Oleh: Pramono DS (Pensiunan Rimbawan)
Era disrupsi atau teknologi industri 4.0, telah memasuki kehidupan manusia di seluruh sektor kehidupan, tanpa kecuali bidang kehutanan. Era ini dicirikan dengan adanya kemajuan teknologi informasi (TI), digitalisasi, kecerdasan buatan (AI) dan kemajuan rekayasa genetika.
Menyikapi akan hal diatas, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) dalam siaran persnya, 26 September 2018, mengatakan bahwa akan menyiapkan SDM yang cakap dan mumpuni dalam mengelola tantangan di era digital.
Kegiatan nyata yang telah dilaksanakan adalah meningkatkan mutu pelayanan masyarakat dengan inovasi dan mengembangkan sistem pelayanan informasi berbasis digital.
Paling tidak terdapat 12 jenis layanan yang berbasis aplikasi , diantaranya Sistem Informasi Penataan Hasil Hutan (SIPUHH), Sistem Informasi Legalitas Kayu (SILK) dan Sistem Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara Online (SIMPONI). Nampaknya SDM yang cakap dan mumpuni di era disrupsi ini harus diterjemahkan sebagai yang serba bisa, tidak gagap teknologi informasi, cekatan, cepat mendapat informasi, terbuka terhadap perubahan dan bila diperlukan berpikir out of the box.
Penyuluh Kehutanan, sebagai garda depan bagi Kementerian LHK yang menjadi pilar utama dalam menjembatani dengan masyarakat luas khususnya masyarakat yang bermukim di dalam dan di sekitar hutan bagaimana harus menyikapinya dengan perubahan teknologi yang begitu cepat.
Bagaimana paradigma penyuluhan kehutanan yang mengacu pada Undang undang No 16 tahun 2006 masih relevan di era sekarang.
Tantangan Besar
Niat baik dan usaha besar pemerintah Jokowi untuk memberikan akses legal kehutanan melalui program Perhutanan Sosial (PS) disambut baik oleh berbagai kalangan karena bertujuan untuk pemerataan kesejahteraan dan mengurangi ketimpangan ekonomi.
Dengan target 12,7 juta hektare selama lima tahun 2014 -2019, merupakan pekerjaan besar dan merupakan tantangan besar bagi penyuluh kehutanan. Perhutanan sosial ini diberikan kepada masyarakat di dalam dan di sekitar hutan dengan dalam bentuk kelompok dimaksudkan agar pemerintah mudah dalam membinanya. Kelompok yang akan dibentuk berupa Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) dengan jumlah sebanyak 5000 kelompok.
Akses legal pengelolaan kawasan hutan ini, dibuat dalam lima skema pengelolaan, yaitu Skema Hutan Desa (HD) hutan negara yang hak pengelolaannya diberikan kepada lembaga desa untuk kesejahteraan desa. Hutan Kemasyarakatan (HKm), yaitu hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat. Hutan Tanaman Rakyat (HTR/IPHPS), adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalm rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan. Hutan Adat (HA), dimana hutan ini adalah hutan yang berada di dalam wilayah masyarakat hutan adat. Skema terakhir adalah Kemitraan Kehutanan, dimana adanya kerjasama antara masyarakat setempat dengan pengelola hutan, pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hutan, jasa hutan, izin pinjam pakai kawasan hutan atau pemegang izin usaha industri primer hasil hutan.
PS juga menjadi tumpuan untuk mengatasi konflik lahan dan mensejahterakan masyarakat sekitar hutan. Di Provinsi Sumsel dilaporkan bahwa perhutanan sosial sudah dirasakan beberapa kelompok tani yang memanfaatkan untuk menanam sejumlah komoditas seperti kopi, karet, aren dan madu.
Sayang program PS yang dimulai sejak tahun 2007 program ini berjalan tersendat. Menurut Menko Perekonomian Darmin Nasution sampai dengan bulan November 2018, realisasinya luas kawasan baru mencapai 2,13 juta ha atau 16,8 persen dari luas target yang ada. Pertanyaannya adalah apa yang salah dan apa yang mesti dibenahi untuki mengejar ketertinggalan ini.
Permasalahan klasik
SDM pendamping ataupun penyuluh kehutanan yang jumlahnya tidak cukup , adalah masalah klasik yang tidak terpecahkan sejak SDM penyuluh ini diserahkan kewenangannya kepada daerah. Dari 93 izin perhutanan sosial yang dikeluarkan di Sumsel, jumlah penyuluh yang ada di 14 kesatuan pengelolaan hutan (KPH) hanya 55 orang. Penyebarannyapun tidak merata. Terdapat KPH yang tidak memiliki tenaga penyuluh sama sekalai, sebaliknya terdapat KPH yang tenaga penyuluhnya berlebih (harian Kompas, 29 Maret 2019).
Dari Jakarta, Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) Kementerian LHK, Bambang Supriyanto mengakui bahwa penerima izin PS membutuhkan pendamping yang handal dan bisa mempertemukan dengan akses pasar (harian Kompas, 6 April 2019).
Lagi lagi, SDM pendamping atau penyuluh kehutanan menjadi kambing hitam. Harus dicatat bahwa Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM KLHK telah menghitung kebutuhan penyuluhan kehutanan yang ideal di Indonesia mencapai 18-20 ribu orang, sedangkan yang tersedia baru 4 ribu orang (rasio 20 -25 %) sejak lima tahun yang lalu.
Sementara itu di sisi lain rekrutmen tenaga penyuluh baik yang ASN maupun tenaga kontrak sangatlah minim. Oleh karena itu, sangat tidak logis apabila masih mempermasalahkan tentang jumlah tenaga penyuluh dan pendamping sekarang.
Aspek lain yang perlu menjadi perhatian adalah mutu/kualitas tenaga penyuluh atau pendamping. Dalam beberapa kasus seperti di Kabupaten Jombang dan Banyuwangi, penyuluh kehutanan yang mendampingi kelompok tani hutan sengon, pengetahuan tentang pemasaran dan permodalan malah kalah jauh dibanding dengan ketua kelompoknya. Hal ini dapat terjadi karena penyuluh kehutanan yang ada sekarang pada umumnya berpendidikan SLTA atau sederajad. Lain halnya dengan penyuluh kehutanan penerimaan tahun 2010 keatas rata rata berpendidikan sarjana kehutanan atau sejenisnya.
Hanya sangat disayangkan, mereka yang notabene sarjana ini, banyak ditugaskan di Taman Nasonal dan Balai KSDA didaerah yang kurang bersentuhan dengan pemberdayaan masyarakat hutan.
Pemanfaatan TI dan Digitalisasi
Sebenarnya, pekerjaan nyata (playing game) penyuluh kehutanan sesungguhnya bermuara pada kegiatan PS. Parameter keberhasilan PS dapat diukur dari seberapa banyak KUPS dapat dibina dan seberapa besar komoditas yang dihasilkan PS mampu meningkatkan pendapat dari anggota kelompok tersebut.
Semua pihak sepakat bahwa peran penyuluh kehutanan atau pendamping sangat vital dalam mensukseskan program PS ini. Namun karena faktor SDM ini bersifat konstanta maka perlu dicari variabel lain yang dapat didorong.
Era industri 4.0 sekarang sebenarnya dapat dimanfaatkan KLHK sebagai variabel untuk mendorong program PS. Ditjen PSKL dan BP2 SDM sebagai unit kepanjangan tangan KLHK dapat melakukan kerjasama untuk melakukan terobosan melalui pemanfaatan TI dan Digitalisasi.
Urusan administrasi menyusun rencana kerja usaha (RKU), akses permodalan keuangan melalui kredit usaha rakyat atau badan layanan umum, bantuan perusahaan (CSR), pemasaran produk dan memiliki pasar nasional dan internasional dan sebagainya sebenarnya dapat dikemas dalam modul modul digital/youtube yang dapat diunggah diinternet.
BP2SDM mempunyai potensi penyuluh ahli dengan gelar magister dan doktor yang dapat didayagunakan untuk menyusun modul modul ini. Sedangkan kebijakan kebijakan PS dapat difasilitasi dari Ditjen PSKL . Perlu diingat bahwa anggota kelompok tani hutan juga sudah menggunakan teknologi andronoid yang dapat digunakan kapan saja dan dimana saja.
Dari penelusuran penulis di chanel youtube yang sudah ada baru sebatas pada sosialisasi PS. Judul yang sudah diunggah di youtube antara lain adalah Panduan Praktis Pengajuan PS, Fasilatasi PS Skema Hutan Kemitraan, Pendampingan PS dan sebagainya yang masih belum menyentuh pada pokok persoalan yang ada. Kekhawatiran dirjen PSKL yang melaporkan bahwa 63 persen (1.712 unit) izin usaha PS belum menyusun RKU mungkin tidak terjadi apabila Tata Cara Menyusun RKU telah lama diungguh dichanel ini, tanpa harus menunggu pendamping atau penyuluh handal hadir terlebih dulu (harian Kompas, 6 April 2019).