Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) dan Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) menilai bahwa waktu tambahan ini dapat digunakan untuk memperbaiki sistem ketertelusuran komoditas, terutama bagi petani kecil yang akan terdampak langsung oleh regulasi ini. GAPKI menyatakan optimisme bahwa Parlemen Uni Eropa akan menyetujui usulan penundaan, sementara SPKS menyoroti perlunya keterlibatan lebih lanjut dari pemerintah untuk membantu petani memenuhi standar yang ditetapkan.
Namun, penundaan ini juga membawa tantangan tersendiri. Di satu sisi, ada perbedaan pandangan antara pemerintah dan industri terkait keterbukaan data geospasial yang diperlukan oleh EUDR. Di sisi lain, Indonesia perlu segera mengharmonisasikan regulasi dalam negeri dengan Uni Eropa, termasuk sertifikasi produk dan standar bebas deforestasi.
Pemerintah Indonesia diharapkan dapat memanfaatkan penundaan ini dengan memperkuat kerja sama internasional dan mempercepat finalisasi sistem pemeringkatan risiko negara, yang akan memberikan panduan lebih jelas bagi para pelaku usaha dalam menghadapi EUDR. Selain itu, dengan dialog yang berkelanjutan antara Indonesia dan Uni Eropa, terdapat peluang untuk mengadvokasi pendekatan yang lebih seimbang dalam penerapan peraturan ini, demi melindungi kepentingan petani kecil tanpa mengorbankan upaya global dalam memerangi deforestasi.
Kesimpulan
Perpanjangan implementasi EUDR merupakan peluang strategis bagi Indonesia untuk lebih mempersiapkan diri dalam menghadapi tantangan regulasi ini. Dengan adanya waktu tambahan, pemerintah dan sektor industri dapat memperkuat sistem ketertelusuran dan meningkatkan dukungan bagi petani kecil agar dapat memenuhi standar yang ditetapkan oleh EUDR. Penundaan ini juga memungkinkan Indonesia untuk memitigasi hambatan-hambatan teknis dan hukum yang ada, seperti konflik terkait data geolokasi, sambil memperkuat posisinya dalam perdagangan global. Meskipun tantangan besar masih dihadapi, Indonesia kini memiliki kesempatan untuk menyeimbangkan kepentingan ekonominya dengan upaya perlindungan lingkungan, serta memperkuat daya saing komoditasnya di pasar global. ***